Jesica Kecelakaan
Mbok Atun segera menyuruh Jesica untuk tidur, agar besok tidak terlambat sekolah. Jesica segera tidur, Jesica meminta tidur bersama Mbok Atun malam ini. Jesica terus memeluk Mbon Atun, dia sangat kehilangan Mbok Atun.
**
Pagi sekali, Putri Mbok Atun yang bernama Mbak Sari menjemput Mbok Atun. Jesica meminta agar mengantar Mbok Atun sampai rumahnya.
“Non sekolah saja, Mbok Atun biar pulang sama Mbak Sari, Non.” Mbok Atun keberatan dengan permintaan Jesica.
“Nggak Mbok, Jesica harus antar Mbok Atun. Aku nggak sekolah nggak akan ada yang nanyain aku Mbok.” Bantah Jesica memaksa. Akhirnya Mbok Atun mengalah, dan mengizinkan Jesica ikut mengantar sampai rumahnya.
Jesica sudah memberi kabar Aura bahwa hari ini dia tidak sekolah. Jesica memesan taxi online, mereka berangkat ke rumah Mbok Atun. Sesampainya disana Jesica tidak langsung pulang, dia bermain dengan anak-anak Mbak Sari.
“Terimakasih ya Non, sudah ngantar Mbok sampai rumah, sampai bolos sekolah juga.” Mbok Atun memeluk Jesica.
“Iya Mbok, maaf ya Mbok kalau selama Mbok kerja di rumah saya, saya ada salah sama Mbok Atun.” Jesica melepaskan pelukan Mbok Atun. Lalu dia pamit, dalam perjalanan Jesica seperti melihat Bundanya dengan seorang pria.
Jesica penasaran tapi dia enggan untuk mencari tahu, Jesica lebih memilih pulang. Sesampainya di rumah masih sepi, mobil Ayah dan Bundanya juga belum ada. Dia segera menyapu dan mengepel lantai. Setelah itu mencuci baju, dulu dia sering belajar dengan Mbok Atun untuk melakukan pekerjaan rumah.
Tidak berapa lama, terdengar bel berbunyi. Jesica segera berjalan menuju pintu dan membukanya. Ternyata yang datang pembantu baru.
“Maaf ya Non, Mbak baru datang. Perkenalkan nama saya Sri, panggil saja Mbak Sri,” kata pembantu baru yang bernama Mbak Sri.
“Iya nggak apa-apa Mbak, silahkan masuk Mbak!” perintah Jesica. Mereka lalu masuk, setelah menaruh bajunya di kamar Mbak Sri meneruskan pekerjaan Jesica mencuci baju.
Mbak Sri sudah banyak tahu tentang keluarga Jesica dari Mbok Atun. Mbak Sri dan Mbok Atun masih saudara. Jesica berharap Mbak Sri betah kerja di tempatnya.
Ternyata Aura datang ke rumah Jesica, dia bercerita ada siswa baru orangnya tampan, namanya Mario. Mendengar Nama Mario, Jesica teringat teman barunya semalam.
“Orangnya tampan sekali, banyak sekali yang naksir dia pada pandangan pertama. Geng buterfly juga naksir sama dia,” kata Aura.
“Nggak penting ah Ra,” kata Jesica. “Bagiku, hanya Erik yang paling tampan,” kata Jesica lagi. Dia berharap Erik dia temui, dan mereka bisa bersama lagi.
Aura tidak berani berkomentar, nyatanya Jesica tidak tertarik dengan topik pembicaraan. Saat Aura dan Jesica menonton televisi, Bunda Jesica pulang. Tanpa menyapa Aura maupun Jesica, Bundanya langsung masuk ke dalam kamar.
“Bunda kamu punya mulut nggak sih, liat ada orang disini kok nggak ada basa-basi atau apa,” omel Aura.
“Kamu udah lihat sendiri, kan? Betapa cueknya keluarga aku. Sama orang lain aja cuek, apalagi dengan anaknya sendiri,” kata Jesica.
Aura pamit pulang karena hari sudah sore, sedangkan Jesica masuk kedalam kamar. Belum sempat Jesica ngobrol dengan Bundanya, Arum sudah pergi lagi. Jesica keluar kamar, dia melihat Mbak Sri di depan pintu.
“Non, Ibu katanya nggak pulang lagi nanti malam,” kata Mbak Sri. Mbak Sri kaget saat melihat Jesica bersikap santai saja ditinggal sendirian.
“Udah biasa Mbak,” jawab Jesica lalu masuk kedalam kamarnya. Jesica menulis lagi, dia menghabiskan waktunya untuk berkarya.
Jesica merasa kesepian, dia kehilangan kedua orang tuanya dan Mbok Atun. Jesica menangis sambil menulis. Hanya Jesica yang merasa nggak punya orang tua. Jesica menangis diatas kasur, dia berhenti menulis lalu menyimpan.
“Apa aku nggak penting bagi mereka? Mengapa mereka nggak peduli sama aku?” tanya Jesica sambil terisak sedih. Harapan punya orang tua yang menyayangi dia udah pupus. Sekarang dia bagai anak yang hanya sebatang kara.
Jesica keluar rumah, dia membawa sepeda tanpa tujuan. Dia masih menangis, Mbak Sri tampak panik saat melihat Jesica pergi takut jika terjadi sesuatu. Jesica terus mengayuh sepedanya, dia tidak tahu akan kemana. Dia terus mengayuh, hingga waktu magrib tiba. Dia berhenti di sebuah taman, dia duduk dan menangis disana.
Dia sudah terlalu sabar menghadapi orang tuanya, tapi mereka sangat keterlaluan. Dia seperti anak yang tidak dianggap, Jesica kehilangan orang tuanya. Jesica berteriak keras sekali, beberapa orang yang melihat hanya mampu berguman tanpa berani menegur.
Jesica tertunduk, dia melepaskan kacamatanya. Dia menelungkupkan kakinya dan menyembunyikan wajahnya disana.
“Jika sedih, jangan terlalu berlarut-larut, kamu berhak untuk bahagia,” kata seseorang. Jesica segera mengusap air matanya dan mendongakkan kepalanya.
“Ma-Mario, sedang apa kamu disini?” tanya Jesica kaget melihat Mario didekatnya.
Mereka lalu mengobrol, Jesica bercerita tentang kedua orang tuanya. Entah Mario orang yang tepat untuk diajak curhat atau tidak tapi dia cerita begitu saja tanpa henti. Mario mengerti apa yang dirasakan oleh Jesica.
“Apa kamu mau aku antar pulang?” tanya Mario. “Ini sudah malam tidak baik kamu di jalan seperti ini. Apalagi kamu perempuan,” kata Mario.
“Nggak usah aku bisa pulang sendiri,” kata Jesica. Jesica lalu pamit, dia mengayuh sepedanya menuju rumah. Mbak Sri terlihat mondar-mandir, saat Jesica pulang dia tampak lega.
Jesica meminta Mbak Sri agar jangan terlalu mengkhawatirkannya. Dia bisa menjaga dirinya sendiri, nyatanya sampai usianya 17 tahun dia tetap baik-baik saja.
Jesica langsung masuk ke dalam kamar dan tidur, dia besok akan berangkat sekolah pagi sekali. Dia tidak ingin terlambat, karena pasti akan kena hukuman .
**
Paginya Jesica bangun, dia segera mandi dan bersiap untuk sekolah. Dia tidak lupa sarapan karena Mbak Sri sudah menyiapkan sarapannya.
“Mari makam dulu, Non!” ajak Mbak Sri. Mereja lalu makan bersama, Mbak Sri terlihat tersenyum pada Jesica. Mbak Sri berharap dia akan betah kerja bersama Jesica.
“Mbak mungkin aku pulang agak telat tolong jangan masak untuk makan malam ya. Masak buat Mbak aja,” Kata Jesica lalu pamit berangkat sekolah.
Jesica memeluk Mbak Sri, lalu pergi sekolah. Dia mengayuh sepedanya,menuju sekolahnya. Jesica tampak mengebut, dia tidak melihat ada mobil searah darinya. Jesica hendak membanting sepedanya ke kiri, tapi naasnya ada mobil juga. Dia tertabrak, dia menjerit karena kaget.
Brugg
Jesica terpelanting dan sepedanya rusak tertabrak mobil. Darah segar mengalir dari area kepala Jesica, dia masih bisa melihat sekitar dan merintih kesakitan. Tidak berapa lama orang berkerumun, pandangan mata Jesica mulai kabur dan akhirnya Jesica menutup matanya.
Ambulan datang, Jesica segera dilarikan ke rumah sakit. Pihak rumah sakit berusaha menghubungi pihak keluarga tapi tidak ada yang bisa dihubungi akhirnya Mbak Sri yang bisa dihubungi.
Mbak Sri panik, dia segera ke rumah sakit. Sesampainya disana, Mbak Sri dimintai untuk tanda tangan penanganan operasi karena kepalanya sudah terbentur dan harus segera dioperasi. Mbak Sri berusaha menghubungi orang tua Jesica.
“Bu, non Jesica di rumah sakit dia kecelakaan butuh penanganan cepet. Ini dokter minta persetujuan keluarga,” kata Mbak Sri.
“Udah tanda tangani aja Sri, aku nggak bisa kesana,” jawab Arum dari seberang sana.
Jawaban Ayah Jesica juga mengejutkan, “Kamu urus saja, nanti biaya aku yang tanggung. Aku nggak mau mengurus anak itu lagi,” jawab Andi.
Mbak Sri terpaksa menandatangani surat dari rumah sakit. Mbak Sri sedih saat mendengar jawaban orang tua Jesica. Mbak Sri merasakan betapa tersiksanya Jesica mempunyai orang tua yang tidak perhatian.
Jesica segera menjalankan operasi, Mbak Sri menelfon Mbok Atun. Mbok Atun segera ke rumah sakit, dia sangat khawatir dengan keadaan Jesica.
Ponsel Sri berdering dari Pak Andi, “Sri, biaya operasi sudah saya transfer ke rekening yang saya berikan. Tolong diurus!” perintah Pak Andi.
“Bapak tidak ingin kemari?” tanya Sri sedikit berani.
“Tidak, kamu saja yang disana sudah cukup. Kamu rawat dia saja,” jawab Pak Andi.
Sri menutup telfon lalu menangis mendengar ketidakperdulian mereka pada Jesica. Mbok Atun sudah terbiasa dengan sikap mereka.
Di dalam ruang operasi, semua Dokter sedang fokus mengoperasi Jesica. Sedangkan Sri dan Mbok Atun berdo’a untuk kelancaran operasi.
**
Aura menelfon Jesica setelah mata pelajaran pertama, dia khawatir pada sahabatnya karena tidak masuk sekolah tanpa kamar.
“Halo, ini Sri pembantu Non Jesica. Ini Mbak Aura ya?” tanya Sri saat panggilan Aura sudah tersambung.
“Iya Mbak, kenapa Jesica nggak masuk sekolah lagi?” tanya Aura penasaran.
“I-itu Mbak, Non Jesica kecelakaan. Ini lagi di ruang operasi,” jawab Sri gugup.
Aura langsung jatuh pingsan, sementara ponselnya masih tersambung dengan Mbak Sri. Para siswa panik melihat Aura pingsan, mereka membawa Aura ke UKS.