Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Dia Barga

Bab 1 Dia Barga

Pemuda dengan nama lengkap Barga Putra Wijaya itu, memilih melangkah ke dalam toko. Barga, begitu dia biasa disapa, memilih duduk di sudut toko di dekat gulungan karpet yang baru saja tiba dari Turki. Barga menghela nafasnya panjang, melihat tumpukan gulungan itu.

"Alamat lembur lagi malam ini," gumam Barga.

Barga hanyalah karyawan biasa di toko ini. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di toko karpet yang lumayan besar ini. Bersama dengan lima orang lainnya.

"Barga, ayo kita makan dulu. Sudah waktunya istirahat siang," ajak Rian pada Barga.

Barga mengangguk setuju. Dia mengikuti temannya yang berambut ikal itu, menuju warung makan yang ada di pojok jalan seberang toko. Barga memilih duduk di lesehan bersama temannya itu. Mereka memesan nasi campur dan es teh sebagai menu makan siang mereka. Selain murah, makanan di sini lumayan enak dan ibu penjualnya juga ramah. Warung ini sering di jadikan langganan oleh para karyawan toko seperti Barga.

"Rian... menurut kamu, kita nanti lembur tidak?" tanya Barga setelah meneguk es teh tawarnya.

Barga tidak suka makanan manis. Jadi dia memesan es teh tawar.

"Sepertinya ..." Rian tidak menyelesaikan ucapannya.

Perhatian Rian teralih, pada seorang gadis yang baru saja turun dari mobil di seberang jalan. Gadis itu membuat siapa saja yang melihatnya, tidak sanggup mengalihkan tatapan dari dirinya. Seperti Rian, contohnya. Barga yang melihat Rian terpesona, mengikuti arah tatapan matanya. Namun Barga tidak melihat apapun, hanya kendaraan yang berseliweran dijalan.

"Gila! Barga ... itu cewek itu bening banget. Benar-benar bidadari turun dari surga!" seru Rian kagum.

Barga masih mencari dengan penasaran ke seberang jalan. Tapi dia tidak melihat siapapun yang dimaksud oleh Rian.

"Dimana? aku tidak melihat siapapun di sana. Hanya seorang nenek yang berjalan membawa payung hitam ditangannya," sahut Barga penasaran.

"Sudah tidak ada lagi. Gadis itu sudah masuk ke salon mewah itu. Pantas saja bening, perawatan tubuhnya saja mahal," seloroh Rian yang masih saja terpesona.

"Sudahlah, lupakan. Aku sudah selesai, ayo kembali ke toko," ajak Barga yang sudah berdiri lalu berjalan ke arah ibu penjual untuk membayar makanannya.

Rian mengikuti Barga dan membayar makanan miliknya. Keduanya kembali ke toko tempat kerja mereka.

Pukul tujuh malam, saat Barga sampai di kontrakan sederhana miliknya. Dia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Kini Barga sudah duduk diam di atas kasur, menghadap ke layar televisi. Barga sedang menunggu pertandingan bola di televisi.

Hidup Barga lurus seperti penggaris. Dia lebih sering menghabiskan waktunya di dalam kamar kontrakan miliknya, daripada pergi keluyuran saat malam. Seperti malam ini. Barga tertidur saat sedang menonton pertandingan bola. Dia terlihat sangat kelelahan. Di tambah dengan hujan yang turun malam ini. Membuat tidurnya lelap ditemani televisi yang masih menyala.

Pukul 8 pagi, seperti biasa Barga mandi dan bersiap untuk berangkat kerja. Barga biasanya berangkat dengan naik angkot. Dia menunggu angkot di ujung jalan masuk ke tempat kontrakan. Sambil menunggu angkot datang, Barga sarapan di warung tempat sopir angkot biasa mangkal.

"Seperti biasa Mas Barga?" tanya ibu pemilik warung.

"Iya Bu," jawab Barga sembari mencari tempat duduk di dalam warung.

Sepiring nasi uduk dengan lauk tempe goreng dan kerupuk, serta segelas teh panas tawar sudah tersaji di atas meja depan Barga. Ibu pemilik warung sudah hafal betul dengan menu Barga. Barga segera memakan sarapannya dengan tenang. Dia tidak perduli dengan tatapan para sopir angkot pada dirinya. Itu sudah biasa. Menurut Barga, itu urusan dirinya sendiri. Dia tidak memperdulikan perkataan mereka, yang mengatakan dirinya sangat pelit.

Barga membayar makanan yang dia makan, lalu dia keluar dan menunggu angkot di depan warung itu. Tidak lama kemudian, angkot yang ditunggu oleh Barga datang. Barga bergegas naik kedalam angkot. Inilah alasan Barga selalu berangkat lebih pagi. Selain karena jalanan ibu kota yang macet, angkot yang ditumpangi oleh Barga sering sekali berhenti untuk ngetem lebih dulu.

Barga sampai di tempat kerja pukul setengah sepuluh. Seperti biasanya, dia datang lebih dulu dibandingkan yang lainnya. Barga selalu jadi yang pertama kali datang di toko. Pukul sepuluh pagi dia sudah standby di depan toko. Menunggu toko buka dan karyawan yang lainnya datang. Barga duduk didepan toko sembari merokok. Dia termasuk tipe orang pendiam. Tapi bukan berarti penyendiri. Dia hanya suka ketenangan, itu saja.

*****

Barga baru selesai melayani pembeli terakhir, saat Rian datang menghampiri dirinya.

"Barga, nanti malam ada acara tidak?" tanya Rian.

"Acara? sepertinya tidak ada. Kenapa?" sahut Barga.

"Jalan yuk,"

"Berdua? Kemana?" Barga bertanya sambil lalu.

Dia pergi meninggalkan Rian untuk menutup toko. Rian mengikuti dia dari belakang. Rian membantu Barga merapikan kembali semua barang di toko, sebelum menutup dan menguncinya.

"Ya kemana saja. Lagian ini malam minggu, dari pada di rumah saja kan?" sahut Rian masih mencoba untuk membujuk.

Barga tidak mengatakan apapun. Dia hanya bergegas merapikan semua barang dan segera menutup toko.

"Barga... jawab! kalau kamu diam saja, berarti kamu setuju. Kalau begitu aku tunggu di pangkalan angkot," sergah Rian tanpa jeda dan tidak bisa ditolak.

Akhirnya Barga menyerah juga. Malam ini, mereka berdua pergi ke suatu tempat yang sangat ramai. Barga sendiri tidak tahu, tempat apa itu. Dia hanya mengikuti Rian saja.

Di tempat ini, beberapa orang menyapa Rian. Rupanya Rian sering datang ketempat ini. Barga masih canggung dan terlihat kaku, saat Rian mengenalkan dia dengan beberapa temannya.

"Jangan malu-malu Barga. Ayo nikmati saja malam ini. Jangan pikirkan apapun lagi," kata teman Rian bernama Yanto.

"Daripada kita pusing memikirkan tentang hidup, mari kita minum saja," sahut yang lainnya.

Awalnya Barga menolak ajakan mereka untuk minum. Tapi karena mereka terus saja membujuk Barga untuk minum juga, akhirnya, Barga yang merasa tidak enak kepada mereka, ikut minum juga.

Pertama kali mencoba meminumnya, tenggorokan Barga terasa terbakar. Matanya mengernyit merasa tak suka dengan minuman aneh berbau busuk ini menurutnya. Barga ingin berhenti. Tapi mereka terus saja membujuk dirinya. Rian bahkan menuangkan minuman itu di gelas Barga. Dengan terpaksa, Barga meminumnya lagi.

Dia tak bisa menolak, meski merasa tak suka namun lama kelamaan otaknya terdistraksi alkohol itu sendiri, menyuplai sebuah rasa ringan di tubuhnya, dia meminumnya kembali tanpa berpikir panjang, menenggak sloki minuman keras yang tak dia tahu nama dan jenisnya itu. Hingga Barga mulai mabuk.

Saat Barga mulai mabuk, seorang wanita cantik menghampiri dirinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel