Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 1 Menerima Tawaran

Bab. 1 Menerima Tawaran

Salah satu rumah makan di daerah Bogor itu tampak ramai oleh pengunjung dari berbagai kalangan. Mungkin karena harganya yang terjangkau dan rasa yang lezat, membuat tempat itu tidak pernah sepi. Selain itu para pelayan di sana masih muda dan cantik-cantik sehingga, menjadi daya pikat sendiri untuk membuat para pelanggan datang lagi.

Puspa Sari adalah seorang pelayan di sana. Gadis berusia 20 tahun itu cantik dan berkulit putih bersih. Banyak lelaki yang suka kepada Sari bahkan ada yang mengajaknya untuk menikah, tetapi dengan tegas gadis itu menolaknya karena kebanyakan para pria penggodanya adalah lelaki yang sudah beristri, meskipun Sari dijanjikan akan diberi uang yang banyak. Ia tetap tidak mau menjual harga dirinya demi harta.

“Ce, Sari mau pinjam uang dua ratus ribu,” ujar Sari kepada Ce Lilis pemilik warung makan.

“Apa kamu mau pinjam uang lagi Sari?” tanya Ce Lilis pemilik rumah makan.

“Iya Ce, buat biaya abah berobat,” jawab Sari sambil tertunduk.

Ce Lilis tampak menarik nafas panjang sambil menatap Sari dengan prihatin. Ia tahu jika Sari menjadi tulang punggung keluarganya. Jika saja Ce Lilis punya anak perjaka, pasti ia sudah meminta gadis itu untuk menjadi menantunya.

“Sari apakah kamu tidak mau merubah nasib?” tanya Ce Lilis dengan serius.

Sari tamapak tidak mengerti dengan pertanyaan bosnya itu, kemudian ia pun balik bertannya, “Maksud Ce Lilis apa?”

“Jika kamu mau, aku bisa membantumu untuk mendapatkan hidup yang lebih layak,” iming Ce Lilis yang sangat menggiurkan.

“Ga, Ce, terima kasih,” tolak Sari seolah tahu arah pembicaraan Bosnya.

Begitupun dengan Ce Lilis yang mengerti jalan pemikiran Sari sehingga ia pun berkata, “Kamu lihat pria yang tadi duduk di pojokan?” tanya Ce Lilis yang dijawab anggukan oleh Sari, “Lelaki itu sedang mencari calon istri. Dia masih single juga mapan dan berani memberi mahar 50 juta, jika kamu mau menjadi pendampingnya,” tuturnya yang membuat Sari sangat terkejut mendengar hal itu.

Sejenak Sari terdiam ia tampak berpikir lalu menjawab dengan apa adanya, “Sari belum siap untuk menikah muda Ce. Lagi pula mana ada pria kaya yang mau menikah dengan gadis kampung seperti saya, kalau bukan karena sesuatu.”

Ce Lilis tampak mengangguk sepertinya Sari, gadis yang tidak mudah percaya begitu saja. Kemudian ia memberikan dua lembar uang merahan kepada gadis itu sambil berkata, “Ingat Sari, kesempatan tidak datang dua kali! Oh ya, bulan depan kamu tidak gajian ya.” Ce Lilis mengingatkan kembali. Sari segera menerima uang itu sambil mengangguk.

***

Malam mulai merambat jauh ketika Sari sampai di rumah. Untung ia punya teman dekat bernama Bayu yang selalu mengantar jemputnya untuk bekerja. Selain itu Bayu adalag seorang pemuda yang baik dan sopan. Sehingga Sari merasa aman jika pulang malam dan tidak perlu mengeluarkan ongkos karena Bayu ikhlas tanpa pamrih.

“Mampir Kang?” tanya Sari ketika turun dari motor.

“Lain waktu saja, salam untuk abah dan ambu ya!” tolak Bayu dengan halus.

Sambil mengangguk Sari pun mengucapkan, “Terima kasih ya Kang, hati-hati di jalan!” terlihat seulas senyum dari bibir Sari yang mungil.

“Sama-sama,” jawab Bayu sambil membalas senyum itu kemudian ia memacu motor giginya dengan perlahan.

Sari tampak memandangi Bayu sampai hilang di kegelapan malam. Lalu ia berbalik dan melangkah masuk ke rumah sambil mengucapkan, “Assalamualaikum ...."

“Waalaikumsalam ..,” jawab Bu Asih ibunda Sari.

“Bagaimana kondisi Abah, Bu?” tanya Sari sambil menatap ayahnya yang terbaring lemah.

“Semakin buruk,” jawab Bu Asih terlihat sedih.

Kemudian Sari mengeluarkan uang dan memberikan kepada ibunya seraya, berkata, “Ini ada uang untuk berobat Abah.”

Bu Asih menerima uang itu dan mengucapkan, “Alhamdulillah ….”

Namun, Sari masih melihat ibunya sedang memikirkan banyak beban. Kemudian ia pun bertanya, “Kurang ya Bu?”

Bu Asih menarik senyum getir dan menjawab, “Mudah-mudahan cukup.”

Tiba-tiba dua orang adik Sari yang masih duduk di SLTA dan SLTP datang dan mengadu.

“Teh, Ning belum beli buku pelajaran,” ujar Ningsih sibungsu memberitahu.

“Aku juga belum bayar uang ujian, Teh.” Jaka berkata dengan raut wajah yang murung.

Sari tampak menghela nafas panjang, kepalanya terasa pusing ia tidak tahu harus mencari pinjaman kemana lagi. Untuk membuat kedua adiknya senang gadis itu kemudian berjanji, “Sabar ya! Teteh akan lunasi semuanya.”

“Kapan? Dari kamarin Teteh selalu bilang sabar terus,” celetuk Jaka meminta kepastian.

“Sudah biarkan Teteh istirahat dulu! Besok ambu akan bayar sedikit,” seru Bu Asih yang membuat kedua anaknya terdiam dan berlalu.

Setelah membersihkan diri, Sari tampak merebahkan tubuhnya di kasur. Gadis itu tampak menerawang ke langit-langit kamar. Tanpa terasa ia pun tertidur tanpa berkeluh kesah dengan beban hidup yang ditanggungnya.

***

Mentari tampak meninggi, cahayanya yang hangat memancar ke seluruh penjuru alam. Menbelai lembut setiap tetesan embun di rerumputan lalu membawanya entah kemana.

Sari tampak giat sekali bekerja, gadis cantik itu terlihat bersemangat sekali untuk mencari rezeki. Ia berharap hari ini ada pengunjung yang memberinya tips. Hanya itulah satu-satu harapan karena gajinya sudah di potong untuk membayar utang semua.

Tiba-tiba ponsel jadulnya berdering dengan sigap gadis itu menerima pnaggilan masuk yang ternyata dari ibunya. [Hallo Bu, ada apa?] tanya Sari membuka pembicaraan.

[Sari, Abah kritis dan harus dioperasi,] sahut Bu Asih dengan suara yang terisak.

[Ibu yang tenang ya! Sari akan cari pinjamam,] janji Sari dalam kepanikan.

Tidak lama panggilan itu pun berakhir, Sari tampak memasukan ponselnya kembali. Gadis itu terlihat bingung ia tidak tahu harus mencari pinjaman kemana lagi. Tanpa berpikir panjang, Sari segera menemui Ce Lilis untuk meminta bantuan. Begitu ketemu dengan Ce Lilis, Gadis itu pun mengutarakan maksud kedatangannya.

“Maaf ya, Sar, Ce Lilis tidak bisa membantu karena baru kemarin kirim uang untuk Teh Gendis di kota.”

“Tolong saya Ce, Sari tidak tahu harus minta bantuan kepada siapa lagi.” Sari tampak memohon kepada bosnya itu.

Ce Lilis tampak berpikir sejenak untuk mencari jalan keluarnya lalu ia pun berkata, ”Tidak ada cara lain Sar, kecuali kamu mau menerima tawaran Ce Lilis waktu itu."

Tanpa berpikir panjang Sari pun mengambil jalan pintas, “Baiklah Ce, Sari mau.”

“Kamu yakin?” tanya Ce Lilis ketika Sari menyatakan menerima tawarannya tempo hari.

“Iya ce, tapi saya minta maharnya dibayar di muka.” Sari mengajukan syarat karena terdesak.

Kemudian Ce Lilis mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Lalu ia terlibat percakapan serius. Tidak lama kemudian pembicaraan pun itu berakhir.

“Lelaki itu setuju, sebentar lagi ia akan datang untuk membawa uangnya,” ujar Ce Lilis memberitahu.

Entah Sari harus merasa senang atau sedih yang pasti ia berharap abahnya bisa segera dioperasi.

Beberapa jam kemudian seorang lelaki datang. Ce Lilis tampak menyambut dan mereka terlibat percakapan serius kembali. Pria hitam manis itu sempat menoleh ke arah Sari dengan seulas senyum.

“Ini uangnya baru 50 juta Sari, sekarang tanda tangani kwitansi penerimaannya,” tutur Ce Lilis sambil menyodorkan sebuah amplop coklat dan selembar kertas kepada Sari.

Dengan tangan gemeter sari menerima amplop itu sambil membubuhkan tanda tangannya. Ia berharap keputsannya ini benar karena tidak punya pilihan lagi. Demi keluarganya Sari pun terpaksa harus menikah di usianya yang masih muda.

Kemudian pria itu pun pergi tanpa memperkenalkan diri, tetapi ia berjanji akan menemui Sari secepatnya. Sari pun pamit untuk pulang karena harus ke rumah sakit.

Ketika sampai di rumah sakit, Sari segera menemui ibunya yang sedang menangis terisak.

"Bu, Sari sudah membawa uangnya," ujar Sari memberitahu.

"Sari, a-abah ...," Bu Asih segera memeluk putrinya dengan erat.

"Abah kenapa, Bu?" tanya Sari penuh khawatir.

"Abah sudah tiada Sari, hu .., hu ..." Bu Asih memberitahu kabar duka itu.

Sari sangat terkejut mendengarnya, air matanya pun jatuh berderai.

"Abah ..., hu .., hu ..." tangis Sari pun akhirnya pecah.

***

Memtari tampak cerah, angin pun bersemilir lembut, mengugurkan bunga-bunga kamboja di atas tanah makam.

Sari tampak mengusap batu nisan abah dengan perlahan. Dirinya sangat sedih, kehilangan sosok ayah yang sangat penyayang dan sabar.

"Abah beristirahat lah dengan tenang! Sari berjanji akan bekerja dengan rajin. Untuk menyekolahkan Ningsih dan Jaka agar kelak mereka jadi orang," ucap Sari dengan sepenuh hati.

Kemudian gadis itu pun melangkah pergi dengan menggenggam sebuah tekad yang kuat.

Sesampai di rumah, Sari mendengar percakapan dari beberapa orang.

"Bu Asih, hutang-hutang abah siapa yang bayar?" tanya seorang perempuan paruh baya.

"Iya, sabar ya ibu-ibu! nanti saya akan lunasi," jawab Bu Asih dengan tidak tau pasti.

"Yah, gimana ini? Bagaimana kalau ibu jual saja rumah ini!" saran seorang lelaki tua.

"Jangan Pak, nanti kami mau tinggal di mana?" tolak Bu Asih dengan pilu.

"Saya akan bayar semua hutang-hutang abah, tunggu sebentar!" seru Sari sambil masuk ke dalam kamar.

Sari membuka lemari dan mengambil sebuah amplop coklat. Sebenarnya ia ingin mengembalikan uang itu. Namun, sepertinya ia tetap harus berkorban demi keluarga.

BERSAMBUNG

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel