Suami Kawin Lagi
"Ma, aku mau kawin lagi!" ujar Herdian suami Melia.
"A-apa? Maksudmu, Pa?" tanya Melia terbelalak kaget dan terbata berusaha menanyakan maksud kalimat suaminya itu.
"Ya aku mau nikah lagi! Dulu aku nikahin kamukan udah enggak perawan! Jadi aku mau nikah lagi sama perawan," jelas Herdian.
"Kamu lagi ngerjain aku ya, Pa? Siang-siang gini bercanda aja!" seru Melia kesal.
"Aku serius, Ma. Enggak bercanda! Aku memang mau nikah lagi! Aku pengen ngerasain belah duren yang sebenarnya," tegasnya.
Herdian nampak bersungguh-sungguh mengatakannya. Membuat Melia yang sedang menyetrika dan melipat baju menghentikan aktifitasnya.
"Papa, tolong jangan bahas masa lalu. Kalau anak-anak mendengarkan enggak enak!" tegas Melia berbisik.
"Kenapa? Memang itu kenyataannya. Aku menikahimu karena kamu sudah berbadan dua dan ditinggal kabur pacarmu waktu itu!" tegas Herdian tanpa beban.
Melia mendelik dan mencubit suaminya. Dimatikan setrika yang masih panas itu. Lalu diseretnya lelaki itu ke dalam kamar.
Herdian memang lelaki yang sikapnya kurang santun. Dia ceplas-ceplos dan seenaknya saja jika berbicara. Kebaikannya seumur hidup yang selalu diungkit-ungkit di depan Melia adalah menikahi Melia, ketika wanita itu tengah berbadan dua dan ditinggalkan oleh kekasihnya.
Entah apa yang mendasarinya menolong Melia dulu. Apa karena Melia memang dia diam-diam menyukai Melia yang dulu juniornya di kantor pengacara. Atau karena kedua orang tua Melia adalah orang paling terpandang di kampung.
"Sudah, sekarang silahkan kamu puas bicara. Kamu boleh hina aku, tapi jangan di depan anak-anak, Pa. Aku takut psikis mereka terganggu!" tegas Melia bijak. Ia menutup rapat-rapat pintu kamar mereka.
"Aku sudah bicara dari tadi! Kamu yang belum merespon ucapanku!" tegas Herdian.
"Menurutmu?" tanya Melia balik.
"Ya kamu harus setuju," jawab Herdian enteng.
Melia membelalak kaget. Bagaimana bisa suaminya semudah itu berkata. Apakah dia tidak memikirkan perasaan Melia. Melia seorang wanita, wanita mana yang rela suaminya mendua? Dasar lelaki gila!
"Pa, kamu enggak berpikir bagaimana perasaanku?" tanya Melia. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku yakin kamu sanggup, Ma. Aku janji akan adil. Aku akan membagi waktu dengan kalian sama rata. Juga gajiku, aku tidak akan menelantarkan anak-anak. Kebutuhanmu dan anak-anak akan tetap kupenuhi. Aku ini tidak minta cerai. Hanya minta ijin menikah lagi," jelas Herdian panjang lebar.
"Istri mana yang rela suaminya menikah lagi, Pa? Aku bukan Khadijah, Aisyah atau siapa pun istri Nabi yang lain. Aku tidak akan rela suamiku menikah lagi," tolak Melia. Dadanya sesak melihat tingkah suaminya itu.
"Kamu tidak ingat dulu, Ma! Aku sudah menyelamatkan muka keluargamu dengan menikahi kamu yang tengah berbadan dua. Sekarang, aku menuntut pengertianmu. Aku ini lelaki, punya kebutuhan!" tegas Herdian.
"Memangnya aku enggak sanggup memenuhi kebutuhanmu, Pa? Setiap kamu minta aku selalu berikan! Sampai anak empat pun, aku selalu bersedia jika kamu minta!" balas Melia. "Kurang apa aku, Pa? Sebagai ibu beranak empat aku juga selalu marawat diriku!" lanjutnya.
"Aku butuh variasi, Ma. Aku butuh sensasi bercinta dengan orang yang berbeda! Daripada aku jajan atau berzina! Lebih baik aku menikah lagikan? Lagipula aku minta izin karena aku menghormatimu! Coba lelaki lain di luar sana mereka mau menikah ya menikah aja. Mana ada yang ijin-ijin segala!" seru Herdian berang.
Melia membelalakkan matanya tak percaya. Jadi begini rasanya menghadapi seorang lelaki yang tak lagi sanggup menundukkan pandangan dan menahan syahwatnya? Bagaimana bisa? Seenteng itu dia berkata akan menikah lagi dan Melia harus setuju?
"Apa kamu sudah berselingkuh di belakangku selama ini, Pa?" tanya Melia penuh selidik.
Sebagai istri, selama ini Melia memang tidak pernah berburuk sangka dengan Herdian. Dia juga bukan tipe istri yang usil untuk memantau gawai dan sosial media suaminya. Ia percaya Herdian sepenuhnya.
Herdian hanya membisu. Ia memalingkan muka dan sibuk memainkan gawainya. Terlihat sekilas ia sedang berkirim pesan di aplikasi hijau.
Melia jadi curiga, ditatapnya sekali lagi suaminya itu. Hampir direbutnya gawai Herdian. Tapi gagal karena ditepis tangannya oleh Herdian.
"Pa! Jawab!" seru Melia.
"Belum! Aku hanya ingin menikah lagi dan aku akan segera mencari calonnya dengan atau tanpa persetujuanmu!" tegas Herdian sengit.
Setelah berkata demikian Herdian pergi meninggalkan Melia sendiri di dalam peraduan mereka. Lelaki itu mengambil kunci mobil dan kemudian pergi dari rumah. Meninggalkan Melia sendiri yang masih shock dengan sikap suaminya itu.
"Ma, ada apa? Mama ribut lagi sama Papa?" tanya anak pertama Melia. Remaja lima belas tahun itu sepertinya sudah paham dengan pertengkaran orang tuanya yang terkadang menjadi bumbu rumah tangga.
"Enggak, Vian! Mama hanya sedikit berbeda pendapat dengan Papa," jelas Melia.
"Udah deh, Ma. Enggak usah berbohong. Vian dengar kok!" tegas Alvian anak pertama Melia.
"Kamu dengar apa?" tanya Melia penuh selidik. Dia takut Alvian mendengar kata-kata Herdian soal status Alvian.
"Semuanya, semua apa yang Mama dan Papa bicarakan. Suara Papa cukup keras untuk terdengar di telinga Vian," ujar Alvian.
‘Ya Allah, apakah Alvian mendengar ucapan Mas Herdian soal hamil di luar nikah?’ tanya batin Melia ketakutan.
Wanita berusia tiga puluh lima tahun itu berkeringat dingin. Wajahnya pucat pasi ketakutan.
"Kamu mendengar apa, Vian?" Kembali Melia mengulangi pertanyaannya. Jantungnya berdetak dua kali lebih kencang.
Alvian membisu sesaat, ia nampak ragu berucap. Namun sikap Melia yang tak sabar membuatnya harus mengatakannya.
Melia semakin curiga Alvian sungguh sudah mendengar ucapan Herdian beberapa saat lalu. Kesal Melia denga Herdian yang suka sembrono dalam berkata-kata.
"Vian, bukan anak Papa ya, Ma?" tebak Alvian. Wajahnya terlihat keruh dan matanya berkaca-kaca.
Melia lemas seketika, ia membayangkan bagaimana terlukanya hati bocah remaja di hadapannya itu. Rahasia yang disimpan rapat Melia selama ini, terkuak begitu saja. Hanya karena hasrat Herdian untuk menikah lagi.
"Bu-bukan begitu, Nak. Papa tadi salah bicara. Maksud Papa bilang begitu hanya bercanda," ujar Melia menghibur Alvian. Ia berusaha menutupi semuanya.
"Sudahlah, Ma! Jangan menghibur Vian. Vian sudah tahu semuanya kok. Sebelum Papa berkata di depan Mama, Vian pernah tanpa sengaja mencuri dengar pembicaraan Papa dengan seseorang di telepon," jelas Vian.
Ternyata, bocah remaja itu sudah lebih dulu tahu statusnya. Mata Melia yang sudah berkaca-kaca akhirnya luruh juga. Melia memeluk Alvian dan tergugu.
"Ma-maafkan Mama, Nak. Ini semua kesalahan, Mama," isak Melia.
Alvian balas memeluknya erat. Sungguh kini ia menyadari bahwa di dunia ini, dia hanya punya ibu tanpa ayah.
"Anak-anak yang lahir di luar nikah maka akan bernasab pada ibunya." Begitu kajian yang pernah ia dengar ketika ikut kajian rutin di sekolahnya. Saat itu, penceramahnya sedang menjelaskan bahaya pergaulan remaja dan zina.
"Aku berjanji, mulai saat ini aku akan membahagiakan Mama," bisik Alvian yang nyaris tak terdengar.
"A-apa, Nak?" tanya Melia sambil melepaskan pelukannya denga Alvian. Ia sepintas mendengar Alvian menggumam tak jelas.
"Ah, enggak kok. Enggak apa-apa, Ma," jawab Alvian berbohong, pemuda itu lalu tersenyum dipaksakan.
"Kamu bagaimanapun tetap anak Mama," ujar Melia menguatkan putra lelakinya itu.
Alvian mengangguk, ia lalu meminta izin Melia untuk pergi ke kamarnya.
"Vian!" panggil Melia.
