Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Istri yang Sempurna

Setelah mencatat pesanan di meja Herdian dan kekasihnya pelayan itu segera pergi. Gerah dia melihat pasangan yang sudah tak muda lagi namun tingkahnya macam anak ABG saja.

"Kamu ih, lepasin kaki akuu! Dilihatin pelayan dan pengunjung cafe ini nih," keluh kekasih gelap Herdian jengah. Ia berusaha melepas kuncian kaki Herdian pada kakinya.

"Aku sudah enggak betah, Sayang," rajuk Herdian bagai bocah lima tahun minta jajan.

"Sabar, kita isi tenaga dulu. Baru setelah itu aku kasih kamu hadiah," tolak wanita itu mengulur waktu.

"Aduh, Christine! Kamu memang selalu bisa membuat aku pengen ehemmm!" seru Herdian. Ia melepaskan kuncian kakinya pada Christine. Tetapi pria itu beralih meremas gemas pinggul Christine dengan penuh hasrat kelaki-lakian.

Wanita bernama Christine tersebut bukan jijik, tapi malah mengerling dan tersenyum menggoda. Sungguh ia begitu pintar memainkan tingkah lakunya sehingga membuat Heridan makin penasaran dan tidak bisa lepas dari pesonanya.

Lelaki itu tenggelam dalam hasrat hawa nafsunya yang sudah membuncah hingga ke ubun-ubun. Hilang sudah logika dan akal sehatnya. Iman apa kabar? Aduh jangan ditanya, lelaki yang sudah tersesat dalam gelombang hasrat yang tak terbendung begitu biasanya memang sudah tak punya iman.

Sebuah pesan masuk ke handphone Herdian dari Melia. Istri pria itu menanyakan keberadaannya. Namun tidak dipedulikan dan hanya diliriknya sekilas saja. Sebelah tangan Herdian masih berada di pinggang kekasih gelapnya yang bernama Christine tersebut. Lalu tangan yang lain menggenggam gelas minuman. Minuman yang beberapa saat lalu baru diantar pelayan.

Tak selang berapa lama, telepon pintar Herdian yang diletakkan tak jauh dari gelasnya itu bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Melia terlihat. Pria itu melirik sekilas lalu kembali cuek. Raut wajah malas terlihat kentara sekali tergambar di air mukanya.

"Itu teleponnya diangkat dulu, Sayang," ujar Christine. Wanita itu berkata sambil menempelkan tubuhnya lebih dekat dengan tubuh Herdian. Membuat panas tubuh keduanya yang sudah dilanda kasmaran ini berbaur jadi satu.

"Biarin aja, ganggu!" ujar Herdian. Ia membisukan dan membalik layar telepo pintarnya.

"Sayang ... jangan gitu! Siapa tahu penting," bisik Christine tepat di cuping telinganya.

Duhhh bagaimana Herdian bisa mengabaikannya dan mengangkat telepon Melia kalau Christine begitu menggoda dengan sikapnya. Wanita simpanannya itu malah menggeliat-geliat seperti ulat bulu kegatelan dalam pelukan Herdian.

"Duhhh, Christine! Aku udah enggak tahan. Kita check in yuk!" ajak Herdian yang berbegegas bangkit dan merengkuh Christine dalam pelukannya. Menyeret tubuh berlekuk molek bagai gitar spanyol yang berbalut mini dress tosca sangat ketat itu.

***

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari dan Herdian belum juga pulang. Melia yang sedari tadi cemas menanti kepulangan suaminya menjadi semakin curiga. Sangat aneh jika suaminya hingga jam segini belum juga pulang.

Diteleponnya kembali Herdian, entah ini sudah panggilan ke berapa. Namun Herdian tak juga mengangkat teleponnya. Lalu ketika ia meneleponnya sekali lagi dini hari itu, telepon pintar milik Herdian telah mati.

"Ya Allah, Mas. Ke mana kamu? Mengapa harus seperti ini sih?" batin Melia mulai menangis. Panik, khawatir, kesal, campur aduk di dada Melia.

"Mama belum tidur?" Seseorang mengagetkan Melia yang sedang panik di ruang tamu.

"Belum, Nak," jawab Melia.

Sudah sejak selepas Isya Melia menunggu Herdian di ruang tamu. Ia bahkan beberapa kali tertidur dan terbangun di sofa ruang tamu tersebut.

"Mama nunggu papa ya?" tanya Lolla, putri pertama Melia dan Herdian. Adik Alvian.

"Iya, Nak. Kamu kok kebangun?" Melia balas bertanya.

"Aku mau ke kamar mandi lalu mengambil minum tadi. Tapi kulihat Mama di ruang tamu," jelas Lolla.

"Ya sudah, kamu tidur lagi. Biar Mama saja yang menunggu papa," ujar Melia.

Lolla bukannya kembali ke kamar, ia malah duduk di samping Melia. Menemani ibunya menunggu di sofa.

"Kamu ngapain, Lolla? Sudah tidur lagi sana! Besok kamu sekolah," ulang Melia.

"Enggak, aku enggak bisa tidur lagi. Mendingan aku temani Mama di sini. Nanti kalau kantukku datang lagi baru aku masuk kamar," tolak Lolla.

"Dasar kamu, keras kepalanya seperti papamu," ujar Melia.

"Hehehe ... kan aku anaknya, Ma," cengir Lolla lucu.

Hati Melia teriris mendengar kata-kata Lolla barusan. Ia teringat bagaimana kemarin Herdian dengan tak merasa bersalahnya berkoar-koar bahwa Alvian bukan anaknya.

Ya, Herdian memang benar meski menyakitkan. Alvian adalah anak Melia dari kekasihnya yang kabur dulu. Sedangkan Lolla adalah anak pertama mereka yang lahir setahun setelah Alvian lahir.

"Ma! Ih, kok Mama malah ngelamun!" tegur Lolla.

Melia tersenyum, ia mengelus kepala Lolla hingga rambutnya yang tergerai sebahu. Anak gadisnya yang masih duduk di bangku kelas dua SMP itu memang cantik. Wajahnya khas Herdian sementara kulitnya menurun dari Melia.

"Sudah tidur lagi sana! Kalau kelamaan mengobrol sama Mama nanti kamu ngantuk di sekolah," ujar Melia bijak.

"Mama yakin enggak mau tidur juga? Besok pagi kan Mama juga harus masak dan menyiapkan kebutuhan kami. Nanti Mama sakit kalau enggak tidur," tanya Lolla.

"Iya nanti mama tidur. Mama tunggu papa sebentar lagi," jawab Melia.

"Oia, Ma. Besok uang sekolah Lolla sudah ada belum? Kemarin ditagih bu guru, Ma. Lolla belum bayar dari bulan kemarin," pinta Lolla.

"Lo, papamu belum kasih?" tanya Melia.

Lolla menggeleng.

"Punya Kak Vian sudah?" tanya Melia lagi.

"Entah, Ma. Sepertinya belum juga," jawab Lolla yang membuat Melia kembali mengelus dada.

"Ya sudah, nanti mama telepon kakek. Mama akan pinjam uang kakek dulu untuk bayar uang sekolah kalian. Sekarang kamu tidur dulu ya," ujar Melia.

Lolla menguap dua kali, lalu menuruti permintaan mamanya itu. Ia bangkit dan gegas kembali ke kamarnya.

Melia pias memandang punggung anak gadisnya yang masih remaja itu. Anak-anak Melia dan Herdian memang sudah beranjak besar. Si bungsu saja sudah berusia enam tahun.

Tetapi mengapa, semua ini tidak membuat Herdian semakin sayang keluarganya. Malah membuat lelaki itu berhasrat untuk menikah lagi. Dasar lelaki kurang ajar!

Melia sudah hampir pindah ke kamarnya, saat ia mendengar suara mobil Herdian masuk ke dalam gerbang rumah mereka. Lelaki yang dinantinya berjam-jam yang lalu itu akhirnya pulang juga.

Ingin rasa hati Melia untuk membanting pintu dan memaki suaminya. Tetapi apa daya, Melia tak mungkin melakukannya. Ia hanya bisa mematung di ruang tamu. Menunggu Herdian masuk dan berencana akan menanyainya baik-baik.

Lemah! Memang, Melia berada pada kondisi sangat lemah dengan tidak bekerja dan harus merawat empat anak dari Herdian. Bagaimana bisa ia macam-macam. Jika Herdian menceraikannya, habislah sudah. Mau makan apa ia dan anak-anaknya jika Herdian tak mau menafkahi mereka?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel