Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Masuk Rumah Sakit

Dengan berbekal rekomendasi dari Arin, Tanti berhasil mendapatkan pekerjaan di cafe cabang dari cafe sebelumnya. Arin pintar berkata hingga Tanti bisa mendapatkan pekerjaan lagi walaupun kondisi kehamilannya sudah besar.

"Arin, terima kasih ya. Selama aku susah, kamu dan ibumu selalu ada buatku. Bahkan berkat pertolonganmu juga, aku bisa bekerja lagi dan tinggal di rumah kontrakan ini."

Dengan wajah sendu, Tanti menatap ke arah Arin seraya menggenggam kedua tangannya.

"Kamu teman baikku, Tanti. Dan jika waktu itu kamu tidak pergi dari rumahku, juga berbahaya untukmu. Karena ada seorang pria bertubuh tinggi tegap mencarimu ke rumah.”

Tanti terkejut akan ucapan Arin barusan. Dia tidak menyangka jika laki-laki itu mencarinya hingga ke rumah Arin.

“Apa kamu bilang aku ada di sini?”

“Tidak. Sesuai dengan permintaanmu, aku dan ibu sama sekali tidak memberi tahu tentang keberadaanmu. Tetapi, aku tidak tega loh, jika kamu tinggal di rumah kontrakan ini seorang diri dalam kondisi hamil besar seperti ini. Apakah sebaiknya aku dan ibu tinggal di sini saja ya, untuk menemanimu," ucap Arin merasa iba melihat kondisi sahabatnya tersebut.

Tanti menolak, ia tidak ingin terlalu banyak berhutang budi pada Arin dan ibunya. “Kamu nggak usah khawatir, semua tetangga disini baik kok. Jadi, kamu dan ibu tidak usah jauh-jauh pindah kemari. Jika ada apa-apa denganku, pasti akan ada yang menolong."

Arin semakin kagum dengan Tanti yang terlihat tegar.

"Masya Allah, Tanti. Aku benar-benar salut dan heran denganmu. Kamu bahkan mempertahankan anak yang tidak kamu inginkan ada di dunia ini. Kalau aku jadi kamu, aku sudah bunuh diri," ucap Arin memuji ketegaran Tanti yang sama sekali tidak terlihat air mata. Arin melihat Tanti menangis hanya pada saat Tanti di usir dari rumahnya sendiri dan dalam kondisi hamil.

Tanti tersenyum mendengar pujian dari Arin. “Aku memang tidak mengharapkan anak ini. Tapi Allah yang berkehendak. Bukannya segala sesuatu ada atas seizin Allah. Anakku tidak bersalah walaupun cara ia hadir dengan tidak aku harapkan. Tetapi, aku tidak akan pernah menolak anakku sendiri, Arin."

Rasa kagum semakin terlihat di wajah Arin, ia memeluk Tanti dan mengusap pundak temannya itu dengan lembut.

"Aku yakin Allah akan selalu menjagamu dan calon anakmu ini dengan segala macam cara, walaupun aku dan ibu tidak ada di sampingmu. Tapi kami akan sering-sering datang kemari untuk menjengukmu dan calon keponakanku."

*******

Sejak saat itu, Arin dan ibunya sering datang ke kota dimana Tanti sekarang tinggal. Bahkan tak terasa, waktu berlalu begitu cepat.

Kini Tanti sudah memiliki seorang anak berumur enam tahun yang bernama Ade. Ade anak yang cerdas, pintar, dan berkepribadian sangat baik.

"Bu, aku berangkat ke sekolah, ya. Ibu nggak perlu antar aku, toh aku sudah besar bahkan aku sudah bisa menjaga ibu."

Ade yang baru duduk di kelas 1 SD, mempunyai sifat yang dewasa tidak sesuai dengan umurnya yang masih terlalu kecil.

"Masya Allah, anak ibu yang tampan ini memang anak yang pintar dan baik. Tapi kamu hati-hati ya, karena jalanan rame. Ingat satu hal, ibu nggak mau lagi mendengar aduan dari teman-teman ibu yang di cafe bahwa kamu ini bekerja menyemir sepatu di jalanan. Urusan cari uang itu urusan ibu. Tugasmu cuma satu yakni belajar saja."

Ade hanya mengiyakan saja, tetapi dia tidak berjanji untuk menuruti kata-kata ibunya. Sepulang sekolah ia tetap bekerja untuk menyemir sepatu. Sebagai seorang anak laki-laki, ia ingin membantu Tanti mencari nafkah.

“Wah, aku dapat berapa, ya?” Ade duduk di tepi jalan dan mulai mengeluarkan lembaran uang dari hasil menyemir sepatu yang dia dapatkan selama beberapa jam ini.

Dua orang preman muncul dan merebut uang yang ada di tangannya.

“Eh itu uangku. Kembalikan!" teriak Ade sambil melompat, berusaha untuk mendapatkan uangnya kembali.

“Kamu ini ada di jalanan mana? Kamu harus bayar kalau mau nyemir di sini!” ujar salah satu preman itu.

Saat Ade kesusahan untuk mengambil miliknya, seseorang datang dan merebut lembaran uang yang ada di tangan salah satu preman itu.

“Apa yang kalian lakukan?” tanya laki-laki tinggi dengan pakaian rapi itu marah. Belum sempat dua orang preman itu membuka mulutnya, dia sudah berbicara. “Pergi. Atau, kupatahkan lehermu!”

Dua orang preman berbadan kecil itu tentu saja takut. Mereka langsung pergi dengan  meninggalkan uang yang sebagian tercecer ke trotoar.

“Terima kasih, Pak,” ucap Ade setelah mengumpulkan uang miliknya.

 

"Nak, kenapa kamu tinggal di jalanan seperti ini? mana orang tuamu?" tanya pria itu mensejajarkan tubuhnya setara dengan Ade. Ditatapnya anak laki-laki itu, pemilik mata sendu yang entah kenapa menarik perhatiannya.

"Om, aku sedang bekerja kok. Aku mempunyai tempat tinggal jadi aku tidak tinggal di jalanan. Aku ingin membantu ibu mencari uang. Karena selama ini ibu bekerja seorang diri, aku nggak tega," jawab polos Ade tanpa lupa tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.

Pria itu penasaran hingga ia bertanya banyak hal pada Ade bahkan tentang ayah kandungnya. Entah kenapa pria ini terasa sangat dekat dan akrab serta nyaman dengan Ade.

Sejak pertemuan itu, ia berteman baik dengan Ade dan sering memberi mainan atau peralatan sekolah bahkan uang, tetapi uang tersebut di tabung oleh Ade dengan tujuan jika sudah banyak akan ia berikan untuk Tanti.

Tanti sempat merasa heran jika Ade memilliki peralatan sekolah baru dan begitu banyak mainan baru. Saat akan makan malam, Tanti memanggil Ade untuk berbicara.

"Ade, ibu ingin tahu semua ini kamu dapatkan dari mana? Ibu tidak mau kamu melakukan hal buruk untuk mendapatkannya," tegur Tanti seraya menatap tajam Ade.

Ade justru tersenyum membuat Tanti heran. “Nak, ibu sedang bertanya loh! Bukan sedang melawak, kok kamu tersenyum seperti itu?"

Ade pun memegang kedua pipi Tanti, karena posisi mereka sedang duduk hingga sejajar dan Ade pun berkata. “Ibuku, Sayang. Aku mendapatkan semua ini dari seorang Spiderman."

Ade menceritakan perihal pria yang menolong dirinya pada saat diganggu preman. Ade juga bercerita sejak ditolong oleh pria itu, ia tidak pernah lagi diganggu oleh preman saat bekerja menyemir sepatu. Bahkan ia berteman baik dengan pria itu.

“Bukannya Ibu sudah bilang kamu nggak usah semir sepatu lagi?” Tanti marah, tapi amarahnya reda saat Ade memeluknya erat dan mencium pipinya.

“Aku sayang Ibu. Aku nggak mau Ibu sakit dengan banyak kerja seperti itu. Ibu tau nggak dia itu—“

Belum juga Ade menunjukkan jari diri pria itu pada Tanti, Ade mengaduh kesakitan dan membuat Tanti khawatir.

“Nak, kamu kenapa?” tanya Tanti menepuk pipi Ade, tapi anak itu kemudian tidak sadarkan diri.

Tanti panik, segera membawa Ade ke rumah sakit.

Ade sering merasakan ngilu dan nyeri di bagian punggungnya. Karena sakitnya itu dia harus dirawat di rumah sakit dan tidak bisa beraktifitas seperti biasanya apalagi pergi ke sekolah.

Tanti sudah tidak bisa berpikir lagi, semua cara sudah dia lakukan untuk mendapatkan uang demi pengobatan putranya.

Baru beberapa hari Ade di rumah sakit dia sudah menghabiskan banyak biaya. Bahkan Ade juga memberikan tabungannya untuk membantu biaya dirinya.

"Bu, kita pulang saja ya. Biarkan aku di rawat di rumah saja karena biaya rumah sakit pasti sangat mahal. Oh ya, apakah ihu sudah ambil tabunganku yang aku simpan di sebuah kaleng roti?" ucap lirih Ade.

"Sudah, Nak. Ibu minta maaf ya. Karena terpaksa mengambil uang tabunganmu, tapi jika kamu sudah sembuh, ibu akan ganti uangmu jika sudah bekerja lagi," ucap lirih Tanti seraya mengusap rambut Ade yang sedang terbaring lemah.

Tanti heran kenapa Ade tiba-tiba sakit dan tidak sembuh-sembuh.

Tak berapa lama, dokter datang dan mengajak Tanti berbicara di ruangannya. Untung saja ada Arin dan ibunya hingga ia merasa lega ada yang menjaga Ade sejenak.

"Dok, bagaimana kondisi anak saya? sebenarnya ia sakit apa?" tanya Tanti mulai cemas.

Dokter terdiam, menghela napasnya pelan dan hal itu sukses membuat Tanti menjadi ketakutan.

"Pasien alami penyakit sumsum tulang belakang. Setelah kami cek dan periksa lebih lanjut, pasien harus segera menjalani operasi pencangkokan sumsum tulang belakang supaya bisa beraktivitas seperti sediakala. Apakah ada di antaranya keluarga yang memiliki riwayat penyakit seperti ini?" tanya dokter.

Dokter telah memeriksa Ade dan mendiagnosis jika anak kecil itu menderita sakit yang parah

Seketika dunia Tanti hancur mengetahui jika sang putra sedang sakit parah. Tanti tidak menyangka jika selama ini ternyata ada bom waktu yang bisa tiba-tiba saja merenggut nyawa putranya.

Tanti menggelengkan kepalanya dengan air mata yang sudah membasah di pipi. Dia tidak mengingat ibu atau ayahnya yang sakit parah.

"Saya rasa mungkin dari pihak ayahnya? Itu lebih besar diturunkan kepada anak."

Tanti jelas tidak tahu akan hal itu sehingga dia menggelengkan kepalanya sekali lagi.

"Jadi, bagaimana ini, Dokter?" tanya Tanti lagi. Perasaannya sudah campur aduk sekarang, menunggu penjelasan selanjutnya dari dokter.

Dokter menyarankan operasi pencangkokan sumsum tulang belakang, dan yang bisa mendonorkan sumsum tulang belakangnya hanyalah ayah kandung Ade.

Sontak saja Tanti terperangah, ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Belum juga terselesaikan bagaimana caranya ia bisa mendapatkan biaya untuk operasi. Kini ia harus mencari keberadaan Darian, padahal ia sama sekali tidak ingin bertemu dengan Darian lagi. Tanti benar-benar dilema dibuatnya.

"Ya Allah, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?”

Tanti kembali ke ruangan sang putra dengan langkah kaki yang pelan dan lemas.

Dia sedang berpikir untuk mendapatkan uang, tapi sekarang dia juga harus berpikir untuk mencari Darian demi kesembuhan putranya.

“Apakah aku harus mencari keberadaan pria brengsek itu? Tapi ... jika aku tidak mencarinya, apa yang akan terjadi kepada anakku?” 

Tanti tidak ingin terjadi hal yang buruk dengan Ade.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel