03. Perkelahian Kecil
"Apa kamu bilang? Apakah aku tidak salah dengar?" Hua Fei yang menjadi tertawa kali ini.
Hua Fei merasa sangat geli mendengar perkataan Jing Yanxi yang sedang mengunggulkan dirinya sendiri, dan tidak pernah mau bersikap rendah hati kepada siapa pun. "Dan kupikir, seekor keledai bahkan masih lebih pintar darimu. Seekor katak pun kurasa tidak lebih rendah dari dirimu yang congkak itu!"
"Lancang!" Salah seorang anak buah Jing Yanxi menghardik. Dia sungguh sangat tidak terima sang tuan muda mereka dihina dan dikatai oleh seseorang yang bagi mereka, Hua Fei hanyalah anak tidak memiliki kemampuan apa pun selain daripada seorang kutu buku. "Beraninya kamu mentertawakan dan mengatai tuan muda kami! Hua Fei, apa kamu sudah bosan hidup?"
Hua Fei menjawab, "Benar. Aku memang sudah bosan hidup melihat keangkuhan kalian!"
"Sekarang minggirlah!" Hua Fei juga membentak, menyingkirkan banyak orang dan berlari menghampiri Jing Ling setelah menabrak tubuh Jing Yanxi.
Hua Fei bahkan berani mendorong hingga jatuh salah seorang anak buah tuan muda Keluarga Jing yang sedang menjaga Jing Ling. Pemuda itu berulang kali mengusap-usap pakaian saudaranya guna membersihkan debu dan kotoran lain yang menempel di tubuh sang adik.
Hua Fei bertanya dengan perasaan cemas. "Adik Ling, kamu tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa. Kakak Fei jangan khawatir." Jing Ling menjawab seraya memasang kuda-kuda. "Kakak Fei menyingkirlah! Biar aku yang akan hadapi mereka semua!"
"Adik Ling, kamu tenanglah. Aku di sini akan membelamu!" Hua Fei berucap sambil menurunkan keranjang bambu berisikan ular, lalu meletakan benda berbahaya itu sedikit jauh dari arena perkelahian.
Hua Fei segera kembali ke sisi Jing Ling dan bersiap-siap untuk menghadapi Jing Yanxi beserta para pengikutnya yang berjumlah enam orang anak muda hampir seusia mereka.
Jing Ling menolehkan wajahnya dan berbisik, "Kakak pulanglah terlebih dahulu untuk mencari ibu atau Paman Cheng. Biar aku saja yang menghadapi mereka semua!"
"Tidak, Adik Ling! Aku tak akan meninggalkanmu sendirian menghadapi bahaya. Terlebih lagi, Jing Yanxi ini adalah anak yang licik dan suka main curang." Hua Fei menyahut sambil menyiapkan kepalan tinjunya. Mata bocah lelaki itu terus menatap tajam ke arah anak-anak yang mulai bergerak mengepung mereka berdua. "Kita hadapi mereka bersama-sama!"
Jing Ling tak berdaya untuk membuat Hua Fei pergi dan terpaksa menyetujui niat kakak seperguruannya ini. "Baiklah. Tapi berhati-hatilah, Kakak Fei!"
"Mmh." Hua Fei mengangguk. Matanya kembali menatap orang-orang di sekitarnya dengan tajam.
"Jadi, kalian sudah merasa jagoan untuk menghadapi kami?" Jing Yanxi maju beberapa langkah ke depan sambil berkacak pinggang dan meludah dengan kasar. "Cuiih! Kalian berdua hanya anak-anak lemah kurang gizi dari keluarga yang dikucilkan!"
Gelak tawa kembali membahana, membuat Jing Ling dan Hua Fei menjadi kian gusar. Keduanya semakin merasa sakit hati atas perlakuan kasar Jing Yanxi dan kawan-kawannya. Jing Ling yang tidak memiliki kesabaran seperti sang kakak, secara tiba-tiba telah maju dan langsung menghadiahkan sebuah bogem mentah ke wajah Jing Yanxi.
Anak muda bertubuh lebih tinggi dan besar dari Jing Ling pun, seketika menjerit keras sembari memegangi wajahnya yang terasa nyeri dan sakit. Namun, seorang Jing Ling merasa masih belum puas dengan hanya melancarkan satu pukulan saja. Murid utama dari Hua Yan ini telah melepaskan hantaman kepalan tangannya secara bertubi-tubi.
Wajah Jing Yanxi sekarang lebam di beberapa tempat, hidungnya mimisan dan bibirnya pecah. Namun, harinya lebih sakit dan geram atas tindakan brutal Jing Ling.
"Tuan Mudaaa!" Beberapa pengikut Jing Yanxi menjadi histeris, saat menyaksikan kebrutalan seorang Jing Ling yang sedang menghajar majikan mereka.
"Bagaimana ini?" bertanyalah anak bertubuh gemuk dengan wajah cemas.
Kawannya yang bertubuh kurus menjawab dengan nada khawatir. "Bagaimana lagi? Bukankah kita harus membantunya? Jika tidak, wajah tuan muda bisa babak belur!"
"Benar. Aku takut kalau nanti tuan besar nanti juga memarahi orang tua kita dan kita semua akan dihukum dengan sangat berat!" Anak lelaki bertubuh gemuk menyahut.
"Ayo maju bersama! Kita beri pelajaran bagus untuk anak pengkhianat itu!" Anak yang lain berseru.
Hua Fei yang melihat pergerakan enam orang anak lainnya, segera bergerak dengan cepat menghadang laju langkah mereka. Tidak ada bersit ketakutan atau rasa gentar sedikit pun pada sorot mata anak lelaki itu. Wajahnya terlihat santai, tetapi aura yang terpancar berhasil menggetarkan hati lawan.
"Hei, Berhenti! Lawan kalian adalah aku! Ayo, kita berkelahi satu lawan satu dan jangan beraninya hanya berbuat curang dengan main keroyokan. Dasar licik!" Hua Fei berseru sembari memasang kuda-kuda kokohnya.
"Hei, Hua Fei! Mengapa kamu ikut campur urusan Keluarga Jing?" bertanya si anak gendut dengan nada tak senang.
Hua Fei menatap tajam ke arah anak-anak berpakaian seragam Keluarga Jing dan menjawab, "Adik Ling adalah saudaraku. Jadi, aku akan membelanya dan tak akan membiarkan siapa pun menyakitinya, termasuk kalian semua!"
"Heh, Hua Fei! Dia hanyalah seorang anak dari seorag pengkhianat keluarga. Pikirkan saja olehmu, apakah dia layak mendapatkan perlakuan yang istimewa darimu?" Anak lelaki berponi tebal bertanya.
"Benar, Hua Fei! Untuk apa kamu terus di sampingnya? Lebih baik, kamu bergabunglah bersama kami!" ujar si gendut berpipi gemuk mirip roti bakpao kukus. Dia menawarkan agar Hua Fei mau bergabung dengan kelompok mereka.
"Soal dia layak atau tidak, kalian tanyakan saja pada kepalan Tinju Godam Mautku!" Hua Fei secara tiba-tiba menyerang pelipis anak lelaki gendut dengan jurus pukulan yang diajarkan oleh Hua Yan, pamannya. Meskipun itu hanyalah jurus tahap dasar, akan tetapi sudah cukup untuk memberi pelajaran bagi anak-anak yang tidak menguasai ilmu bela diri.
Tubuh anak lelaki gendut terhuyung-huyung akibat rasa sakit dan pusing pada kepalanya. Pandangan bocah bertubuh gempal itu pun, menjadi kabur dan berkunang-kunang. Belum lagi hilang rasa sakit, sebuah pukulan pada dagunya berhasil membuat dia jatuh tersungkur.
"Genduuuuut!" Para pengikut Jing Yanxi yang lain berteriak histeris. Mereka semua terlihat berang setelah jatuhnya kawan mereka di tangan Hua Fei.
Salah seorang dari mereka berteriak marah. "Hua Feii! Kamu benar-benar membela anak dari si pengkhianat itu!"
"Tidak usah banyak bicara!" Hua Fei tidak memedulikan perkataan mereka, tentang ayah dari Jing Ling. Baginya, dia akan berada di garis depan saat sang saudara dalam bahaya.
"Ayo! Siapa lagi yang ingin merasakan tinjuku?" Hua Fei menantang sambil mengacungkan kepalan tinjunya dan menyeringai sinis.
"Hah! Kamu pikir kami takut pada jurus murahanmu itu?" Anak lelaki berbadan sedang dengan sebuah tahi lalat pada kiri hidungnya maju dan langsung menyerang Hua Fei secara serampangan.
"Maka majulah kalian bersama-sama, agar kalian juga tersungkur bersama-sama pula dihantam jurus murahanku ini!" Hua Fei menggerakkan tangan, menantang anak-anak dari Keluarga Jing. Hua Fei hanya tidak ingin jika enam bocah ini mengeroyok Jing Ling, hingga dia pun rela mengorbankan diri untuk saudara mudanya tersebut.
Perkelahian tidak seimbang benar-benar terjadi, tetapi Hua Fei juga bukanlah seorang anak yang biasa saja. Dia adalah murid dari Sekte Lembah Berawan, sekaligus keponakan dari Hua Yan. Bisa dibilang juga, ilmu bela diri yang dia kuasai sudah cukup tinggi untuk ukuran pemula. Terlebih lagi, yang dihadapinya saat ini hanyalah anak-anak tak memiliki ilmu kanuragan apa pun.
"Aaaaaaaa!"
Suara pekikan keras terdengar dari arah arena perkelahian antara Hua Fei dan enam orang anak buah Jing Yanxi. Seseorang terpental dari lingkaran perkelahian kecil dan enam orang lainnya segera menghentikan gerakan penyerangan.
Mereka tercengang!