Mata yang Menyimpan Rahasia
Senyum sinis itu adalah percikan api di atas tumpukan kayu kering. Kemarahan yang Cheesa coba kubur dalam-dalam sejak insiden bingkai foto kini berkobar hebat, panasnya menjalar hingga ke ujung jemarinya.
"Balikin," desis Cheesa, suaranya rendah dan bergetar.
Aron tidak bergerak. Matanya yang dingin masih menatap Cheesa, seolah menikmati setiap getaran amarah yang gagal disembunyikannya.
"Balikin apa?" tanyanya, pura-pura tidak mengerti. Suaranya tenang, kontras dengan deru sorak-sorai dari pengeras suara televisi.
"Kamu tahu apa. Channel-nya," tuntut Cheesa, memberanikan diri menatap balik.
"Aku lagi nonton."
"Oh, yang itu?" Aron melirik sekilas ke layar yang menampilkan dua puluh dua pria berlarian mengejar bola.
"Sayang sekali. Aku lebih suka yang ini."
"Aku nggak peduli kamu suka apa. Aku nonton duluan." Cheesa merasakan pipinya memanas. Ia benci terdengar seperti anak kecil yang merengek, tetapi penghinaan terang-terangan ini sudah keterlaluan.
"Benarkah?" Sudut bibir Aron kembali terangkat. "Tapi ini televisi di rumahku. Berarti aturannya, aturan mainku."
Setiap kata adalah penegasan. Kamu penyusup. Kamu tidak punya hak. Kamu bukan siapa-siapa di sini.
Napas Cheesa memburu. Ia bisa saja berteriak memanggil ibunya atau Tn. Hartono. Ia bisa saja membuat keributan. Namun, ia tahu itu hanya akan membuatnya tampak lebih lemah di mata iblis yang duduk di sebelahnya ini. Kemenangan kecil yang menyedihkan. Tidak. Ia tidak akan memberinya kepuasan itu.
Tanpa sepatah kata pun, Cheesa berdiri. Ia meraih remote control dari tangan Aron dengan satu sentakan cepat. Jari mereka bersentuhan sesaat kulitnya terasa dingin. Sebelum Aron sempat bereaksi, Cheesa menekan tombol power dengan keras.
"KLIK."
Layar raksasa itu mati. Suara riuh stadion lenyap seketika, meninggalkan keheningan yang seratus kali lebih berat dan lebih tegang daripada sebelumnya.
Cheesa melempar remote itu ke atas sofa di antara mereka.
"Kalau gitu, nggak ada yang nonton," katanya dengan suara mantap, menatap lurus ke mata Aron yang kini sedikit melebar karena terkejut.
Untuk sepersekian detik, topeng dingin Aron retak. Cheesa melihat kilatan sesuatu di matanya bukan lagi superioritas, melainkan kemarahan murni yang membara. Namun, sebelum Cheesa sempat merasa menang, Aron sudah berhasil mengendalikan dirinya. Ia kembali menyandarkan punggungnya, ekspresinya kembali datar.
"Terserah," ucapnya acuh tak acuh, seolah tindakan Cheesa barusan tidak lebih dari gangguan seekor lalat.
Namun, Cheesa tahu ia berhasil mengenainya. Ia telah menolak untuk menjadi korban. Dengan dagu terangkat, ia berbalik dan berjalan menaiki tangga spiral, merasakan tatapan Aron membakar punggungnya di setiap langkah. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Setiap kali matanya terpejam, ia melihat senyum sinis itu, dan ia bersumpah pada dirinya sendiri, ia tidak akan pernah membiarkan Aron melihatnya hancur.
Keesokan paginya adalah sebuah sandiwara yang melelahkan. Ibunya bersikap seolah semua baik-baik saja, mengoceh tentang betapa cerahnya hari itu saat menuangkan jus jeruk ke gelas Cheesa. Tn. Hartono membaca koran bisnisnya di ujung meja, sesekali melontarkan pertanyaan basa-basi tentang sekolah baru Cheesa. Aron? Ia makan dalam diam, kehadirannya seperti lubang hitam yang menyerap semua cahaya dan kehangatan di ruangan itu.
"Nanti Aron antar kamu, ya, Cheesa? Papa ada rapat pagi sekali," kata Tn. Hartono dari balik korannya.
"Nggak usah, Pa. Cheesa bisa naik taksi daring," sahut Cheesa cepat, bahkan tanpa melirik ke arah Aron.
"Lho, kenapa begitu? Kan, searah," timpal ibunya, nadanya terdengar cemas.
"Aron, kamu nggak keberatan, kan?"
Aron meletakkan garpunya. "Aku ada urusan sebelum kelas. Nggak bisa."
Jawaban itu, seperti biasa, singkat dan final. Kebohongan yang sangat jelas, tetapi tidak ada yang berani menentangnya. Ibu Cheesa hanya bisa tersenyum kaku.
"Ya sudah, kalau begitu. Nanti biar Pak Sopir yang antar kamu," putus Tn. Hartono, seolah tidak menyadari perang dingin yang sedang berkecamuk di mejanya sendiri.
Cheesa merasa mual. Ia cepat-cepat menghabiskan rotinya.
"Aku mau siap-siap dulu."
"Eh, mau ke mana?" tanya ibunya saat Cheesa bangkit.
"Jalan-jalan sebentar di sekitar rumah. Lihat-lihat," jawab Cheesa, mencari alasan apa pun untuk kabur dari meja makan itu.
"Biar nggak tersesat nanti."
"Ide bagus!" seru ibunya, lega. "Hati-hati, ya, Sayang!"
Cheesa praktis berlari keluar dari ruang makan. Ia butuh udara. Ia butuh ruang. Ia butuh tempat di mana ia tidak perlu merasakan tekanan dari tatapan Aron. Ia memutuskan untuk benar-benar menjelajahi sangkar emasnya ini. Bukan karena penasaran, tetapi sebagai strategi. Ia perlu tahu di mana saja sudut-sudut aman, di mana ia bisa bersembunyi dari monster yang kini berbagi atap dengannya.
Rumah itu jauh lebih besar dari yang ia duga. Di lantai bawah, selain ruang keluarga dan ruang makan, ada perpustakaan megah dengan rak-rak buku yang menjulang hingga ke langit-langit, ruang kerja Tn. Hartono yang beraroma cerutu dan kulit, dan sebuah ruang bioskop mini. Semuanya terasa steril dan jarang disentuh, seperti museum pribadi.
Cheesa naik ke lantai dua. Koridornya panjang dan sunyi. Di satu sisi ada kamar tidurnya, kamar ibunya dan Tn. Hartono, serta kamar Aron di ujung. Ia berjalan ke arah yang berlawanan, menuju sayap barat rumah yang tampak lebih tua. Di sini, udaranya terasa berbeda. Sedikit lebih lembap, dengan aroma samar kayu lapuk dan debu. Karpetnya sedikit lebih usang, dan lukisan-lukisan di dinding tampak lebih personal potret-potret seorang wanita cantik dengan senyum sedih yang familier. Ibu Aron, Cheesa menduga.
Ia terus berjalan hingga ke ujung koridor, di mana terdapat sebuah pintu kayu jati yang tampak berat dan terkunci. Namun, saat Cheesa iseng mencoba kenopnya, pintu itu berderit terbuka. Rasa ingin tahu mengalahkan kehati-hatiannya. Ia mendorong pintu itu perlahan dan melangkah masuk.
Ruangan itu gelap, hanya diterangi seberkas cahaya dari jendela tinggi yang tertutup tirai beludru tebal. Debu beterbangan di udara. Di tengah ruangan, berdiri sebuah benda besar yang ditutupi kain putih. Cheesa mendekat, menarik ujung kain itu.
Sebuah grand piano hitam yang megah. Permukaannya kusam karena debu, tetapi kemewahannya tidak bisa disembunyikan. Cheesa menyentuh tuts-tutsnya yang berwarna gading. Dingin. Sunyi. Ruangan ini seperti sebuah makam kenangan.
Saat itulah ia mendengarnya.
Sangat samar pada awalnya. Sebuah melodi. Bukan dari radio atau pengeras suara. Melainkan musik hidup. Datang dari suatu tempat di lantai atas. Penasaran, Cheesa keluar dari ruangan itu dan mengikuti sumber suara. Ia menaiki satu set tangga servis yang sempit di dekat sana, yang membawanya ke sebuah loteng yang telah diubah menjadi semacam ruang rekreasi.
Ada meja biliar yang tertutup kain, beberapa sofa tua, dan di sudut terjauh, di dekat jendela bundar besar yang menghadap ke taman belakang, ada sebuah piano lagi. Yang ini lebih kecil, sebuah upright piano tua, tetapi suaranya…
Suaranya begitu indah dan menyayat hati. Alunan musiknya mengalir seperti sungai yang berduka, penuh dengan kerinduan dan kemarahan yang tertahan. Setiap not terdengar seperti sebuah pertanyaan tanpa jawaban, sebuah teriakan tanpa suara. Cheesa terpaku. Siapa yang bermain seindah ini di rumah ini?
Ia berjalan mengendap-endap, bersembunyi di balik sebuah rak buku besar. Dari celah di antara buku-buku, ia bisa melihat punggung si pemain piano. Punggung yang lebar dan tegap, dibalut kaus abu-abu. Rambut hitam yang sedikit acak-acakan.
Jantung Cheesa serasa berhenti berdetak.
Aron.
Itu Aron. Jemarinya yang panjang dan kuat, yang semalam dengan angkuh merebut remote darinya, kini menari di atas tuts dengan kelembutan dan gairah yang mustahil. Wajahnya tidak terlihat, tetapi dari gerak bahunya, Cheesa tahu ia sepenuhnya tenggelam dalam musik yang ia ciptakan.
Tidak ada lagi topeng dingin. Tidak ada lagi tatapan superior. Yang ada hanyalah kerapuhan. Seorang seniman yang sedang menumpahkan seluruh isi jiwanya yang kelam ke dalam alunan melodi.
Cheesa berdiri mematung, napasnya tertahan. Ini adalah sisi Aron yang tidak pernah ia bayangkan ada. Iblis yang menyeringai sinis itu ternyata menyimpan badai emosi yang begitu dahsyat di dalam dirinya. Musik ini adalah rahasianya. Ini adalah dunianya yang tersembunyi, di mana ia tidak perlu menjadi putra Hartono yang dingin dan sempurna. Di sini, ia bisa terluka.
Cheesa begitu terhanyut hingga ia lupa di mana ia berada. Ia melangkah sedikit ke samping untuk melihat lebih jelas, dan tanpa sengaja kakinya menyenggol sebuah buku yang tergeletak di lantai.
"Buk!"
Suara pelan itu terdengar seperti ledakan di tengah keheningan musik.
Seketika, alunan piano itu berhenti. Not terakhir menggantung di udara, terpotong dengan kasar, meninggalkan keheningan yang memekakkan telinga.
Punggung Aron menegang. Ia tidak langsung berbalik. Selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia hanya duduk diam membeku, bahunya kaku. Cheesa menahan napas, jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia takut Aron bisa mendengarnya. Ia ingin lari, ingin menghilang, tetapi kakinya seolah terpaku di lantai.
Kemudian, dengan gerakan yang sangat lambat, seolah dipaksakan, Aron memutar kepalanya.
Matanya bertemu dengan mata Cheesa dari seberang ruangan.
Dan dunia Cheesa seakan runtuh.
Mata itu. Mata yang beberapa detik lalu terpejam, menumpahkan kesedihan melalui alunan musik, kini terbuka lebar. Namun, kerapuhan itu telah lenyap, terhapus dalam sekejap mata. Yang tersisa adalah sesuatu yang jauh lebih menakutkan daripada kemarahan dingin yang biasa ia tunjukkan.
Itu adalah kegelapan yang pekat. Sebuah kekosongan yang mengancam akan menelannya hidup-hidup. Tatapannya menusuk Cheesa, seolah ia baru saja memergoki pencuri yang tidak hanya masuk ke dalam rumahnya, tetapi juga telah menodai bagian paling suci dari jiwanya.
"Apa," bisik Aron, suaranya serak dan berbahaya, "yang kamu lakukan di sini?"