Garis Pembatas di Meja Makan
Deklarasi perang tanpa suara itu menggantung di udara, lebih berat dari keheningan yang tiba-tiba melanda lorong. Lutut Cheesa terasa seperti jeli. Ia ingin berteriak, ingin memaki, ingin menuntut penjelasan atas kekejaman tanpa alasan itu. Namun, yang keluar dari bibirnya hanyalah embusan napas yang gemetar.
"Ya ampun, Cheesa, hati-hati! Kacanya pecah!" Suara ibunya memecah mantra beku itu. Ia bergegas mendekat, tetapi tidak untuk membantu Cheesa, melainkan untuk menarik lengannya agar menjauh dari serpihan tajam.
"Nanti biar Bibi yang bereskan. Ayo, kita ke meja makan."
"Tapi, Ma…" Suara Cheesa tercekat. Matanya masih terpaku pada wajah ayahnya yang tersenyum di balik retakan kaca, sebuah senyuman yang kini tampak seperti ejekan pahit.
"Sudah, tidak apa-apa," Tn. Hartono menimpali, suaranya terdengar canggung. Ia melirik ke arah ruang makan di mana putranya telah menghilang. Ada gurat ketidaksenangan di wajahnya, tetapi ia menutupinya dengan cepat.
"Itu hanya bingkai, nanti kita beli lagi yang lebih bagus. Ayo, makanannya nanti keburu dingin."
Dibeli lagi. Seolah-olah bingkai itu, foto itu, kenangan itu, bisa diganti semudah membalikkan telapak tangan. Cheesa membiarkan dirinya ditarik menjauh dari reruntuhan kecil hidupnya. Ia menelan ludah, merasakan serpihan kaca imajiner menggores tenggorokannya saat ia dipaksa duduk di kursi makan yang empuk dan dingin.
Meja makan itu panjang sekali, terbuat dari kayu jati solid yang bisa menampung dua belas orang. Di atasnya, terhidang aneka masakan yang aromanya seharusnya menggugah selera: udang bakar madu, sapi lada hitam, sup asparagus kepiting. Namun bagi Cheesa, semuanya berbau seperti abu.
Aron duduk tepat di seberangnya. Ia sudah mulai mengambil nasi, gerakannya tenang dan terukur, seolah insiden di ambang pintu tadi tidak pernah terjadi. Ia tidak menatap Cheesa, tetapi Cheesa bisa merasakan tatapannya, sebuah tekanan tak terlihat yang membuat punggungnya menegang.
"Ayo, makan, Sayang," bujuk ibunya, menyendokkan nasi ke piring Cheesa.
"Kamu harus coba supnya, ini favoritnya Papa Hartono."
Cheesa hanya mengangguk, mengambil sendok dengan tangan yang sedikit gemetar. Suara denting perak di atas porselen terdengar memekakkan telinga di tengah keheningan yang canggung.
"Jadi, Cheesa," Tn. Hartono memulai, jelas berusaha menjalankan perannya sebagai kepala keluarga baru.
"Besok sudah mulai masuk sekolah baru, 'kan? Sudah siap?"
"Sudah, Om," jawab Cheesa pelan.
"Jangan panggil Om, dong. Panggil Papa saja," katanya sambil tersenyum ramah. "Aron satu sekolah denganmu, lho. Walaupun beda angkatan setahun, tapi nanti dia bisa bantu kamu kalau ada apa-apa."
Cheesa melirik Aron. Pemuda itu tidak merespons, hanya terus makan dengan tempo yang sama. Seolah ayahnya sedang membicarakan orang lain.
Melihat tidak ada tanggapan, Ibu Cheesa buru-buru mengambil alih. "Iya, benar! Aron, nanti antar Cheesa, ya, di hari pertamanya? Biar dia nggak bingung cari ruang kepala sekolah."
Aron akhirnya mengangkat kepala. Matanya yang kelam bertemu dengan mata ibunya sejenak, lalu beralih ke Cheesa. Tatapannya dingin dan datar.
"Ada sopir."
Jawaban singkat itu seperti tamparan. Wajah Ibu Cheesa langsung memucat. "Oh, iya, tentu. Tapi, kan, lebih enak kalau ada yang menemani. Kamu, kan, kakaknya sekarang."
"Bukan," potong Aron, suaranya rendah namun tajam. "Saya bukan kakaknya."
Suasana membeku seketika. Sendok di tangan Ibu Cheesa berhenti di udara. Tn. Hartono berdeham keras.
"Aron, jaga bicaramu," tegur Tn. Hartono, nadanya tegas.
Aron tidak membantah. Ia hanya menunduk kembali ke piringnya, seolah kalimat tadi hanyalah pengamatan cuaca.
"Ma-maksud Aron mungkin… kalian, kan, seumuran, jadi lebih cocok jadi teman," Ibu Cheesa mencoba lagi, tawanya terdengar seperti pecahan kaca.
"Iya, kan, Ron? Kalian pasti bisa jadi teman baik. Kalian suka musik yang sama, nggak? Cheesa suka sekali sama band-band indie. Kamu suka apa, Ron?"
Aron meletakkan sendok dan garpunya. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Ibu Cheesa dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Saya tidak dengar musik."
"Oh…" Ibu Cheesa kehabisan kata-kata. "Kalau… kalau film?"
"Jarang nonton."
"Olahraga?"
"Tidak minat."
Setiap jawaban adalah pintu yang dibanting keras-keras. Setiap kata adalah dinding yang ia bangun semakin tinggi di antara mereka. Cheesa merasa sesak napas. Ia merasa seperti penyusup yang kehadirannya merusak sebuah tatanan yang sudah ada, betapapun dinginnya tatanan itu.
"Aku… aku sudah selesai," kata Cheesa, mendorong piringnya yang baru tersentuh seperempat.
"Aku mau ke kamar."
"Lho, kok, cepat sekali, Sayang? Nasinya belum habis," cegah ibunya.
"Aku capek, Ma." Cheesa berdiri, tidak berani menatap siapa pun kecuali piringnya sendiri. "Selamat malam."
Ia berbalik dan berjalan cepat keluar dari ruang makan, merasakan tiga pasang mata menusuk punggungnya. Ia tidak berhenti sampai di ruang keluarga yang luas, di mana sebuah televisi layar lebar menyala tanpa suara, menampilkan gambar-gambar dari sebuah film dokumenter alam.
Cheesa menjatuhkan dirinya di sofa beludru yang besar. Ia meraih remote control dan mengeraskan volumenya, berharap suara narator yang tenang bisa menenggelamkan suara-suara di kepalanya. Ia butuh distraksi, apa pun, untuk mengusir bayangan wajah Aron yang puas dan dingin.
Ia mencoba fokus pada gambar di layar burung-burung kolibri yang mengepakkan sayapnya dengan kecepatan luar biasa, bunga-bunga tropis yang mekar dalam gerak cepat. Perlahan, napasnya mulai teratur. Di sini, di sudut ini, untuk sesaat, ia bisa berpura-pura sendirian. Ia bisa melupakan bahwa dunianya telah runtuh dan ia kini tinggal di reruntuhan rumah orang lain.
Beberapa menit berlalu dalam kedamaian semu. Tiba-tiba, ia merasakan sofa di sebelahnya sedikit amblas. Aroma cologne yang maskulin dan tajam aroma yang sama dari lorong tadi menusuk hidungnya.
Jantungnya berhenti berdetak sesaat. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang duduk di sana. Aron.
Ia duduk dengan jarak yang cukup jauh, tetapi kehadirannya mengisi seluruh ruangan. Cheesa bisa merasakan panas tubuhnya, mendengar deru napasnya yang pelan. Ia mengeratkan genggamannya pada remote, jempolnya melayang di atas tombol volume, seolah benda itu adalah satu-satunya senjatanya.
Aron tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya duduk di sana, menatap lurus ke arah televisi. Cheesa memaksa dirinya untuk tetap diam, untuk tidak menunjukkan bahwa kehadirannya membuatnya gelisah. Ini adalah perang dingin, dan siapa pun yang bergerak lebih dulu, dialah yang kalah.
Mereka duduk dalam keheningan yang tegang selama hampir lima menit. Di layar, seekor jaguar mengendap-endap di antara semak-semak, mengincar mangsanya. Ketegangan di layar seolah mencerminkan ketegangan di antara mereka.
Lalu, Aron bergerak.
Tangannya terulur, bukan ke arah Cheesa, melainkan ke arah remote control yang tergeletak di meja kopi di depan mereka. Gerakannya lambat, disengaja. Cheesa menahan napas.
Dengan satu gerakan mulus, Aron mengambil remote itu.
"KLIK."
Layar televisi berubah seketika. Gambar jaguar yang indah digantikan oleh riuh penonton di stadion sepak bola. Suara narator yang menenangkan digantikan oleh teriakan komentator yang memekakkan telinga.
Cheesa terkesiap. "Hei!"
Aron tidak menoleh. Ia hanya menaikkan volume, membuat suara sorak-sorai penonton semakin membahana, memenuhi ruangan seperti gelombang pasang.
"Aku lagi nonton tadi," kata Cheesa, suaranya nyaris tenggelam oleh kebisingan. Ia menatap profil samping Aron yang tegas. Rahangnya mengeras, matanya terpaku pada pertandingan di layar.
Ia benar-benar diabaikan.
Kemarahan yang sejak tadi ia tekan akhirnya meluap. Ini bukan lagi soal senggolan tak sengaja atau jawaban ketus. Ini adalah deklarasi. Sebuah penegasan bahwa di rumah ini, keberadaannya tidak berarti apa-apa. Keinginannya tidak penting.
"Bisa balikin ke channel tadi, nggak?" tuntutnya, suaranya kini lebih keras dan bergetar karena emosi.
Aron tidak langsung menjawab. Perlahan, sangat perlahan, ia memutar kepalanya. Matanya yang hitam dan dalam akhirnya bertemu dengan mata Cheesa. Tidak ada kemarahan di sana. Tidak ada kejengkelan. Hanya ada kekosongan yang dingin dan superior.
Kemudian, sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk sebuah senyuman tipis. Senyum yang tidak mencapai matanya. Senyum sinis yang penuh dengan kemenangan telak dan penghinaan yang tak terucap.