Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

16. Gue Diadopsi

Pelajaran hari ini membuat Oca mengantuk karena pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Lia teman sebangku Oca tidak masuk hingga Jordan memilih untuk duduk di sebelah Oca meninggalkan Dani sendirian di belakang yang mungkin kini sudah tertidur lelap dengan menangkupkan wajah di kedua tangannya yang terlipat di atas meja.

"Apa pelajaran saya segitu bosannya hingga kalian semua menguap, hah?!" teriak Pak Reka lantang membuat Oca dan beberapa siswa lainnya yang mengantuk segera duduk tegap, kecuali Dani yang tertidur pulas. "Jika masih saja ada yang tidur di dalam kelas, satu kelas akan saya hukum!"

Jordan tanpa aba-aba segera menjitak kepala Dani dengan keras. "Arghh, lo gangguin gue aja!" teriak Dani tanpa sadar membuat Pak Reka mendelik marah.

"Mampus!" gumam Oca.

"Satu kelas keluar dan berjemur dilapangan selama dua jam!" Pak Reka benar-benar menghukum mereka hanya karena Dani. Dani yang sedari tadi masih berawang-awang kini sudah sadar sepenuhnya dan meringis saat melihat teman-temannya marah padanya.

Satu persatu siswa dan siswi keluar dan disambut terik matahari yang cukup menyengat membuat para siswa-siswi mengeluh.

"Semuanya berbaris. Tidak ada yang boleh duduk. Tetap berdiri dan jangan mengeluh atau hukuman kalian saya tambah satu jam sehingga kalian telat pulang!" ancam Pak Reka membuat semuanya terdiam.

Jam PKN memang jam terakhir namun matahari siang ini sangat terik membuat siswa dan siswi hanya bisa menunduk.

"Gegara elo sih?! Dibangunin malah marah-marah!" sungut Karen pada Dani yang sedang menguap lebar karena rasa kantuknya belum berkurang.

"Lo ngomel seribu bahasapun kita udah dihukum kan! Jadi, lo diem aja. Gue mau lanjut tidur sambil berdiri." Dani menutup matanya sambil menunduk.

Pletak.

Jordan kembali menjitak kepala Dani membuat Dani melotot tidak terima dan hendak membalas namun tidak jadi karena Pak Reka sedang mengamati mereka.

"Gak usah sok gayaan lo tidur sambil berdiri. Kalo ntar lo tumbang kan kita juga yang kenak!" protes Jordan ada benarnya.

Oca, Karen, Fani serta teman lainnya hanya menggeleng-geleng kepala karena Jordan dan Dani tidak akan pernah bisa diam jika sudah bersama.

***

Bel pulang berbunyi. Oca tidak langsung pulang melainkan pergi ke sebuah café dimana dirinya sudah berjanji dengan seseorang untuk berjumpa. Sampai di café yang bernuansa romansa, Oca memarkirkan motornya lalu membuka helm dan masuk menemui seorang pelayan dan menanyakan reservasi atas nama Adeeva Clara Reccer yang merupakan teman seangkatannya namun beda sekolah. Ya, mereka harus membooking tempat karena memang keduanya tidak ingin diganggu.

"Udah lama lo nunggu?" tanya Oca kepada gadis cantik didepannya. Gadis yang memiliki mata abu-abu terang yang sangat kontras dengan pupil matanya yang hitam. Clara memang turunan luar negeri karena Ayahnya adalah turunan asli warga Inggris. Namun, rambut yang Clara punya berwarna hitam legam sama seperti punya Ibunya yang merupakan turunan asia. Tapi, keduanya telah tiada sejak Clara dilahirkan dan sekarang, Clara diasuh oleh keluarga kaya raya seperti dirinya.

Clara menggeleng. "Baru aja." Gadis itu melirik jam tangan yang harganya sekitar dua juta rupiah. "Sekitar lima menit," sambungnya kemudian tersenyum.

Café tersebut kini memutar sebuah lagu yang berjudul 'into the open air' membuat Clara dan Oca bertatapan lalu tertawa bersama karena lagu itu pernah menjadi sebagian kenangan mereka ketika kecil dulu.

"Lo inget lagu ini? Waktu kita kejar-kejaran sama Kak Fajar." Oca langsung berujar dengan semangat.

"Iya-iya bener. Terus, lo jatuh dan wajah lo kena becek kan? Haha..." Clara tertawa dan Oca pun ikut terkekeh dan mengangguk.

"Iya bener. Terus, Kak Fajar langsung panik pas gue nangis." Oca tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat kejadian masa lalu mereka ketika Oca dan Clara berumur 5 tahun.

"Oya, gimana kabar Ica?" Clara kembali bertanya. "Dia masih belum tau?"

Oca menggeleng sendu. "Belum. Gue gak ada niat buat ngasih tau dia kalo gue sama dia bukanlah saudara kembar yang sesungguhnya."

"Sampe kapan lo mau rahasiain ini dari dia, Bunga? Orang tua lo? Kakak-kakak lo?"

Oca kembali menggeleng dan menyeruput lemon tea yang sebelumnya sudah Clara pesan lebih dahulu karena tahu apa yang menjadi kesukaan Oca sejak kecil.

"Orang tua gue masih nyimpen rapat dari Ica dan Kakak-kakak gue."

Clara menghembuskan nafasnya pelan. "Ribet ya hidup kita," gumam Clara yang diangguki oleh Oca. Keduanya menatap jalanan diluar sana dengan kendaraan yang berlalu lalang. Dulu dia dibawa pulang oleh orang tua keluarga Oleander dan menjadikan dirinya kembaran Ica. Padahal dia sama sekali tidak mengerti maksud dari keluarga Oleander tersebut. Alasan lainnya adalah, Oca terpisah karena karena sebuah kecelakaan yang dulu pernah menimpa Dona dan Leo.

Mereka mengarang bahwa setelah beberapa tahun, mereka baru menemukan Oca kembali dan membawanya pulang. Anehnya, Ica, Kak Ola, bahkan Kak Ilo percaya begitu saja dengan semua karangan itu. Dona dan Leo masih menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya adalah anak panti asuhan hingga sekarang. Memang keluarga Oleander memiliki anak yang penurut dan tidak membantah ucapan kedua orang tua mereka.

Oca juga tidak pernah menyamakan dirinya sederajat dengan Ica dan Ola dalam berpakaian maupun berkendara, maka dari itu dia selalu tampil apa adanya. Padahal, uang yang selama ini Leo ataupun Dona berikan sama ratanya. Bahkan, mobil CRV yang dibelikan oleh Leo selalu terparkir rapi di bagasi karena jarang Oca pakai.

Semuanya berubah semenjak ia menjadi bagian keluarga Oleandar. Oca ingat, hal yang pertama kali Leo dan Dona katakan padanya saat pertama ia masuk kerumah yang menyerupai istana yang dapat membuatnya ternganga itu adalah 'nama kamu sekarang, Elyossa Gettila Oleander'. Nama yang sama dengan milik Ica yang hanya beda sedikit, yakni Elyssa Gettila Oleander. Oca yang masih berusia 7 tahun hanya mengangguk paham.

"Bunga?" tegur Clara saat Oca tidak kunjung membuka suara. Clara memang sejak dulu memanggil Oca dengan Bunga karena sebelum Oca diadopsi nama aslinya adalah Seyfa Bunga Nadya. Clara sangat suka memanggilnya begitu karena Oca benar-benar seperti bunga yang tidak pernah mengenal rasa sakit walau dirinya layu sekalipun, dia tidak akan pernah mengeluh pada orang lain.

Oca menatap Clara dan bertanya. "Lo mau bantuin gue?"

"Bantu apa?"

Oca menghela nafasnya dan menatap Clara serius. "Nyokap bokap gue. Lo tau kan kalo gue diadopsi karena gantiin anak mereka yang hilang?"

Clara mengangguk. "Terus?"

"Lo mau bantuin gue nggak, nyari siapa kembaran Ica yang sebenarnya?"

Clara mendelik tidak percaya. "Lo mau apa emangnya? Bukannya kejadian itu udah lama. Mungkin aja putri mereka satu lagi udah meninggal."

Lagi-lagi Oca menghela nafasnya. "Tapi kemungkinan juga dia masih hidup, Ra." Oca menatap Clara memelas. "Kalo dia masih hidup, gue bersyukur dan bisa balas budi buat keluarga Oleander yang udah ngasuh gue selama ini. Lo bisa kan?"

"Hmm. Gue bantu lo, tapi gak gratis!"

"Perhitungan banget sih lo!" sungut Oca lalu menyeruput lemon tea hingga tandas.

Clara mengendikkan kedua bahunya acuh. "Gak ada yang gratis di dunia ini."

Oca berdecih dan tiba-tiba hp keduanya sama-sama bergetar. Oca dan Clara saling menatap satu sama lain dan bergumam bersamaan,

"Kak Ilo, Ra,"

"Kak Gio, Nga,"

Keduanya tertawa bersama mengingat kedua Kakak mereka terlalu posesif. "Yuk angkat, sebelum perang dunia ketiga!" Oca bergumam membuat keduanya terkekeh sebelum akhirnya menerima panggilan tersebut.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel