Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Egois

Untuk gadis yang belum pernah disentuh oleh lelaki mana pun, menyaksikan adegan beberapa jam lalu tentu saja membuat Cassie kena mental. Terlebih yang melakukan itu adalah laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.

Oke, memang dia akui kalau pernikahan mereka hasil perjodohan dan tidak ada cinta di dalamnya, tetapi tidak seharusnya Bisma melakukan itu juga.

Lelaki itu seharusnya menjaga nama baik kedua orang tuanya. Persetan apakah mereka tinggal bersama atau tidak, tetap saja apa yang dilakukan Bisma sangat tidak pantas.

“Duh, ngapain sih nih orang telepon-telepon terus?” gerutu Cassie yang mulai ilfil dan malas menerima panggilan atau apa pun dari laki-laki itu.

Apalagi untuk bertemu langsung dan melihat wajahnya. Lebih baik tidak sama sekali.

Namun, lama-kelamaan ia tak tahan juga, akhirnya diterimanya telepon dari bosnya itu, sebelum si bos kumat galaknya lalu mencak-mencak.

“Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Cassie, berusaha mengendalikan nada bicaranya agar tetap sopan. Bagaimana pun laki-laki yang bicara dengannya dari saluran seberang adalah calon suaminya.

“Kamu ke mana aja? Tiba-tiba ngilang kayak setan?!” omelnya.

Tuh, kan, benar .... belum juga Cassie selesai membatin, si bapak bos sudah mengomel ngalah-ngalahin eyang putrinya yang sudah sepuh.

“Saya pulang, Pak. Gak enak badan.” Terpaksa dia berdusta, dengan harapan, Bisma tidak marah sekaligus tidak akan datang ke rumahnya untuk mencarinya.

Namun, ternyata yang terjadi tidak seperti harapan Cassie, karena bahkan saat ini juga, Bisma sudah ada di teras rumahnya dan disambut hangat oleh Monika, ibu Cassie.

Tak lama berselang, terdengar panggilan dari sang mama.

“Cas ... ada Bisma, nih. Turun dulu, gih!”

“Aish, sialan bener, nih duda! Ngapain sih pake acara datang ke sini segala? Gimana gue menghindarnya?” gerutu Cassie, bermonolog.

Bukan tidak sopan atau bermaksud membantah keinginan kedua orang tuanya, melainkan karena Cassie enggan meski sekadar membayangkan tingkah Bisma nanti ketika mereka sudah menikah.

Terserah perkara mereka menikah tanpa rasa cinta, tetapi jika Bisma masih meneruskan hubungannya dengan wanita lain, nantinya Cassie yang harus menanggung kehidupan pernikahan yang mengenaskan.

Tidak ada pilihan lagi, Cassie memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan menemui sang calon suami tercinta.

“Kenapa gak pamit kalau memang mau pulang? Saya bisa antar kamu,” ucap Bisma yang langsung memberondong Cassie dengan omelan seketika Cassie tiba di hadapannya. “Jangan dibiasakan seperti itu, nanti dipikir saya laki-laki gak bertanggung jawab, ngebiarin kamu pulang sendiri!”

Cassie tak menjawab perkataan Bisma, bahkan ia tidak menatap wajah rupawan lelaki dengan bola mata gelap dan tatapan tajam itu.

Bisma yang berbuat tak senonoh, tetapi Cassie yang merasa malu.

“Cassie, hey! Jawab perkataan saya! Kamu gak tuli, kan?”

“Jangan teriakin saya seperti itu, Pak Bisma!” sergah Cassie, sengaja dengan volume pelan, tetapi tak mengurangi ketegasan dalam intonasinya. Ia kemudian menarik lengan Bisma agar keluar dari ruangan dan menuju ke taman.

“Apa lagi ini?” tanya lelaki itu.

“Saya mau pernikahan kita dibatalkan aja!”

“Saya juga mau begitu, tapi kamu harus punya alasan kuat untuk itu,” jawabnya. “Memangnya ada?”

“Ada. Boleh saya yang utarakan ke orang tua kamu? Kamu siap?”

Sungguh, ini bukan cara Cassie untuk mengintimidasi Bisma, demi apa pun. Ia benar-benar tak bisa menerima kalau ada perilaku memalukan yang ia lihat langsung di hadapannya dan itu mungkin akan berakibat buruk bagi kedua belah pihak.

“T-tunggu! Masalah apa yang kamu bicarakan?” tanya lelaki itu, tampak raut wajahnya berubah pias saat ini.

“Masalah perempuan di apartemen kamu. Aku gak peduli dia siapa, tapi rasanya gak sopan aja kalau kalian melakukan itu saat ada aku.”

Bisma mendesah cukup keras mendengar jawaban Cassie dan baru sadar kalau gadis itu pasti sudah menyaksikan banyak hal. Mungkin bagian awalnya saja, tidak sampai akhir. Namun, tetap saja, seharusnya jadi hal memalukan baginya.

“Aku gak masalah kamu mau menjalin hubungan dengan siapa aja, sudah ada di kontrak—meski terkesan gak adil buatku. Tapi setidaknya, jangan di depanku. Apa mentang-mentang pernikahan kita ini tanpa cinta dan hasil pemaksaan, lantas kamu boleh ngelakukan apa-apa seenaknya?” Cassie mulai kehilangan kendali.

Wajar saja, ia tak mungkin mau menikah dengan lelaki yang gagal move on dari kehidupan masa lalunya. Atau misal perempuan tadi bukan mantan istrinya, mungkin kekasihnya.

Bayangkan saja apa jadinya kalau mereka menikah dan hal semacam itu terjadi di hadapannya.

“Apa sudah? Boleh saya yang gantian bicara?”

Cassie bungkam, dengan kata lain, mempersilakan lelaki itu membela diri. Meski tak akan berpengaruh apa pun terhadap pendirian dan sudut pandang Cassie yang cukup keras kepala.

“Gak mudah buat siapa pun mengakhiri hubungan, Cas. Itu yang saya alami. Dan ya, memang sudah tertera dalam kontrak kalau kita boleh berhubungan dengan siapa pun, meski status kita sudah menikah. Jadi saya gak mau ada protes atau penolakan apa pun.” Bisma menjeda kalimatnya sejenak.

“Saya setuju atas perjodohan ini karena suatu alasan yang gak penting juga untuk saya katakan sama kamu. Itu terserah saya. Dan saya tidak setuju dengan keputusan orang tua saya, itu juga benar, tetapi kembali ke penjelasan saya sebelumnya. Ada alasan mengapa saya jalani ini.”

Cassie hendak memotong kalimat Bisma, tetapi lelaki itu mengangkat telunjuknya, menghalangi Cassie untuk bicara. Masih panjang penjelasan yang ingin ia paparkan, rupanya.

“Dan andai kamu tidak setuju, kamu mau menolak, lalu mau membatalkan ini, terlebih kalau itu dengan alasan karena saya, maka saya akan halangi niat kamu itu.”

Cassie menggeleng tak mengerti.

“Kamu gak mau dijodohkan, tapi menerima perjodohan, dan akan bertindak kalau aku batalkan? Gimana konsepnya? Aku gak paham,” protes Cassie.

“Intinya kamu harus tetap mau menjalani ini semua.”

“Dan bercerai dalam dua tahun kalau tidak ada cinta atau apa pun yang menghalangi perceraian tadi?” sahut Cassie.

Bisma mengangguk.

“Ya, tepat sekali.”

Cassie kemudian melayangkan satu tamparan ke lengan kekar Bisma.

“Dasar egois!”

Ia lalu pergi meninggalkan lelaki itu tepekur dan mematung di tempat yang sama.

Cassie pernah bertemu playboy kelas teri sebelumnya, tetapi tidak separah Bisma. Tidak usah mencari contoh terlalu jauh, Bryan juga seorang pemain wanita, tetapi dia tidak berani mempermainkan perasaan Cassie sedemikian rupa.

Apalagi dengan mengatakan hal-hal yang sok diplomatis seperti yang baru saja disampaikan oleh Bisma.

Cassie bahkan tak bisa menelaah dengan benar semua kalimat yang dijelaskan oleh lelaki itu. Jelas-jelas lelaki itu mau menang sendiri. Bayangkan saja, dinikahi dengan surat kontrak, lalu menjalani kehidupan pernikahan yang mengerikan karena tidak adanya cinta, pasti akan memenjarakan Cassie dan membuatnya tersiksa, kemudian setelah itu diceraikan.

Pemikiran macam apa yang membuat Bisma mengambil keputusan semacam itu? Cassie sungguh tak mengerti dan egonya pun tak ingin mengerti. Namun, ia kini berada dalam dilema. Melanjutkan perjodohan ini, tetapi dirinya akan menderita, atau mengakhirinya dan membebaskan diri dari semua ini, tentu saja dengan konsekuensi lainnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel