3. Perempuan Lain
Cassie baru saja merebahkan bokong di kursi kerjanya, panggilan dari ruangan si bos membuatnya tak berkutik. Tidak mungkin untuk tidak memenuhi apa yang diinginkan lelaki itu, karena Bisma sekarang punya dua kedudukan dalam hidup Cassie.
Sebagai bos sekaligus calon suami.
Cassie bangkit lalu dengan malas melangkah menuju ke ruang keramat tersebut. Bagaimana tidak malas, melihat wajah ganteng Bisma mungkin bisa menyegarkan otak, tetapi kalau kumat galaknya itu yang mana tahan.
Ia mengetuk tiga kali, lalu masuk saat suara bariton itu memerintahkannya untuk masuk.
“Duduk, Cassie!” perintah Bisma, tanpa melihat ke arah gadis di hadapannya.
“Ada apa, Pak?” tanya Cassie yang kemudian harus menunggu sampai lelaki perfeksionis itu menyelesaikan pekerjaan yang ada di hadapannya. Baru beberapa hari Cassie menjadi pegawai magang di sana, lalu dua hari menyandang status calon istri Bisma, ia sudah hafal kelakuan lelaki itu.
Bisma tidak akan pernah menunda atau meninggalkan pekerjaan yang sudah ia kerjakan. Sekali ia lakukan, maka harus sampai tuntas.
Cassie nyaris kehilangan kesabaran saat akhirnya Bisma selesai dengan berkas-berkas yang harus ia tanda tangani. Lelaki itu menyingkirkan kertas dan map dari hadapannya, lalu mulai menyibukkan diri dengan gadis yang dalam waktu dekat akan menjadi istrinya.
“Oke, jadi gini, Cassie.” Lelaki itu menjeda kalimatnya, membuat Cassie makin tak sabar. “Mama kamu sudah bilang sama kamu?”
Cassie menggeleng.
Memangnya tentang apa dan ke mana arah pembicaraan mereka? Cassie bahkan belum bicara dengan ayah dan ibunya. Biasa, lah ... ini dalam rangka ngambek karena keputusan sepihak dari kedua orang tuanya.
“Memangnya ada apa, Pak? Apa ada masalah?” tanya Cassie, memastikan kalau semua baik-baik saja. Ia mau saja berharap kalau perjodohan mereka dibatalkan karena alasan pribadi kedua orang tua mereka, tetapi bukan itu yang terjadi dan harus didengar olehnya.
“Saya harap kamu bisa kooperatif dan bekerja sama dengan saya,” ucapnya, membuat Cassie makin bingung. Namun, ia tak ingin menginterupsi lelaki itu. “Orang tua kita sudah mengatur acara pertunangannya. Mulai hari, tanggal, bahkan tema seperti apa yang mereka mau.”
Cassie tak tahu harus memberi respon yang bagaimana, tetapi Bisma kembali melanjutkan kalimatnya.
“Mereka mau kita tinggal terima jadi. Bahkan cincin dan semua sudah ready.”
“Wow! Gercep banget, ya! Terus kooperatif yang seperti apa yang bapak mau?” tanya Cassie, yang masih belum paham dengan kemauan bos galak yang perfeksionis ini.
“Saya sudah bilang sama mereka untuk nentukan sendiri untuk pernikahan kita nanti hari dan tanggalnya, apa-apa aja yang harus disiapkan, dan di mana kita tinggal setelahnya. Dan saya mau kamu nanti ikut saya sepulang kerja,” terangnya.
“Ke mana?”
“Meriksa kondisi rumah. Kalau perlu sekalian mencicil memindahkan barang-barang dari apartemen,” jawab Bisma.
Mendengar penjelasan Bisma yang hanya menjawab sesuai yang ditanyakan, ingin rasanya Cassie melontarkan pertanyaan untuk lelaki itu. Apartemen siapa yang dimaksud? Kalau apartemen miliknya, mengapa harus pindah ke rumah?
Cassie tak akan masalah tinggal di mana pun, tak harus besar atau megah, yang terpenting sebenarnya kehidupan pernikahan itu sendiri nantinya.
Pernikahan? Membayangkan kata itu saja rasanya Cassie sudah putus asa duluan.
Dan untuk masalah tempat tinggal, Cassie menahan diri agar tidak bertanya. Jadi istri saja belum, masak sudah kepo!?
“Lain-lainnya nanti bisa sambil jalan. Nanti saya gak mau kamu lelet lagi! Sekarang kamu bisa balik kerja!” titah Bisma, sembari bangkit dari kursinya untuk mengambil berkas lain di dalam lemari kabinet di ruangannya.
Cassie manut saja, lalu mengangguk dan keluar dari ruangan Bisma setelah seluruh mandat diterima dan diingatnya dengan baik.
***
Cassie sudah tiba di rumah yang katanya akan mereka tempati nanti setelah menikah. Bangunan megah yang ada di sebuah perumahan elite itu sudah separuh terisi. Hanya kamar dan beberapa perlengkapan rumah tangga yang harus mereka tambahkan.
Hari ini, Cassie menolak memindahkan barang-barangnya. Mereka belum resmi menikah, bukan? Ia juga masih berharap kalau perjodohan itu akan gagal atau dibatalkan.
Ia sedang mencari tahu bagaimana caranya.
Sang ibu dan keluarga Bisma tampaknya sangat bersikeras menikahkan mereka, dan tidak menerima penolakan dalam bentuk apa pun. Itu sebabnya hingga kini, Cassie masih belum bisa menemukan cara untuk menghindar.
Semua mungkin akan bilang ‘kenapa harus ditolak? Bisma ganteng, mapan, kaya, apa sih yang gak dia punya?’, tetapi kalau sudah bicara perasaan memang susah. Apa lagi mereka tidak tahu seperti apa keanehan sikap dan jalan pikiran Bisma.
Bukankah aneh kalau ada lelaki yang dijodohkan, terlihat menerima, tetapi malah membuat Cassie menanda tangani surat kontrak pranikah?
“Kamu kenapa tadi gak mau bawa barang kamu sekalian? Kalau seperti ini kan jadi dua kali kerja nantinya!” gerutu Bisma. Bukan, itu bukan gerutuan, melainkan omelan yang sudah terbiasa Cassie dengar.
Kalau pun tiodak tahan, ya tetap harus dibiasakan untuk terbiasa.
“Gak usah, Pak. Saya nanti akan cicil sendiri kalau kita sudah resmi aja,” tolak Cassie, tegas. Jangan dikira Cassie akan takut dengan omelan dia. Patuh mungkin ia, tapi kalau tidak sesuai juga dengan kemauan dan prinsip hidupnya, Cassie tak akan segan membantah.
“Kemu itu keras kepala, tahu? Padahal saya juga puny alasan kenapa ngajak kamu mindahin barang lebih awal.”
“Apa alasannya?” todong Cassie.
“Supaya kelihatan kalau kita mengusahakan hubungan ini juga. Lagi pula, akan memudahkan kamu nantinya, jadi gak usah mindahin barang sendiri. Tapi terserah!” Lelaki itu kemudian memutar tubuh dan keluar dari ruangan yang katanya akan menjadi kamar Cassie nantinya.
Cassie tidak antusias.
Orang-orang benar. Secara tampilan fisik, memang menyenangkan melihat Bisma dari ujung kaki sampai rambut, tetapi Cassie nyatanya gelisah terus-terusan sejak dirinya dan Bisma resmi dijodohkan.
Bahkan kedua orang tua mereka telah mengatur pertunangan. Dalam dua hari ini, katanya.
“Kalau begitu kita ke apartemen saya untuk ambil beberapa barang. Saya gak mau nunda pekerjaan,”
Cassie mengangguk. Kemudian mengekor langkahnya meninggalkan rumah yang sedang dibersihkan oleh beberapa cleaning service yang Bisma pesan.
Setelah menempuh perjalanan yang hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit, bos dan pegawai magang yang sebentar lagi akan bertambah status menjadi suami-istri itu tiba di apartemen Bisma.
Cassie memutuskan untuk ikut dengan lelaki itu ke kamar miliknya untuk membantu membawa beberapa barang dari sana ke mobil.
“Nanti kamu bawa barang yang ringan-ringan saja. Jangan pegang apa pun yang ada di kamar saya. Itu biar saya yang bawa!” titah Bisma pada sang calon istri tercinta. Cassie hanya mengangguk, sembari tetap mengekor langkah lelaki itu.
Tiba di apartemen, Bisma membuka kunci dan mempersilakan Cassie untuk masuk. Cassie langsung menuju ke kamar-kamar lain untuk mengambil beberapa barang yang sudah dimasukkan ke dalam kardus, seperti instruksi Bisma.
Namun, tiba di sebuah ruangan, Cassie bingung karena tak ada satu kardus pun yang berisikan barang-barang milik lelaki itu.
“Pak ... di sini gak ada barang apa-apa!” teriak Cassie yang langsung keluar dan mencari Bisma.
Cassie tidak menemukan Bisma di mana pun. Tidak juga ada jawaban dari lelaki itu ketika Cassie memanggilnya berulang kali. Ia akhirnya memutuskan untuk langsung menuju ke kamar lelaki itu dan terkejut saat tanpa sengaja menemukan Bisma tengah berciuman dengan seorang perempuan.
Ia tak ingin tahu siapa perempuan itu. Namun, jika perempuan itu ada di apartemen Bisma, berarti mereka tinggal bersama. Atau bisa jadi perempuan itu adalah mantan istri Bisma.
Tanpa banyak bicara, Cassie memutuskan untuk pergi dari tempat itu.
Persetan dengan perjodohan maupun pernikahan! Ia akan bicara pada kedua orang tuanya agar membatalkan semuanya!