Bab 3. Melawan Rasa Takutnya Sendiri
Tangis sesegukan terdengar semakin kencang. Telinga Jaka seperti bergetar, ingin menolak suara itu merasuki otaknya. Dia kembali memejamkan mata, sedangkan suara klakson semakin ramai menegurnya.
Jaka menarik napas dalam-dalam. Bayangan tentang Roro yang akan marah besar bila ayam potong dan beras itu tidak dapat dibelikan menggerayangi otaknya. Di samping itu, dia memikirkan tentang keadaan anaknya. Kalau sampai pada titik Roro harus bersalin dan dia belum mendapat uang sama sekali, Jaka tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Dia akan menjadi pria paling gagal dalam memperjuangkan keluarganya.
Jaka memungut kembali serpihan-serpihan keberanian yang tercecer dan kembali menyalakan mesin mobil. Dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat tujuan. Terlepas dari rasa takut yang menyerangnya dan keinginan mendapatkan uang lebih cepat, ada amanah dari Danu yang harus dirampungkan.
“Sedikit lagi Jaka! Sedikit lagi!” bisiknya menyemangati diri.
Jaka mempercepat laju mobil begitu sampai di perputaran utama lantas mengambil jalan pintas menuju desa tujuannya. Begitu yakin alamat tujuan persis ada di depan, dia langsung turun.
Pemilik rumah duka yang ditujunya menyambut Jaka dengan hangat. Dia menghampiri Jaka karena tau pria ini pasti tak nyaman di hari pertamanya.
“Kau sudah datang,” sambut pemilik rumah duka berbaju biru tua itu sambil mengulurkan sebuah amplop untuk Jaka.
“Iya, saya dari pabrik peti!” jelas Jaka agar tugasnya segera berakhir.
“Ya, saya tau!” Pria itu lalu menunjukkan layar ponselnya yang bergambar dirinya. “Ini Pak Danu yang kirim supaya saya tau siapa petugas yang dikirim.”
“OH! Jadi saya sudah boleh pulang?” tanya Jaka sembari melirik ke arah belakang pick up dimana dua orang petugas rumah duka menurunkan peti yang dia bawa.
“Ya, barang sudah diterima dan amplop ini sebagai ucapan terima kasih saya.”
“Wah dapat bonus juga?” kekeh Jaka merasa beruntung menerima tantangan jadi supir peti mati.
“Hooh! Sekarang pulanglah!”
“Terima kasih!” Jaka buru-buru naik lagi ke atas mobilnya dan melaju kencang bersiap menyerahkan upah pertamanya kepada Roro.
Jaka lalu membuka amplop pemberian pemilik rumah duka itu dan betapa kagetnya dia jika uang yang ada di dalam amplop sama dengan bayaran yang diterima dari Pak Danu.
Sontak dia terbelalak dan semakin ingin cepat pulang untuk menunjukkan semua rejeki yang didapat hari ini.
“Roro! Roro!” teriak Jaka dari halaman rumah lalu bersujud di depan istrinya yang sedang berdiri di depan pintu rumah.
“Eh, kamu kenapa?” tanya Roro tak mengerti.
“Ini!” Jaka masih duduk dilantai sedang istrinya berdiri sembari menerima dua amplop yang dibawa suaminya.
“Apa ini?”
“Buka!” jawab Jaka singkat.
“Alhamdulillah!” Roro terpana melihat lembaran uang berwarna merah yang dibawakan Jaka untuknya. Dia lalu menghitungnya lembar perlembar dan senyumnya semakin lebar saja. “Satu juga sekali pergi? Kamu ngak ngerampok bank, kan?”
“Astagfirullah!” Jaka berdiri lalu menatap tajam wajah istrinya. “Tega amat bilang suamimu kasih istrinya uang haram!”
“Hehehe! Maklum, kamu sudah lama ngak bawa yang merah-merah kayak gini,”
“Itu uang hasil keringatku. Aku harap kita bisa hidup lebih baik setelah ini!”
“Jadi pekerjaanmu menyenangkan?”
Jaka seketika ingat kejadian horor di dalam mobil yang membuatnya sempat ingin pulang saja. “Kayaknya sekali aja aku kerja, ya. Cukuplah sejuta untuk biaya lahiran anak kita!”
“Heh! Jangan ngadi-ngadi, ya! Besok kerja lagi. Masa cuma sejuta. Memangnya bayi ini cuma lahirnya aja yang di urus. Kan butuh pamper, butuh susu, banyak!”
“Duh! Tapi…,”
“Gak pake tapi!” teriak Roro dengan matanya yang hampir keluar.
Jaka tak menjawab teriakan istrinya, baginya bisa mendapat satu juta di hari pertamanya kerja saja sudah alhamdulillah. Besok bagaimana besok. Dan yang lebih penting hari ini Roro tak teriak-teriak padanya seperti biasa.
“JAKA!” teriakan itu begitu kencang di telinga supir peti mati ini. Padahal hari masih pagi dan matanya masih lengket tapi sempat-sempatnya Roro berteriak begitu lantang.
“Apa?” jawab Jaka dengan malas.
“Bangun! Kamu harus kerja lebih pagi dari kemarin biar duitnya lebih banyak!”
Duit!
Sepertinya hanya kata-kata ini yang tertulis dengan tinta tebal di kepala Roro, tapi Jaka tak mau ribut dan lebih pasrah bergerak menuju kamar mandi meski matanya belum terbuka lebar.
Sama seperti hari kemarin, hari ini Jaka kembali ditugaskan untuk mengirim peti mati. Saat Jaka tiba pukul 7 Pak Danu terlihat sudah berdiri di depan garasi pabrik dimana pick up sudah siap tempur.
“Tugas lagi?” tanya Danu sebelum menyodorkan selembar surat jalan untuk supirnya.
“Iya!” tegas Jaka bersemangat.
“Bagus!” Danu lalu memutar badan ke arah seorang pria yang usianya lebih muda dari Jaka. "Perjalananmu hari ini akan diantar oleh seorang kernet bernama Bowo, Jaka. Dia ini sudah bekerja dengan saya sejak lama jadi aku harap dia bisa membantumu untuk tugas kali ini."
Jaka manggut-manggut. Meski sempat ragu tapi dia yakin kali ini akan kembali menyelesaikan tugas itu dengan sangat enteng. Perasaan ragu yang dia rasakan di hari pertamanya bekerja hilang begitu saja. Bayang-bayang Roro tersenyum gamblang sembari menimang-nimang setumpuk uang merah kembali menyingkap fokus Jaka.
Roro begitu senang dengan gaji pertamanya Jaka. Bahkan secara terang-terangan wanita itu meminta agar Jaka lebih sering mengambil tugas dari Danu agar uangnya terkumpul semakin banyak.
Jaka geleng-geleng kepala sembari nyengir. Jangankan terkumpul banyak. Bahkan uang seratus ribu kemarin sudah ludes dibuat belanja bahan makanan. Katanya hari ini Roro akan belanja pakaian dan segala macam keperluan untuk bayi mereka.
"Baik, Pak. Saya akan mulai memanaskan mobil dan memasukkan peti ke dalam mobil. Ngomong-ngomong, alamat lengkapnya mana, Pak?" Jaka bertanya sembari mengangkat peti mati yang sudah disiapkan oleh Danu.
Danu menepuk pundak Jaka pelan. "Oh, iya. Saya udah menuliskan alamat lengkapnya dan udah saya berikan ke Bowo. Kamu bagian menyetir saja. Masalah jalan Bowo sudah berpengalaman."
"Baik, Pak," jawab Jaka sembari mengangguk.
Jaka pikir orang yang diperkenalkan Danu sebagai Bowo itu adalah teman yang tepat. Sekiranya Jaka tidak akan merasa tak takut lagi semisal ada hal mistis seperti kemarin. Terlebih katanya Bowo adalah orang yang sudah berpengalaman.
Jaka semakin memantapkan hati dengan tugasnya yang satu ini. Usai memanaskan mobil, dia pamit ke toilet sebentar lalu sarapan roti. Pasalnya lagi-lagi dia terlambat bangun. Roro yang tidak sabaran langsung memerintahkan Jaka untuk segera berangkat, takut-takut Danu berubah pikiran.
"Nah, ini." Danu berucap sembari menunjuk Bowo yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pria yang ditunjuk itu berjalan sembari mengenakan kaos oblong lalu menundukkan kepala dihadapan Danu. Tampaknya pria itu baru saja mandi karena rambutnya masih basah.
"Ngomong-ngomong saya pergi dulu ya? Masih ada keperluan yang harus saya bereskan," lanjut Danu kemudian. Danu menepuk-nepuk pundak Jaka sekali lagi lantas melangkah meninggalkan mereka berdua.
"Baik, Pak Danu," jawab Jaka dan Bowo bersamaan.
“Bagus! Hati-hati di jalan, ya!” ucap Danu saat sudah beberapa langkah jauhnya dari kedua pegawainya itu.
Seketika perkataan Danu itu membuat Jaka teringat kejadian kemarin dan hampir tak mungkin hantu itu tak menampakkan diri.
“Aduh!” desis Jaka menanggapi perkataan atasannya.