Bab 2
Perasaan Vania masih tak nyaman pagi itu, namun ia tak bisa mengabaikan pekerjaan yang harus dihadapinya. Seperti yang telah dikatakan oleh Pak Agus, personalia perusahaan tempatnya bekerja, hari ini dia dialihtugaskan. Dia harus menggantikan posisi Arumi, sekretaris CEO nya yang entah kenapa diberhentikan.
Konon Pak Regantara Handoro adalah sosok makhluk yang tak mudah cocok dengan orang lain. Dan itu terbukti dengan deretan nama sekretaris yang pernah bekerja bersamanya. Tidak ada satupun yang bertahan lebih dari enam bulan.
Vania turun dari taxi online yang dipesannya. Ia menghela napas, berusaha melupakan kejadian semalam yang dialaminya. Bagaimanapun ia harus profesional, ia harus bisa memisahkan antara pekerjaan dan urusan pribadinya.
Namun hardikan suaminya seakan terus terngiang di telinganya. “Kalau kamu nggak bisa nerima keputusanku, sebaiknya kita berpisah!”
Sebodoh itu dulunya ia menerima lamaran Martin yang hanya seorang pengangguran karena sikap manisnya. Sebodoh itu dulu ia percaya akan bujuk rayunya sampai mengira Martin akan berjuang mencari pekerjaan hanya untuk menafkahinya.
“Auuh …” teriak Vania.
Ia kembali sadar dari lamunannya, ketika dahinya yang terluka itu membentur sesuatu yang keras. Napasnya hampir saja berhenti saat mengetahui siapa pemilik punggung yang sangat keras, yang tanpa sengaja ditabraknya.
“Pak Rega!” batinnya.
Vania merasa ingin ngumpet seketika. Ia tidak ingin dipecat begitu saja sebelum membuktikan kinerjanya pada satu-satunya pewaris Adiguna Regantara Group.
Dan apa jadinya rumah tangganya, jika Regantara juga mengubah nasibnya menjadi seorang pengangguran. Vania tidak mau membebankan semua pengeluaran rumah tangganya pada ibunya yang hanya mempunyai bisnis kuliner kecil-kecilan itu.
Ia berharap tubuhnya mengecil, hingga lelaki yang berdiri di hadapannya itu tak bisa melihatnya dengan mata telanjang. Ia berharap mempunyai sebuah payung yang bisa membuatnya tak terlihat oleh lelaki di hadapannya.
“M–maaf Pak,” ucap Vania dengan gugup. Beberapa kali ia membungkukkan badannya. “Maaf Pak. Maaf.”
Regantara Handoro, lelaki yang semula merasa kesal karena harus menghadapi omelan ibunya di rumah, hampir saja meluapkan amarahnya pada Vania. Tapi melihat gerak-gerik perempuan di dekatnya yang menggemaskan, mau tak mau ia menahan tawanya.
Masih dengan gaya cueknya, lelaki itu masuk ke dalam lift. Lelaki itu berbalik. Dan sebelum pintu lift tertutup, ia membaca name tag yang menggantung di leher perempuan cantik itu.
“Vania Larasati.”
Tidak ada seorangpun karyawan Adiguna Regantara Group yang berani menggunakan lift, ketika sosok yang terlihat angkuh itu masuk ke dalamnya. Begitu pula dengan Vania. Ia masih membungkuk dan berharap pintu lift segera tertutup agar ia bisa terbebas dari rasa bersalahnya.
Namun pintu itu tak juga tertutup. Bahkan telinganya mendengar suara lelaki itu, seperti menyebut namanya.
“Mampus!” batinnya.
Dengan perasaan was was, ia mengangkat wajahnya, menatap lelaki yang tubuhnya jauh lebih jangkung darinya itu.
“Kamu nggak naik?” tanya Rega sementara satu tangannya menahan pintu lift agar tetap terbuka.
Vania benar-benar tak menyangka bahwa seorang Regantara akan memintanya untuk berada di dalam satu ruangan sekecil itu dengannya. Rasanya seperti sebuah keajaiban. Tidak … tidak, mungkin saja ini adalah sebuah jebakan agar ia mempunyai lebih banyak alasan untuk memecat Vania.
Lelaki itu terlihat mulai tak sabar. Ia menatap arlojinya. “Vania Larasati. Aku tahu, kamu sekertaris yang direkomendasikan Agus sebagai pengganti Arumi. Dan ini adalah hari pertamamu bekerja sebagai sekertarisku."
“Salah satu hal yang paling aku benci adalah menunggu. Kuberi kamu waktu lima menit untuk menemuiku di ruanganku," lanjutnya.
Rega melepaskan tangannya yang menghalangi pintu lift, membuat pintu itu menutup dengan sendirinya di hadapan Vania.
Kalimat Rega membuat wajah Vania memucat. Bagaimana ia bisa sampai ke lantai lima gedung ini dalam waktu lima menit tanpa lift? Laki-laki itu benar-benar gila!
Hanya satu yang terpikirkan oleh Vania, tangga! Spontan dilepasnya sepasang sepatu tingginya dan mulai berlari menuju ruang darurat.
“Ish! Dia benar-benar psikopat! Pantas saja tidak ada seorangpun yang bisa bertahan menghadapi sikapnya,” makinya di antara napasnya yang terengah, “nggak bakal heran, meski dia kaya pasti nggak ada seorang perempuan pun yang mau jadi pacarnya, apalagi istrinya. Bisa mati berdiri dia!”
Sesaat ia menghentikan langkahnya dan kembali mengatur napas. “Lima menit! Kenapa aku benar-benar sesial ini,” gumamnya sembari kembali melangkahkan sepasang kakinya menaiki tangga hingga ke lantai kelima gedung itu.
Vania mengatur napasnya yang berantakan. Ia memang hampir tak pernah berolahraga semenjak mendapatkan pekerjaan di perusahaan ini. Waktunya habis karena pekerjaan yang tiada habisnya. Mulai dari mengurus agenda atasannya hingga kewajibannya mengikuti beberapa rapat. Bahkan setelah pulang pun, ia masih harus menyibukkan diri dengan drama lain di dalam rumahnya.
“Van, kamu udah ditunggu Pak Rega,” sambut Anin dengan tatapan anehnya, “buruan. Kamu nggak mau kan, jadi pemecah rekor jadi sekretaris Pak Rega sehari doang?”
“Euh, i–iya,” sahut Vania cepat. Ia segera mengetuk ruangan dengan pintu berkonsep kupu tarung itu dan segera masuk ke dalamnya.
“Se–selamat pagi, Pak. S–saya belum terlambat, kan?” tanyanya dengan canggung sembari melirik jam di pergelangan tangannya.
Regantara melirik arlojinya lalu ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan berwajah pucat di depannya.
Vania merasa tak nyaman saat tatapan pimpinan barunya itu mengarah padanya. Seolah menelanjanginya dari atas hingga bagian kakinya. Ia menggigit bibir bawahnya dengan perasaan frustasi.
“Apa yang dicarinya? Apa dia memperlakukan semua sekretarisnya seperti ini? Ah … aku nggak nyangka, ternyata Regantara Handoro cuma seorang pria mesum seperti ini,” batinnya.
Rega menghela napas. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya yang terlihat sangat nyaman. “Aku nggak nyangka Agus akan merekomendasikan seorang sekretaris seperti kamu. Selama ini tidak pernah ada orang yang masuk ke dalam ruangan kerjaku dengan bertelanjang kaki.”
Sekali lagi kalimat Vania tersentak oleh perkataan Rega. Sepasang matanya langsung mengarah ke bawah, tepat ke arah sepasang kakinya. Ia dapat melihat ibu jari dan jemari lainnya berbaris dengan rapi seperti mengejek kebodohannya.
“M–maaf Pak, maafkan saya.”
Untuk yang kedua kalinya, hari ini ia harus mengucapkan permintaan maaf. Bahkan kepada orang yang sama. Benar-benar hari yang sial.
Spontan ia memakai kembali sepatu tingginya. Roknya yang sempit, membuatnya terhuyung hanya karena memakai sepasang sepatu itu.
Dan satu hal yang tak diketahuinya adalah bahwa Regantara Handoro setengah mati menahan tawanya melihat kecanggungan sekretaris barunya. Lelaki itu menautkan sepasang tangannya di atas meja, hanya untuk menutupi tawanya yang hampir meledak.
Unik! Hanya satu kata itu yang ada benak Regantara.
“Cuci kakimu dan jangan kembali sebelum kamu merapikan penampilanmu!” Perintah Rega tanpa mengedipkan matanya sama sekali.
Ia benar-benar menahan diri agar Vania tidak dapat menebak pikirannya, seperti apa yang dilakukan pada sekretaris-sekretarisnya yang terdahulu. Ditatapnya perempuan itu hingga benar-benar lenyap dari pandangannya.
“Aku belum pernah bertemu perempuan seunik dia,” gumamnya. Senyuman lebar terbit di bibir lelaki itu. “Vania Larasati. Aku harap kamu nggak seperti perempuan-perempuan lain yang kukenal.”