Ringkasan
Kelakuan kasar Martin Anggoro, membuat Vania Larasati, istrinya tersiksa lahir dan batin. Martin bukan hanya tidak menafkahi Vania, tapi ia kerap kali memukulinya. Selama tiga tahun pernikahannya, bahkan Vania menjadi sapi perah tanpa tahu kemana Martin menghabiskan uangnya. Vania berjuang agar tetap terlihat tegar di mata semua orang. Hingga kehadiran sosok Regantara Handoro mengubah semuanya. Lelaki itu memberikan perlindungan dan semua yang tidak diberikan suaminya selama ini. Bagaimana jika keduanya jatuh cinta? Mungkinkah Vania bisa melepaskan diri dari cinta toxic Martin Anggoro? Siapakah sesungguhnya Regantara Handoro?
Bab 1
Martin mengecup perut Andini, membuat tubuh wanita muda itu menggelinjang. Suara desahnya dan gerakan sensualnya memancing hasrat kaum adam.
"Beb," ucapnya sembari menepis tangan lelaki yang semula bermain di dalam ceruknya.
"Kenapa?" tanya Martin kebingungan karena penolakan Andini yang sangat tiba-tiba.
"Kita hentikan saja. Aku nggak mau Intan anak kita harus menderita karena orang tua seperti kita."
"Beb." Martin mengurut keningnya. Kepalanya terasa pening karena harus menahan libidonya. "Aku pasti akan buat kalian berdua bahagia."
"Buktikan! Buktikan sekarang," tuntut Anjani, "putri kecil kita butuh banyak uang. Tapi ... kamu bahkan hanya mengandalkan uangku."
Mendengar kalimat itu, membuat darah Martin mendidih. Ia bergegas pulang ke rumahnya.
“Vania! Vania!”
Martin berteriak sangat kencang disusul dengan suara debum pintu yang terbanting ke dinding.
“Kamu ini budek apa tuli? Mana kunci motornya?” teriak laki-laki itu. Sepasang matanya melotot menatap perempuan yang sedang sibuk merapikan cucian keringnya.
“Mau kemana Mas, udah malem gini,” ucap istrinya dengan sabar.
“Kamu ini bodohnya nggak ilang-ilang. Pertanyaanku itu, dimana kunci motornya?” ulang laki-laki itu. “Kamu letakkan dimana benda sialan itu?”
“Kunci motor, biar aku yang simpan, Mas,” jawab Vania dengan sabar. Dilipat dan dielusnya helai demi helai pakaian kering itu dengan setrikanya. “Memang Mas mau kemana sih, malem-malem gini? Bukannya istirahat. Lagian ini malam jumat, teman-teman Mas, pasti nggak pada nongkrong di luar.”
Lelaki itu mulai gusar. Ia menjambak rambut istrinya, membuat kepala perempuan cantik itu mendongak, menatapnya. “Kenapa? Nggak usah ikut campur urusanku!”
Martin melepaskan jalinan rambut Vania di tangannya. Ia menghela tumpukan pakaian hasil setrikaan istrinya hingga semburat di lantai.
“Perempuan sial!” teriaknya. “Tugasmu itu hanya menyenangkan suami. Dan kamu nggak pernah bisa bikin aku senang! Jadi nggak usah banyak bacot.”
“Mas!” Vania berdiri dari kursinya. Ia menatap laki-laki yang masih dengan kalapnya mencari benda kecil itu di setiap laci dan tempat tersembunyi di kamar mereka.
Hatinya seperti teriris, perih saat melihat isi laci dan lemari yang biasa ditatanya dengan rapi itu, berantakan di atas lantai.
Tiba-tiba Martin terdiam. Ia menatap sebuah buku di dalam laci lemari pakaian mereka. Diraihnya buku itu bersama dengan kunci motor yang ditemukannya di dekatnya.
Vania menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Melihat gelagat suaminya, pikiran buruk pun mulai menghantuinya.
“Mas, buat apa kamu bawa surat-suratnya,” cicit Vania, “kembalikan, Mas. Mas cuma butuh kuncinya, kan.”
“Aku butuh duit. Aku butuh uang buat modal usaha,” sahut Martin dengan cepat, “atau kamu lebih suka melihat aku jadi pengangguran? Apa kamu senang semua orang memandang rendah suami kamu yang pengangguran ini?"
“Tapi Mas. Itu motorku, aku butuh dia buat kerja Mas.” Vania meraih lengan suaminya dan berusaha merebut kembali surat kendaraan itu.
“Halah!” teriak Martin dengan kesal. Ia menepiskan tangan istrinya dengan kasar. “Aku kepala rumah tangga di sini. Aku berhak untuk mengatur semuanya termasuk kamu!”
Saking kasarnya Martin mendorong istrinya, membuat Vania terhuyung dan menabrak pintu lemari yang masih terbuka. Darah menetes dari keningnya yang terluka.
Namun Vania tak menghiraukannya. Ia kembali mendekati Martin, hendak memohon kemurahan hatinya agar membatalkan niatnya untuk menjual satu-satunya kendaraan miliknya itu. Hanya dengan kendaraan itulah, ia bisa dengan cepat dan hemat berangkat menuju kantor tempatnya bekerja.
“Mas … Mas, kita bicarakan lagi soal modal itu. Tapi jangan motor itu, Mas. Tolong dengerin aku sekali ini saja.”
PLAK!
Tangan kanan Martin mendarat dengan sempurna di pipi Vania, membuat kulit pucatnya jadi merona kemerahan bercap tangannya.
“Kalau kamu nggak bisa nerima keputusanku, sebaiknya kita berpisah!” teriak Martin sebelum benar-benar meninggalkan rumah.
Vania masih tertegun mendengar ucapan suaminya. Berpisah! Lelaki itu pada akhirnya mengucapkan kata-kata yang seharusnya dihindarinya.
Sepasang kakinya mulai goyah. Tubuhnya terasa begitu lelah, selelah batinnya saat ini.
Tiga tahun ia menikahi Martin, tapi hidupnya bukan semakin bahagia. Lelaki yang dulunya terlihat begitu mencintainya, bahkan membuat semua orang menatap iri kepadanya itu tiba-tiba saja berubah.
Ia baru menyadari bahwa Martin bukan saja pemalas. Ia sama sekali bukan suami yang baik. Martin bukan saja tidak menunaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga, yang seharusnya memberinya nafkah lahir dan batin. Tetapi ia juga kerap kali melakukan kekerasan fisik seperti yang terjadi malam ini.
“Astaga Nia! Apa yang terjadi?” tanya Tiwi. Sepasang matanya menatap sekeliling ruangan itu dengan wajah terkejut yang sangat kentara. “A–ada maling? R–rampoknya masih di rumah ini kah?”
Perempuan setengah baya itu menghampiri putrinya yang menggelengkan kepalanya lemah sebelum mulai menangis di pelukannya. “Ibuu ….”
“Ssh …. Cep – cep – cep ….” Tiwi mencoba menenangkan putrinya. Dibantunya putri semata wayangnya itu untuk duduk di atas ranjang, lalu cepat-cepat ia memberikan segelas air mineral kepadanya. “Minum dulu, Nduk. Tenangkan dirimu.”
Vania meraih gelas yang diberikan oleh ibunya dan meneguk isinya hingga tandas. Perasaannya perlahan mulai tenang apalagi saat melihat tatapan teduh ibunya.
“Kamu kenapa, Nduk? Bertengkar lagi sama Martin?” tebak Tiwi, tepat seperti seorang dukun.
Vania tak menjawab. Ia merasa malu, apalagi ia sudah mengabaikan peringatan ibunya saat menikah dengan Martin tiga tahun yang lalu. Ia masih ingat bagaimana Tiwi tidak menyukai Martin, calon suaminya saat itu.
“Dia belum punya pekerjaan tetap, Nduk. Mau makan apa kamu nanti?” Kalimat itu masih terngiang di telinganya.
Dan pertanyaan itu tergenapi pada akhirnya. Selama tiga tahun pula Vania menjadi sapi perah bagi Martin. Semua pendapatannya sebagai seorang sekretaris habis tak bersisa karena ulah suaminya.
“Kalau kamu nggak cerita, ibu juga nggak bisa tahu apa yang terjadi,” sambung Tiwi karena tak mendapat jawaban dari puterinya.
Perempuan paruh baya itu mengoleskan salep antiseptik dengan cotton buds. “Nggak papah, kalau kamu nggak mau cerita juga ibu bisa ngerti.” Diliriknya putrinya yang mendesis menahan pedih saat lukanya tersentuh itu.
Lalu ia menempelkan plester untuk melindungi lukanya. “Selesai,” ucapnya dengan lega saat benda berwarna coklat itu melekat dengan sempurna di dahi putrinya.
“Vania. Kamu adalah putri ibu. Ibu nggak suka jika kamu menurunkan value kamu demi lelaki seperti Martin,” nasihat Tiwi, “kamu ingat bagaimana dulu ayahmu memperlakukan kita?”
Vania menganggukkan kepalanya. Ia tidak mungkin bisa melupakan alasan perpisahan ayah dan ibunya. Ia tidak mungkin bisa melupakan saat ayahnya membawa pulang seorang wanita yang usianya tak terpaut jauh dengan usianya saat itu. Ia tak mungkin melupakan bagaimana ayahnya memperlakukan dirinya dan ibunya seperti sampah.
“Jika bukan kamu yang menetapkan value dirimu, lalu siapa lagi?” Tiwi menyematkan senyumannya. Sebuah senyuman yang menyejukkan di hati putrinya yang gersang.
“Ibu, maafin aku,” lirih Vania, “seharusnya aku nurut sama ibu waktu itu.”
Tiwi memeluk kembali putrinya. Dibelainya punggung Vania dengan lembut. “Nggak papah. Ibu sudah maafin kamu, kok.”
“Apa yang harus Nia lakukan, Bu?” Isak Vania kebingungan, ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi Martin, suaminya.
“Hanya kamu yang bisa memutuskan, Nia. Tapi saran ibu, kamu ajak dia bicara. Jika kamu merasa semua masih bisa diperbaiki, silahkan saja,” ujar Tiwi dengan lembut.
“Tapi … gimana kalau tidak, Bu?” tanya Vania masih dengan perasaan ragu.
Perempuan yang setengah rambutnya mulai memutih itu tersenyum dengan lembut. “Kamu tahu kok jawabannya.”
“Tinggalkan dia.”