Bab 10: Kalian semua pengkhianat
#Status_WA_Janda_Sebelah
Bab 10
Pengkhianat semua kalian!
Minggu pagi
Sengaja aku bangun awal. Pagi ini, aku akan jogging keliling komplek. Mengenakan legging sebatas lutut, kaos dan jaket hoodie dan sepatu kets putih, aku keluar rumah.
Berlari kecil, tujuanku adalah ke taman komplek. Biasanya, kalau hari Minggu pagi dan suasana cerah begini, banyak warga yang jalan-jalan pagi lalu bersantai di taman. Biasanya juga, mereka bersama anggota keluarga, atau membawa hewan peliharaan.
Mendekati taman, terlihat dari sini, arena bermain dipenuhi oleh anak kecil dan baby sitter mereka. Di sebelah sana ada gazebo ukuran besar. Para Bapak berkumpul di sana.
Aku berlari di track memutar dulu. Melewati kumpulan Bapak-Bapak muda, mereka menoleh padaku.
"Mbak Ivonne," eh, ada yang manggil. Aku menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan. Mereka, tetanggaku. Melewati sekelompok Ibu-ibu muda, aku berbelok. Ikutan ngumpul.
Memang aku sudah merencanakan semua ini. Aku akan mencari tahu tentang Mbak Dahlia, melalui cerita warga komplek.
"Von, sini, nggak pernah kelihatan!" Seru seseorang. Senyumku mengembang. Setelah dekat, aku duduk bersama mereka di rerumputan hijau yang terawat ini.
Ada Rosi, Tita, Arum, Jessi, Nuria. Mereka, mahmud semua. Usianya paling di bawah tiga puluhan. Anak baru satu, kecuali Arum dia anaknya udah dua. Ada Emaknya, yaitu Bu Winda. Dia istrinya Pak Brata, Pak RT komplek. Kami ini semua, tergabung dalam satu kelas Zumba. Club Zumbanya ada di ujung jalan komplek. Cuma aku nggak aktif aja.
"Von, lo kemana aja?" Tanya Tita saat melihatku bergabung.
"Sibuk gua kerja," jawabku santai.
"Jangan kerja terus, Von. Laki diurus. Ingat rumput tetangga lebih gurih, lhoh!" Celetuknya.
Hahahaha teman-temanku pada tertawa.
"Von, tetangga lo aneh tuh," Tita berbisik padaku.
"Iya, si Jendes!" Imbuh Arum.
"Mang napa?" Tanyaku antusias. Ini obrolan yang aku tunggu.
"Lihat bajunya, kurang bahan mulu, hehehe," Tita terkekeh menutup mulutnya.
"Mana kalau ngomong teriak teriak, kek pamer gitu."Arum mengangkat kedua bahunya.
"Dia itu, suka bikin status 'Suamiku' dasar haluu, hahaha."
Hahaha, tawa kembali berderai. Aku tersenyum separo aja.
"Ati-ati lho, pada dijaga, suaminya!" Mbak Winda ikut bicara.
"Kenapa Bu RT?" Serempak kami melempar pandangan.
"Ya, dijaga aja!" Ulang Bu RT. Membuat dadaku langsung berdesir.
Seorang Abang tukang bubur ayam lewat. Teman-temanku pada beli. Aku memilih berpamitan saja. Mau bersih-bersih rumah. Mas Nicky kan kemaren pamit ke luar kota, pulang besok.
"Von, nanti malam ke rumah ya?" Mbak Winda berbisik padaku. Aku menatapnya. Kenapa ya, kok aku disuruh main ke tempat Bu RT? Tapi segera aku mengangguk. Aku juga mau tanya Pak RT tentang Ronda.
Setelah berpamitan dengan teman-temanku, aku berlari kecil pulang. Melewati rumah Mbak Dahlia, aku berhenti berlari. Berjalan biasa, aku menoleh. Rumahnya tampak sepi, tapi mobilnya ada di carport.
Bik Inah, ART Mbak Dahlia keluar dari pintu samping. Perempuan tua itu membawa sapu lidi. Aku berhenti di depan pagar
"Bik Nah!" Panggilku. Perempuan tua itu menoleh. Tanganku melambai. Tergopoh, Bik Nah menghampiriku.
"A_ada apa, Non?"
"Mbak Dahlia ke mana?"
"Pergi, pulang kampung katanya," Bik Nah menjawab. Tiba-tiba terlontar ide di kepalaku. Pastinya, ART ini tahu banyak tentang Mbak Dahlia.
"Bik Nah, ke rumah saya yuk, saya mau ngomong," kataku.
"T_tapi, Non ..."
"Sebentar aja," ajakku. Perempuan berdaster itu mengangguk. Setelah menaruh sapu dan mengunci pintu, Bik Nah berjalan mengikutiku.
"Duduk, Bik,"
"Iya, Non."
Art itu tampak takut-takut. Duduk di ujung sofa dengan kaki yang merapat. Aku tambah curiga, dia tahu sesuatu.
"Bik, Mbak Dahlia itu punya Suami?" Tanyaku sambil duduk bersandar.
"N_nggak, Non ..." Bik Nah menunduk. Aku menatapnya lurus. Perempuan ini ketakutan.
"Kalau Papanya Naura, apa sering datang?" Kali ini, Bik Nah mengangkat kepalanya dan melihatku sebentar.
"Nggak juga, Non."
"Oh!" Kepalaku manggut-manggut. Terdiam agak lama. Aku berdiri dan mengambil dompet di atas nakas, lalu kembali duduk.
"Kalau Pak Nicky pernah ke situ?"
"Enggak!" Bik Nah menyahut cepat. Aku sedikit kaget. Kedua alisku menaut. Semakin curiga. Kubuka dompetku dan aku mengeluarkan lima lembar uang merah, menaruhnya di meja. Depan Bik Nah.
"Bibik jawab jujur pertanyaan saya. Uang itu, boleh buat bibik."tanganku menunjuk uang di meja. Bik Nah menatapku. Kuanggukkan kepalaku.
"Pak Nicky, beberapa kali ke rumah Bu Dahlia ..." Akhirnya, perempuan itu buka mulut juga. Meski rasanya hatiku seperti teriris mendengarnya, tapi aku berusaha tegar. Aku ingin tahu lebih banyak.
"Siang, atau malam?" Tanyaku pelan. Dengar begitu saja, rasanya aku sudah nggak sanggup bicara. Sekuat tenaga aku menahan bibirku agar tidak bergetar.
"Malam, Non."
"M_menginap, ya?" Tanyaku terbata.
"Bibik tidak tahu. Soalnya, bibik disuruh masuk kamar. Nemenin Naura." Tutur Bik Nah menunduk.
Aku menarik nafas panjang. Teganya Mas Nicky. Salah apa aku padanya, kenapa dia tega menyakitiku.
"Bik, punya HP?"
"Ada, Non." Perempuan itu merogoh saku daternya dan mengeluarkan sebuah ponsel. Diberikannya benda pipih itu padaku. Aku menulis nomorku dan kusimpan di ponsel Bik Nah.
"Bik, itu ada nomor saya. Yang namanya 'Non'. Kalau Pak Nicky ke situ, tolong Bik Nah kabari saya."
Perempuan ART itu menatapku ragu. Mungkin dia takut.
"Kalau Bik Nah mau menolong saya, nanti saya gaji Bik Nah setiap bulan, gimana?"
"B_baik, Non." Perempuan itu tersenyum. "Sebagai perempuan, saya juga tidak suka melihat orang selingkuh!" Tiba-tiba Bik Nah berkata begitu.
"Selingkuh?"
"Iya, Non. Apa namanya kalau orang laki-laki sama Perempuan tidur sekamar berdua, padahal bukan muhrim." Perempuan itu bicara dengan emosional.
Mendengar omongan Bik Nah, aku merasa jantungku mau meledak. Sesak dan sakit. Wajahku mungkin sudah pias. Aku ini salah apa? Berulang-ulang pertanyaan itu, datang di otakku. Kalau memang Mbak Dahlia lebih dahulu datang di kehidupan Mas Nicky, kenapa dia melamarku?
**
Lepas maghrib, aku datang ke rumah Tante Winda. Istrinya Pak RT. Pasangan Suami Istri dengan satu anak ABG itu menyambutku.
" Duduk, Ivonne!"
"Iya, Tan, makasih," jawabku.
"Sebenarnya, ada apa, Tan. Kok nyuruh Ivonne kemari?" Tanyaku.
"Ini lho Von. Om Brata ini, dapat laporan dari satpam komplek, katanya ada yang pernah melihat, Nicky ada di rumah Dahlia malam-malam!"
Setdah! Tante Winda, to the point banget! Kembali hatiku yang sudah tercabik-cabik ini mengeluarkan darah.
"Ivonne nggak tahu Tante." Jawabku lirih. Tante Winda dan Om Brata terdiam. Panas darahku yang mendidih, sampai mengalirkan keringat di dahiku. Sakit banget tahu nggak!
Perempuan mungkin bisa memaafkan apa pun kesalahan Suaminya. Tapi tidak untuk perselingkuhan! Rasanya diduain itu amat sangat tidak enak. Gelisah tak menentu, tidur tak nyenyak, pikiran kemana-mana.
"Von?"
"Eeh, iya Tante ..."
"Kau tak apa-apa?" Aku menggeleng cepat dan mencoba tersenyum.
"Om Brata, Ivonne mau minta tolong." Ucapku pada lelaki paruh baya di depanku.
"Apa, bilang aja, Von."
"Begini, Om, bla ...bla ...bla..."
Aku bicara panjang lebar pada Om Brata dan Tante Winda. Mereka mendengarkan dengan mengerutkan keningnya. Aku punya rencana.
"Kau yakin, Von?" Tanya Om Brata. Kepalaku mengangguk. Aku sangat yakin dengan rencanaku.
"Baik lah, kabari saja."
Selanjutnya, aku, Tante Winda dan Om Brata meneruskan mengobrol. Dari masalah pekerjaan hingga makanan. Setelah puas bercerita, aku pun pamit pulang.
Masuk rumah dan mengunci pintu, aku berjalan menaiki tangga. Lebih nyaman bila di kamar saja.
Setelah membersihkan wajah dan mencuci tangan, kaki, aku naik ke tempat tidur. Mengambil gawai, aku mulai memeriksa pesan.
Membalas satu persatu WA dari temanku. Kemudian aku melihat status. Mas Nicky, hanya bikin status tulisan 'kangen' . Huh, entah kangen siapa! Mendadak aku merasa enek.
Punya Mbak Dahlia Sekarang. Apa nih? Dahiku mengernyit. Kuamati foto di story Mbak Dahlia. Dia berfoto sama Mami? Nggak salah? Mami kan di Solo ...
Aku sampai memperbesar foto itu! Bener, ini Mami dan Mbak Dahlia. Aku diam berpikir. Mami ada di Jakarta, atau Mbak Dahlia yang ke Solo? Tuhan, kebohongan apa lagi, ini?
Tuling
Tuling
Tuling
Suara pesan beruntun berbunyi dari ponselku. Cepat aku membukanya. Pesan gambar masuk dari nomornya Arjuna. Masih muter gambarnya, ada tiga.
Rasanya nggak percaya dengan apa yang dikirim Juna padaku. Kalau aku jantungan, mungkin sudah mati berdiri!
Pelupuk mataku panas, bibirku bergetar hebat. Tanganku yang memegang ponsel rasanya gemetar.
Foto Mas Nicky dan Mbak Dahlia sedang berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Tampak dari belakang, tangan Janda itu, melingkar di pinggang Suamiku. Dan Suamiku merangkul pundaknya.
Yang bikin aku tambah sakit adalah foto yang lain. Di situ tampak pula Mami dan Naura, Kak Astrid dan kedua anaknya. Mereka sedang menikmati makanan di sebuah resto.
Mas Nicky dan Mbak Dahlia, mereka berdua ada di Solo. Keluarga Suamiku, ternyata mengkhianatiku semua! Huhuuhu huhuuhu
Drrrrrt Drrrrrt
Ponselku berbunyi, nomor Juna terpampang di layar.
"Juna ... Hikss ..."
"Ivonne, kau tak apa-apa?"
Bersambung