Ringkasan
Menikah memang menjadi salah satu tujuan Noura—seorang wanita yang berprofesi sebagai jurnalis. Tapi tidak sekarang. Mungkin kelak dia akan menikah dengan seseorang yang dia pilih dan dicintainya. Namun, siapa sangka di puncak karirnya kini dia dipaksa oleh sang ayah untuk menikah dengan pria asing. Sedangkan identitas pria itupun tak diketahui karena mengalami amnesia. Demi baktinya pada sang ayah, Noura pun menyetujui pernikahan itu. Sehari setelah akad, Noura memberikan sebuah surat perjanijan. Prawira—pria yang baru sah menjadi suaminya itu hanya pasrah menuruti kemauannya. Dia tak ingin karir masa depan yang dibangun susah payah, berantakan hanya karena pernikahan yang tak diinginkan. Dibalik semua itu, ternyata banyak rahasia mengelilingi dirinya selama ini. Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit kebenaran terungkap. Alasan sebenarnya dia harus segera menikah dan identitas sebenarnya sang suami. Hingga Noura benar-benar merasakan titik balik kehidupannya. Perlahan cinta Noura pada Prawira tumbuh. Namun, kejutan demi kejutan pun dia dapatkan. Bisakah Noura bertahan dalam semua rahasia hidupnya ini?
1. Permintaan Ayah
***
"Ayah … Nou nggak mau. Dia …."
Tatapan mata Noura nyalang melihat pada Jaka yang duduk diseberangnya. Sedangkan pria itu hanya berwajah datar setelah Pak Sugiarto mengatakan keinginan. Apalagi, tentu saja Jaka sudah tahu tentang hal ini sebelumnya.
"Menikah dengan, Mas Jaka? Yang benar aja, Yah. Noura baru kenal dia juga tiga hari ini. Tau nama aslinya juga tidak. Sama dirinya sendiri saja dia tidak ingat. Kami tidak dekat, ngobrol juga jarang. Kenapa tiba-tiba Ayah suruh Nou nikah sama dia?" Noura lantas menolak setengah merengek.
"Karena pilihan Ayah jatuh pada Jaka, Nou." Pak Sugiarto memberi alasan.
Noura tampak bersedekap, menegangkan otot wajah. Dia terlihat sangat marah. "Kamu juga, Mas. Kenapa diam aja, sih? Pasti kamu sudah setuju dari awal, kan?" Sekarang matanya beralih menatap pria itu, nyalang.
Jaka hanya bisa diam melihat wanita itu mendengus, menajamkan matanya. Terlihat dia menahan rasa di dirinya. Hati pria itu sama sekali tidak dipaksa, dia ikhlas menerima keputusan sang juragan yang menampungnya selama beberapa bulan ini.
Reaksi Noura sangat menolak keras, Jaka bisa mengerti itu. Dia tidak terlalu banyak berinteraksi. Baru beberapa hari kenal, dan sekarang diminta untuk hidup bersama dalam ikatan pernikahan. Bukan Jaka merasa ini tidak boleh, hanya saja ini terlalu cepat. Namun, atas permintaan penyelamatnya, dan juga karena merasa harus membalas budi, Jaka pun menyetujuinya. Walau dia tidak bertanya kenapa harus dengan cara menikah untuk menjaga Noura, tapi dia akan menjalankan amanah tersebut.
Pria paruh baya itu menghela napas sejenak. "Ayah mau kamu ada yang jaga, Nou. Kamu sudah 28 tahun, sudah pantas untuk menikah. Tanggung jawab untuk menjaga kamu sudah seharusnya diserahkan kepada orang yang menjadi suamimu."
Ucapannya penuh kelembutan, tidak ingin terbawa emosi dengan penolakan sang putri. Dia tentu mengerti perasaan putrinya itu. Tetapi, keputusannya sudah bulat. Hanya Jaka yang dia rasa, pria yang tepat untuk dinikahkan dengan Noura, setelah dia mengenal kepribadian pemuda itu beberapa bulan ini.
"Tapi kenapa harus sama dia, Yah! Kita tidak tau asal usulnya. Bagaimana dia bisa menikahi Nou, Yah?" Rengekan Noura makin menjadi. Terlihat semburat matanya telah berembun.
Jaka hanya bisa menjadi pendengar di antara perdebatan ayah dan anak itu. Entah harus pada siapa akan berpihak. Satu sisi penyelamat, sisi lain wanita yang baru dikenal. Terima saja apa yang akan terjadi, tidak buruk juga baginya.
"Untuk itu udah ada cara, Nou. Beberapa hari yang lalu ada yang menemukan dompet di kaki bukit, dan itu punya Jaka," tutur Pak Sugiarto lagi.
Noura mendengus, alasan ayahnya tidak dapat diterima. Kemudian beralih pada Jaka seraya menadahkan tangan. “Mana, sini saya liat?”
Kartu identitas Jaka keluarkan dari dompet lusuh di kantongnya. Dengan hati-hati dia letakkan di atas meja. Noura mengambil dengan cepat, dan membaca informasi di sana. Jikapun identitas Jaka sudah kembali, apa hubungannya dengan pernikahan. Seharusnya dia di suruh pulang ke rumah sendiri, cari keluarganya. Logikanya Noura akan berpikir seperti itu.
Pak Sugiarto pun menghela napas berat. "Nou, Ayah tidak akan merasa tenang sebelum kamu menikah. Jaka bisa menjaga kamu nantinya," ucapnya lirih sedikit mengiba. Seolah tak ada cara lain lagi. Harapan terbesarnya tentu ingin melihat sang putri bahagia.
"Selama ini Nou bisa menjaga diri sendiri, Yah. Bukan ini alasan sebenarnya, kan?" tanya Noura menyelidik sambil menyipitkan mata. Seolah dia yakin ada niat lain, dia tahu ayahnya tidak akan mengambil keputusan berdasarkan satu alasan saja.
"Haah ... baiklah, Ayah akan katakan." Pak Sugiarto berdehem sesaat, matanya mengerjap perlahan. "Ayah sebenarnya suka sama Bu Farida, Nou. Dia mau Ayah nikahi dia jika memang ada niat serius. Tapi, Ayah tidak tenang kalau kamu belum menikah. Jadi, Ayah mau kamu nikah duluan," ujarnya sambil tersenyum malu-malu.
Noura pun menganga tak percaya. "Bu Farida? Ibunya Mas Didit? Yang benar aja, Yah?" Tidak menyangka ternyata alasan ini yang membuat sang ayah memaksanya. “Ayah nggak bohong, kan?”
"Kenapa Ayah harus bohong? Ayah udah naksir Bu Farida dari lama. Ayah lihat kamu dan Didit juga dekat, kan nantinya bisa jadi saudara," ujar Pak Sugiarto melanjutkan.
Dari kecil, Noura memang selalu dekat dengan pemuda itu. Didit tampak selalu menjaga Noura. Mengajarinya bela diri hingga sang putri mengenakan sabuk hitam kini.
"Memangnya Mas Didit setuju Ayah menikah sama ibunya?" Pria sang pemilik padepokan silat pun memang sudah Noura anggap seperti kakak sendiri. Tapi, tak menyangka akhirnya akan menjadi saudara.
"Itu, masih perlu usaha. Lagi pula cepat atau lambat kamu akan nikah juga. Apa kamu mau lihat Ayah hidup sendiri terus sampai tua?" tanya Pak Sugiarto dalam bujukannya.
Noura terdiam. Ternyata ini yang menjadi alasan Ayahnya memaksanya untuk segera menikah. Tapi, kenapa harus dia? Noura kembali mendelik pada Jaka. Marah dan kesal karena pria itu hanya diam, tak berniat menolak sama sekali.
"Kenapa ini jadi bahas masalah Ayah? Cukup ya Nou, urusan Ayah biar dipikirkan nanti saja. Sekarang Ayah mau kamu nikah dulu sama Nak Jaka. Ayah tidak mau ada penolakan! Jadi, acara akad akan dilakukan dalam tiga hari lagi."
"Tiga hari? Ayah ...!”
"Noura Arumi ...!" tegas Pak Sugiarto tak ingin dibantah lagi. Lalu beralih pada pria muda di depannya. "Nak Jaka, kamu setuju?"
Pria itu mengangguk kecil, dia melirik Noura sesaat. "Saya … terserah Bapak saja," jawab Jaka, yang membuat Noura mendengus menatapnya.
"Jangan terserah saya. Saya akan menyerahkan tanggung jawab besar sama kamu. Kalau terserah saya, kamu belum tentu bisa memegang amanah." tutur Pak Sugiarto tegas, dia ingin kepastian.
"Iya, Pak … saya akan menjalankan amanah dari Bapak. Saya akan menikahi Noura dan menjaganya. Saya setuju," jawab Jaka yakin akhirnya.
"Bagus, saya pegang kata-kata kamu."
Noura kembali menatap tajam pada Jaka, lalu bangun dan pergi hendak masuk ke kamarnya.
“Nou, tunggu.”
Panggilan sang ayah membuat langkah wanita itu terhenti. Dia kembali berbalik setelah menghela napas ringan. Bagaimanapun juga dia ingin tetap tenang menghadapi ayah yang sangat dia cintai itu.
“Ayah harap kamu segera mempersiapkan diri. Ayah melakukan semua ini juga untuk kebaikan kamu. Ayah akan mengatur semuanya, jadi kamu terima beres saja.”
“Nou harap Nou tidak akan kecewa dengan keputusan ayah ini.” Balasan singkat Noura mengakhiri obrolan mereka. Percuma saja dia membantah. Biarlah dia menerima untuk saat ini.
Jaka mengekor langkah wanita itu dengan matanya hingga menghilang dari pandangan. Dia menyimpulkan, Noura yang keras kepala, tidak terima akan keputusan sang ayah. Namun, wanita itu tak menunjukan emosi yang berlebihan, tak sekali pun dia meninggikan suara. Jaka dapat melihat, seperti apa kilat kemarahan di mata wanita itu. Noura pasti diajarkan tata krama dengan baik.
“Maaf, Pak. Bagaimana jika Noura tidak ikhlas menerima pernikahan ini?”
***