PART 09
Mendengar perkataan itu, Widya dan Jasman langsung saling bertatapan, lau sama-sama tertawa. Tetapi bagi Widya, ucapan si pemuda tadi terasa sangat mengena dalam hatinya, dan tak urung merubah warna wajahnya menjadi kemerah-merahan, dan jantungnya berdetak aneh.
Sebenarnya, Jasman menangkap perubahan di wajah bos cantiknya dan reaksi apa yang dirasakan oleh hatinya ketika mendengar ucapan salah paham dari pemuda tadi. Tapi ia tak mau terpengaruh, walau reaksi yang sama terasa juga dalam hatinya. Ia berusaha untuk menyingkirkannya jauh-jauh apa yang ia rasakan. Lalu dengan sedikit membuang pandangannya ke arah lain, ia menggandeng tangan Widya dan mengajaknya untuk menikmati kuliner yang tersedia di lapak-lapak street food yang cukup banyak di sekitar itu. Mereka menikmati soto sapi ala Jogja yang lezat. Kebetulan juga ia belum makan dari tadi sore.
Di Taman Pelangi mereka duduk-dudu cerita hingga jauh malam. Nyaris menjelang subuh baru mereka kembali ke hotel.
***
Seminggu kemudian Widya memutuskan untuk keluar dari hotel, dan kembali ke rumahnya yang di kawasan Jakal. Dia ingin kembali ke kehidupan normalnya, dan menjalankan rutinitasnya sebagai manusia yang bersosialisasi dan berkarya. Toh tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Ia sudah sangat yakin bahwa ia akan aman selama Jasman selalu ada di dekatnya.
Rumah Widya berada di sebuah komplek perumahan elit di kawasan Jakal (Jalan Kaliurang). Suasananya sangat tenang dengan udara kiriman dari Gunung Merapi yang sejuk. Rumah itu berlantai dua dengan halaman yang cukup luas. Pada bagian samping selatan rumah induk ada sebuah bangunan tambahan berupa sebuah kamar tidur yang cukup luas berikut kamar mandi di dalamnya, yang disebut paviliun oleh sang pemiliknya, Widya. Di paviliun itu Jasman disuruh tempati.
"Rumah seluas ini hanya ditempati sendiri oleh Mbak Widya?" bertanya Jasman, ketika mereka duduk mengobrol di ruang tamu.
"Iya," jawab Widya. "Lantas mau tinggal dengan siapa lagi?"
"Lalu Mbak Widya nggak takut dibobol maling kalau ditinggal?"
"Nggak juga. Karena tiap malam rumah ini ada yang menjaganya, namanya Mbah Karso, orang dari sekitaran sini juga."
"Hm. Maaf, laki-laki itu...?"
"Mas Galih," potong Widya. "Galih Sugondo."
"Oh, namanya Pak Galih Sugondo," ucap Jasman. "Dia sering ke sini juga?"
"Tidak. Dia tak tahu kalau Mbak punya rumah ini. Yang dia tahu hanya rumah Mbak yang di daerah Kalasan saja."
Jasman sebenarnya ingin menanyakan banyak hal tentang kehidupan Widya, tapi takut dinilai kepo, maka ia pun berharap bersama berjalannya waktu biarlah Widya sendiri saja yang menceritakannya, seperti yang pernah ia katakan waktu di hotel.
Lalu Jasman mengalihkan topik pembicaraan ke masalah lain yang tidak berkenaan dengan privacy sang empunya rumah. Pembicaraan mereka benar-benar sudah tak ada kecanggungan lagi, sehingga tak jarang obrolan keduanya diselingi dengan tawa lepas. Jasman adalah tipe pemuda yang tak suka banyak bicara, namun sekali-kali sangat pandai melemparkan joke-joke segar yang mampu memancing tawa Widya.
Sampai akhirnya berkata, "oh ya, Mbak Wid, ntar ba'da zuhur saya ijin mau menengok kost dulu, sekalian terus ke kampus, mau menemui dosen pembimbing. Soalnya tempo hari saya sudah janji. Mbak Widya mungkin belum ada rencana keluar hari ini?"
"Ya monggo, Di Jas, gak apa-apa," ucap Widya. "Dik Jas selesaikan dulu urusan kuliahnya. Mbak hari ini pengen istirahat total dulu di rumah. Oh ya, apa gak sebaiknya Dik Jas pamit sekalian dengan pemilik kost untuk keluar? Kan Dik Jas sudah tinggal di sini?!"
"Eng...ia sih, cuma saya pikir, biar saya tetap menyewa kostnya. Kalau ada urusan yang perlu saya tunggu, bisa nunggu di kost, Mbak," Jasman menyampaikan pertimbangannya.
"Oh seperti itu? Ya terserah Dik Jaslah baiknya gimana," ucap Widya sambil tersenyum. "Tapi ingat, jika urusannya sudah selesai... segera pulang, ya? Mbak masih was-was kalau sendiri."
Ada kemanjaan dalam kalimat akhirnya. Namun Jasman tetap menganggap wajar, sifat dasar seorang wanita. "Siap, Mbak! Kalau ada apa-apa, Mbak Widya tinggal menghubungi nomor saya saja. Saya akan segera tiba."
"Pastinya. Terus ke sana Dik Jas mau naik apa?"
"Saya bisa naik taksi, Mbak," jawab Salman.
"Ah, jangan," potong Widya, "Dik Jas pakai mobil saja. Di sini ada dua mobil kok. Tapi Dik Jas pakai mobil yang satunya, yang di garasi. Mobil yang kita pakai itu mau Mbak jual. Soalnya Mas Galih sudah hafal dengan nopolnya. Mbak ingin, besok atau lusa Dik Jas menjualnya langsung ke showroom, ya?"
Jasman sesaat terdiam, mengangguk-anggukkan kepalanya, mencoba mencerna jalan pikiran wanita yang duduk di hadapannya, " Baiklah Mbak, siap dilaksanakan!"
Keluar dari ruangan dosen pembimbingnya, Jasman menghela nafas lega. Judul skripsi yang diajukannya akhirnya disetujui juga, setelah sekali mengalami penolakan. Uhuuii, selangkah lagi ia akan mengucapkan selamat tinggal kepada kampus tercintanya ini. Kampus Satgas Hijau yang telah memberinya banyak kenangan, entah suka maupun duka. Di kampus ini ia menimba ilmu dan akan menyabet gelar kesarjanaannya. Di kampus ini ia banyak mendapatkan sahabat yang baik-baik. Dan, di kampus ini pula bibit cintanya ia temukan, ia semai, dan ia rawat, walau pada akhirnya layu sebelum sempat besar, bercabang, berbunga, dan berbuah. Ia menghela nafas panjang.
Jasman Fatwadin. Seorang mahasiswa fakultas ekonomi yang cukup dikenal di kalangan mahasiswa lain yang sekampus dengannya karena memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata, anggota senat mahasiswa yang aktif, serta aktif di keanggotaan mapala kampus, di samping memiliki berbagai prestasi non-akademik yang mumpuni, terutama di bidang seni beladiri. Ia memiliki darah campuran Ajam dari garis ibunya dan Arab dari garis ayahnya, sehingga secara fisik ia memiliki ketampanan yang khas seorang blasteran dengan hidungnya yang mancung, sorot matanya teduh tapi tajam bak sepasang mata elang, kulitnya hitam manis tapi bersih, serta postur tubuh yang tinggi dan kekar.
Seharusnya, dengan tampilan fisik serta dukungan prestasi akademik dan non-akademik yang mumpuni, ia tak sulit untuk mendapatkan cinta dari gadis-gadis sekampus dengannya. Akan tetapi kenyataannya, Jasman bukanlah tipe cowok yang suka mengumbar cinta. Ia tipe cowok yang setia. Selama ia menjadi mahasiswa di kampus ini, dia hanya menjalin hubungan cinta dengan satu wanita, yaitu dengan Ningrum. Hanya saja nasib cintanya tak setampan wajahnya atau tak secantik wajahnya Ningrum, serta tak seindah ekspektasinya. Ortu Ningrum tidak menginginkan hubungan mereka berlanjut. Alasannya klasik, mereka tak ingin putri tunggalnya itu kelak menikah dengan seorang pria dari pulau seberang. Alasan yang masih dapat dimusyawarahkan sebenarnya. Namun karena sudah menjadi prinsip ortu Ningrum, Jasman pun tak mampu untuk berbuat apa-apa untuk mempertahankan cintanya. Benteng feodalisme itu terlalu kokoh untuk ia tembus. Ia harus berusaha ikhlas ketika sang pujaan hatinya itu harus berpindah ke lain sosok dan hati. Ah, terkadang cinta jauh lebih kejam dari kebencian itu sendiri.
Jasman menggeleng-geleng pelan sembari tersenyum, kecut, sebelum lantas melangkah meninggalkan ruang kampus di lantai atas, lalu memasuki lift untuk turun ke lantai satu.
