Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

13. Ayah kritis

Nadira terbangun dari tidurnya. Piyama yang dipakainya basah oleh keringatnya. Setiap hari Nadira akan terbangun dengan tubuh yang basah oleh keringat. Sudah satu bulan ini, ia tidak pernah merasakan tidur nyenyak. Bayangan akan pemerkosaan itu membuatnya merasa begitu sangat ketakutan. Bahkan peristiwa itu selalu hadir di dalam mimpinya. Menemani tidur lelapnya. "Sampai kapan aku seperti ini," Nadira menangis merasakan ketakutan yang sangat luar biasa.

"Aku ingin melupakan ini semua. Aku tidak sanggup mengingat semua ini," Nadira merintih pilu. Rasa sakit ini, semua yang di alaminya harus dirasakannya sendiri. Nadira tidak sanggup mengaku dengan ibunya. Kondisi ibunya saja sudah membuat ibunya sedih. Nadira tidak bisa membayangkan bagaimana bila ibunya mengetahui ini semua. Tubuh Nadira semakin melemas saat mengingat itu semua.

Nadira mengambil ponselnya. Nadira mencari tips menghilangkan rasa takut dan trauma. ,"Cara-cara ini sudah aku coba tapi tidak ampuh. Apa aku harus cari pisikiater?' Nadira bertanya sendiri.

Nadira mencari informasi pembayaran untuk mengatasi trauma pasien yang memiliki kenangan buruk. Mata Nadira terbuka lebar. "Ya ampun mahal sekali," keluhnya. Nadira diam memandang layar ponselnya. Tubuhnya terasa begitu amat lemas. "aku tidak sanggup merasakan seperti ini. Rasa takut dan bayangan peristiwa itu begitu sangat menghantui aku. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Tangis Nadira pecah saat dirinya sudah tidak mampu merasakan sakit di dadanya. Nadira menghentikan tangisnya saat ponsel ditangannya berdering. Nadira melihat panggilan yang masuk dari ibunya dengan cepat Nadira mengusap air matanya dan mengangkat panggilan telepon tersebut.

"Halo Bu," saut Nadira.

"Nak, kondisi ayah semakin memburuk, sekarang ayah sedang dirawat di rumah sakit. Ayah di minta untuk di rujuk ke RS yang lebih besar nak." tangis Erna pecah saat memberi tahu kondisi ayah Nadira.

"Ibu, Dira Akan kirimkan uang hari ini untuk berobat ayah. Ibu jangan cemas, ayah pasti baik-baik saja. Ayah pasti sembuh," Nadira berucap penuh harap. Ingin rasanya Nadira pulang ke kampungnya, namun bagaimana dengan pekerjaannya. Saat ini uang gaji yang di peroleh nya dari tempat kerja begitu sangat penting untuk berobat ayahnya. Nadira mencoba untuk terlihat tegar saat berbicara dengan ibunya.

"Iya nak, ibu gak tau bagaimana cara mengurus ini semua. Adek masih belum mengerti apa-apa. Ibu juga tidak tau harus bagaimana. Ibu binggung nak, ibu Sendiri menghadapi ini," Erna meraung mengadu dengan putrinya.

"Ikuti aja Bu apa yang dikatakan petugas rumah sakit. Dira pengen pulang lihat ayah, namun Dira gak bisa tinggalkan kerjaan Dira Bu." Nadira sedih sangat ketika dirinya tidak bisa berada di sisi ayahnya.

"Iya nak, Gak apa. Ibu ngerti nak. Doakan ayah bisa sehat nak. Biar ayah bisa bekerja lagi seperti dulu," Erna berusaha berbicara di celah Isak tangisnya.

"Iya Bu, Dira mau langsung ke luar untuk transfer ibu uang. Dira transfer 3 juta dulu ya Bu. Minggu depan Dira akan usahakan transfer 1,5 juta lagi," kecap Nadira.

Iya nak," jawab Erna.

Nadira memutuskan sambungan telepon ibunya.

Nadira mandi dengan sangat cepat. Ia berpakaian rapi untuk langsung berangkat ke toko pakaian. Rasa takutnya begitu sangat besar, bila terjadi sesuatu yang buruk dengan ayahnya. Nadira menyimpan uangnya dengan sangat berhati-hati. Setelah berpakaian rapi dan berdandan ala kadarnya. "Ayah, berjuanglah untuk sembuh. Dira juga akan berjuang untuk cari uang berobat ayah. Dira mohon jangan pergi, jangan tinggalkan Dira ya. Dira butuh ayah untuk menjadi penyemangat Dira," lirihnya.

*

Nadira duduk di halte busway dan melihat jam yang melingkar di tangannya. Saat ini masih jam 6 pagi, Nadira tahu bahwa dirinya akan menjadi nasabah pertama yang datang ke bank tersebut. Namun baginya tidak masalah, ia akan menunggu hingga bank itu buka. Setidaknya dia bisa terdaftar menjadi nasabah pertama.

Nadira Naik ke atas busway yang berhenti di halte. Pagi ini ia sangat senang karena bisa duduk di kursi penumpang, tidak seperti biasa yang selalu berdiri. Nadira turun dari atas bus ketika bus yang dinaikinya sudah berada di halte yang tidak jauh dari bank. Sesuai dugaannya Nadira harus menunggu hingga Bank itu buka. Ia duduk di depan pintu yang tertutup rapat tersebut. Saat ini yang terbayang olehnya hanyalah wajah ayahnya. Doa tidak ada henti-hentinya terucap dari mulutnya yang tertutup rapat berharap kesembuhan untuk ayahnya.

Cukup lama Nadira duduk di depan pintu rolling yang tertutup rapat tersebut hingga security datang dan membuka pintunya di jam 8 pagi.

Sesuai yang diharapkannya, Nadira menjadi nasabah pertama. Ia mengirimkan uang untuk ibunya. Setelah selesai mengirimkan uang Nadira langsung menuju ke toko pakaian.

Nadira hanya duduk di depan pintu toko yang masih tertutup rapat. Pikirkan entah berada di mana saat ini. Berulang kali ia menghubungi ibunya namun panggilan telepon itu sudah tidak tersambung. Gadis itu hanya menagis duduk di depan pintu tersebut.

"Sudah datang?" Sapa Lala yang memandang Nadira.

Nadira mengangkat kepalanya dan memandang Lala. Matanya sembab karena menangis.

"Ada apa?" Tanya Lala yang turun dari motornya.

"Tadi ibu menelepon aku. Ibu memberi tahu kondisi ayah sedang kritis. Ayah harus di rujuk ke rumah sakit yang besar. Setelah itu aku telpon lagi. Nomor telepon ibu sudah tidak aktif," ungkap Nadira.

"Kamu tenang aja. Ibu kamu pasti sibuk untuk mengurus surat menyurat nya," ucap Lala menangkan.

Nadira merasa begitu sangat tenang ketika mendengar ucapan Lala. Sejak tadi Nadira tidak berfikir seperti itu.

**

Nadira bekerja seperti biasanya. Di saat toko dalam ke adaan sepi, Nadira akan melamun. Pikirkannya pergi Entah ke Keman. Rasa cemas dan takut akan kehilangan ayahnya, membuat hatinya terasa tidak tenang. untaian doa tidak ada henti-hentinya terucap dari bibirnya yang tertutup rapat. "Ayah, Dira belum sanggup bila ayah pergi. Ayah bertahan ya untuk Dira. Dira akan berusaha untuk mencari waktu libur agar bisa lihat ayah." Nadira mengusap air matanya yang menetes.

Dengan sangat cepat Nadira mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya ketika ponsel itu berdeing.

"Halo Bu, bagaimana kondisi ayah Bu." Nadira melontarkan pernyataan kepada ibunya. Nadira begitu sangat takut bila jawaban ibunya tidak sesuai dengan keinginannya

"Ayah sudah di rujuk nak. Sejak tadi ibu sibuk mengurus surat rujuknya. Kemudian mengurus ambulans. Alhamdulillah sekarang ayah sudah ditangani. Maaf ya nak, baterai ponsel ibu habis." Ungkap Erna.

Nadira menagis saat mendengar kabar yang di ucapkan ibunya. "Uangnya sudah Dira transfer Bu," ucap Nadira memberi tahu.

"Iya nak, terima kasih ya nak. Kalian buat ibu kuat. Sekarang ayah sudah di tangani dokter." Jelas Erna.

"Iya Bu, apa Dira bisa ngomong sama ayah?"

"Gak bisa nak, ayah sekarang di ruang ICU. Bila kondisinya sudah membaik akan di pindahkan ke ruangan," ungkap Erna.

"Moga ayah setelah ini akan kembali sehat. Dira rindu lihat ayah seperti dulu," ungkap Nadira.

"Amin, Nak sudah dulu ya. Dokter ingin bicara dengan ibu," ucap Erna.

"Iya Bu, kabari Dira bila terjadi apa-apa dengan ayah.

"Iya nak," Jawab Erna yang kemudian memutuskan sambungan telepon tersebut.

***

Malam minggu seperti ini klub malam begitu sangat ramai. Sejak tadi Nadira tidak ada henti-hentinya keluar masuk toilet untuk membersihkannya.

Lantai kamar mandi, dinding kamar mandi , closed. selalu menjadi sasaran empuk pengunjung yang mengeluarkan muntahnya, sehingga Nadira tidak ada henti-hentinya membersihkannya. Ia sudah sangat biasa memandang hal seperti ini Sehingga tidak merasa jijik lagi. Tangannya mulai berkerut ketika dirinya sejak tadi tidak ada hentinya membersihkan kamar mandi yang ditinggalkan oleh pengunjung

Nadira duduk sejenak untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Malam ini seperti ini pengunjung yang datang bisa sampai 5 kali lebih banyak daripada biasanya. Hal ini membuat pekerjaannya terasa semakin berat. Ada rasa senang ketika melihat jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan jam 3 subuh, itu artinya sebentar lagi lagi waktu jam kerjanya akan selesai.

Disaat dirinya tidak sedang bekerja seperti ini, Nadira akan mengingat kembali ayahnya. Hingga sampai saat ini ayahnya masih berada di ruangan ICU. Air mata Nadira kembali menetes ketika mengingat ayahnya. Nadira bahkan melupakan permasalahan yang dihadapinya. Ia hanya fokus dengan kondisi ayahnya saat ini.

Nadira begitu sangat ketakutan ketika melihat adegan perkelahian yang terjadi tidak jauh dari tempat duduknya. Dengan cepat Nadira meninggalkan kursi yang didudukinya. Nadira masuk ke dalam toilet dan bersembunyi di sana. Setelah apa yang dialaminya Nadira begitu sangat merasa ketakutan. Ia tidak ingin melihat Apa yang dilakukan dua pria yang memukuli satu laki-laki.

Nadira hanya duduk di kloset sambil menangis. Kakinya begitu sangat lemas dan gemetar. Keringat bercucuran di keningnya. Ia tidak tahu sampai berapa lama dirinya harus bersembunyi seperti ini. Tubuh Nadira semakin menegang menahan rasa takutnya ketika mendengar suara rintihan kesakitan dari luar kamar mandi." Bila seandainya ada pekerjaan yang lain aku akan berhenti dari sini aku sungguh tidak sanggup," kecap Nadira.

Nadira menutup mulutnya saat mendengar suara langkah kaki yang mendekati pintu kamar mandinya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel