Soulmate
“Lah … kenapa ada Panjull disini?!” tanya Santi dengan nada terkejut.
“Hah?? Panjul??” tanya Aldo panik karena mobil yang mereka tumpangi tak bisa maju lagi.
“Iya. Aku keluar dulu,Pak!!”
“Eh, jangan!! Berbahaya!!” cegah Bima yang ketakutan.
“Itu soulmate aku kok, Pak!” kata Santi seraya membuka pintu mobil.
“Dia bilang apa barusan?? Soulmate?” tanya Bima tak percaya.
“Ya, sepertinya begitu,” jawab Aldo yang terperangah ketika Santi malah memeluk hewan jorok yang ada di depan mobil mereka.
“Panjuuuullll!!! Kamu kangen sama aku, ya?? Kok bisa tau aku ada di mobil itu, sih?? Kamu itu kerbau, kok penciumannya udah kayak anjing pelacak, sih??” tanya Santi beruntun, berbicara seperti kepada manusia.
Aldo sampai menoleh ke belakang dan saling berpandangan dengan Bima yang terlihat shock. Bagaimana bisa dia mempunyai seorang sekretaris seudik itu? Berteman dengan seekor kerbau? Itu benar-benar di luar prediksinya.
“Pak, kalian ikuti aku aja! Aku mau naik Panjul dari sini ke rumah. Udah deket, kok!” seru Santi dari luar mobil.
Aldo hanya mengacungkan jempol pertanda setuju dari dalam. Hatinya juga masih belum bisa menerima persahabatan antara manusia dengan kerbau. Apalagi kerbau yang dari tadi dipanggil dengan sebutan Panjul itu tampak menurut pada Santi.
“Aku pikir cerita anak penggembala itu hanya sekedar dongeng, ternyata ada versi aslinya juga??” gumam Bima pasrah saat melihat Santi naik ke punggung si kerbau dengan wajah yang berbinar.
“Dan apa kamu nggak lihat betapa bahagianya ekspresi wajah sekretaris polosmu itu?” sahut Aldo.
“Ya. Kebahagiaan Santi itu memang sulit ditebak, terlalu receh.”
“Lihatlah bajunya itu, sudah penuh dengan lumpur,” imbuh Aldo.
“Sudahlah, kita ikuti saja kemana kerbau itu membawa Santi.”
Setelah mengikuti beberapa ratus meter jaraknya, mulai nampak pemukiman penduduk yang cukup banyak. Rumah-rumah disana masih terbuat dari kayu dengan atap jerami. Tingginya pun hanya dua meter dengan lebar yang tidak seberapa.
“Ini rumah??” tanya Bima sambil turun dari mobil diikuti Aldo.
“Selamat datang di rumahku, Pak!!” seru Santi.
“Jangan dekat-dekat!!” kata Bima takut karena kerbau itu juga ikut mendekat.
“Hahahha … maaf, Pak! Biar aku masukin kandang dulu, deh!”
Santi membawa kerbaunya tersebut masuk ke kandang yang berada di belakang rumah. Sementara mereka menunggu, tak berselang lama muncullah beberapa orang dari rumah tersebut.
“Ada artis datang ke kampung kita ya, Bu?” tanya seorang lelaki dengan postur tubuh sedikit bungkuk.
“Wah, iya! Sepertinya begitu, Pak!!”
“Anak-anak!! Ada artis datang, nih!!” seru sang bapak.
Ada tiga anak yang keluar dari rumah dengan berlari dan langsung berhambur mendekati Bima dan juga Aldo. Mereka berebut untuk bersalaman.
“Wahhh … tampan sekali mereka!!”
“Iya, baru kali ini kampung kita didatangi artis!!”
“Bapak!! Ibu!!” seru Santi dari arah rumah.
Seketika yang merasa kenal dengan suara itu langsung menoleh dan berlari memeluk Santi.
“Sejak kapan dia ada dalam rumah? Bukannya tadi bilang masukin kerbau ke kandang, ya??” tanya Aldo yang sibuk menjaga Bima dari anak-anak kecil tadi.
Setelah perkenalan singkat, Santi mengajak mereka untuk masuk ke dalam rumah. Bima dan Aldo yang memiliki postur tinggi sampai harus menundukkan kepala saat masuk ke dalam rumah.
Mata Bima menyapu seluruh ruangan rumah yang kecil tersebut. Ukuran rumah tersebut tak lebih besar dari kamar pribadinya. Dalam hati dia berpikir, bagaimana kehidupan Santi selama ini? Tinggal di sebuah rumah kecil dengan jumlah orang yang sebanyak ini?
“Jadi maksud kami kesini adalah untuk melihat bagaimana kehidupan Santi di rumah. Dia bilang masih mempunyai adik-adik yang sekolah,” kata Aldo mewakili Bima bicara.
“Iya benar, Santi anak sulung kami. Masih punya tiga adik yang sekolah, dan selama ini dia yang membantu kami membiayai semuanya. Sebenarnya kami juga malu, malah membebankan tanggung jawab di pundaknya, tapi mau bagaimana lagi …” ucap ibu Santi dengan mata berkaca-kaca.
Bima hanya menganggukan kepala pada Aldo yang langsung bisa menangkap apa maksudnya.
“Baik kalau begitu. Kami sempat melihat-lihat sekitar sini tadi dan letaknya jauh dari kota. Untuk itu kami akan memberikan sedikit uang untuk keperluan keluarga di sini sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan, khususnya dari Pak Bima Sanjaya yang merupakan CEO perusahaan, untuk memberikan kelayakan pada keluarga karyawannya.”
Kedua orang tua Santi sampai duduk berlutut di kaki Bima begitu melihat sebuah amplop tebal dengan uang ratusan ribu di dalamnya. Bima langsung berdiri dan meminta kedua orang tua Santi untuk bangun.
“Jangan sungkan seperti itu. Saya jadi tidak enak sendiri!” kata Bima.
“Terima kasih!! Kami benar-benar ucapkan terima kasih pada Anda!! Benar-benar tidak menyangka Santi bisa punya bos yang begitu baik seperti ini.”
“Sama-sama!!”
Sementara di lain sisi, Santi tengah berlinang air mata karena merasa terharu dengan apa yang dilakukan Bima untuk keluarganya. Dalam hati dia sudah bertekad untuk mengabdikan hidupnya pada Bima yang sudah dengan sukarela membantu hidup keluarga yang begitu dicintainya itu.
Setelah merasa cukup, mereka kembali ke kota meskipun harus ada drama tangis haru yang pecah karena harus berpisah kembali dengan keluarganya. Bahkan sepanjang perjalanan ke kota, Santi masih saja menangis. Tapi, tentu saja Santi diharuskan mandi lebih dulu sebelum kembali ke kota.
Mana mungkin Bima mau satu mobil dengan Santi yang bercampur lumpur akibat bersama kerbaunya tadi. Dan beruntungnya Aldo memiliki stok baju di mobil meskipun sebenarnya itu bukan untuk Santi, melainkan wanita pujaannya.
“Hapus air matamu itu!!” kata Bima.
“Habisnya aku sedih harus berpisah lagi sama mereka. Baru juga sebentar bertemu, tapi udah harus berpisah lagi.”
“Kamu mau balik lagi? Hah?”
“Ahhh … baiklah! Aku nggak akan menangis lagi!”
“Gadis pintar!!” kata Bima karena Santi langsung paham apa maksud perkataannya.
“Makasih ya, Pak! Udah mau bantuin keluargaku! Pasti Pak Bima sangat disegani oleh karyawan kantor karena sampai memperhatikan keluarga karyawannya juga,” puji Santi.
Dalam hati Aldo tertawa mendengar Santi mengatakan hal tersebut. Bagaimana bisa ada gadis sepolos itu. Mana mungkin seorang Bima rela membuang-buang waktu liburnya hanya untuk mengurusi hal yang tidak menguntungkan baginya.
“Soal hal ini, kamu jangan bilang pada siapapun. Cukup kamu aja yang tahu, karena kebijakan perusahaan pada tiap karyawannya itu beda-beda. Tidak semuanya disamaratakan. Kamu mengerti??”
“Iya, Pak. Aku ngerti!!”
“Dan satu hal lagi, mulai besok kamu tinggal di apartemen milikku.”
“Hah?? Maksudnya kita tinggal serumah gitu, Pak??”
“Jangan GR kamu!! Aku hanya minta kamu buat menempati apartemenku yang kebetulan kosong. Letaknya juga nggak begitu jauh dari kantor. Kamu bisa berjalan kaki menuju ke kantor,” kata Bima.
Aldo sampai merasakan sakit pada perutnya karena sejak tadi menahan tawa. Interaksi antara Santu yang polos dengan Bima yang super cuek itu benar-benar menguras emosinya.
“Aku pikir Pak Bima mau minta buat tinggal bareng,” kata Santi.
“Kamu sengaja mancing-mancing aku??” tanya Bima sambil menarik dagu Santi.
Siapa sangka Santi malah dengan beraninya mengecup bibir Bima sehingga membuat wajah Bima memerah karena terkejut.
“Hah, aku mungkin sudah gila sampai melakukan ini,” Bima bergerutu menghadapi kegilaan dirinya yang tidak seperti biasa.