Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pengorbanan

Untungnya Kak Anti, yang selalu mengerti dan menjadi panutan bagiku, orang yang paling pengertian dan peka, meski belum melihat ekspresi wajahku, ia seakan sudah mengetahui apa yang kurasakan.

Saat ini, Kak Anti mengelus punggungku dengan tangannya yang melingkar di lenganku. Di seberang kami, Mbak Lala memandangi kami, mata sempit namun tanpa protes atau komentar apa pun. 

"Rina sudah koma selama 2 hari ini, Lex. Sebenarnya dia bisa sembuh secepatnya, asalkan mendapatkan donor ginjal sesegera mungkin," jelas Mbak Lala tanpa menatapku.

Kemudian, aku berkata dengan suara bergetar, "Jadi kalian hanya bisa diam di sini menunggu Rina menghembuskan nafas terakhir? Sungguh tega sekali kalian!"

Mereka terdiam, bagai anak yang tercemar oleh cemooh orang tuanya. 

"Dasar tak punya hati, kalian," sambungku dengan air mata yang mulai menetes. Mbak Lala menyeka air matanya, lalu menjelaskan,

"Dek, kita sudah berusaha mencari donor ginjal untuk Rina, tapi hasilnya nihil. Mencari donor ginjal bukanlah hal yang mudah, harus memenuhi beberapa syarat. Dan sejujurnya, kami berharap kamu lah yang bisa melakukan itu." Tampak jelas ekspresi harap di wajah Mbak Lala, ketika dia akhirnya menatapku langsung.

Mba Lala kini dia menatap ku dengan mata memerah karena Tangisannya, padahal semenit yang lalu tidak ada air mata, benar wanita sangat misterius bagiku, dia mampu meluluhkan hatiku yang tadinya bergejolak kini berubah berganti sejuk.

"Terus, tunggu apa lagi, ayo!" ucapku tanpa berpikir panjang. 

Saat Mba Lala berdiri dan hendak kuturuti langkahnya, tiba-tiba...

"Aku nggak setuju!" seru Kak Anti mendadak.

"Aku nggak setuju kalau adekku harus mendonorkan ginjalnya," tambahnya. 

"Dek, Rina itu siapa? Kenapa kamu mau melakukan itu? Dia bukan keluarga kita. Kamu jangan mau dibodohi oleh wanita-wanita perek di sekitarmu itu. Mereka hanya memanfaatkan dirimu semata!" Kak Anti meneruskan, tatapannya semakin tajam menghujam ke arahku. 

"Kak..." panggilku, berusaha menenangkan hatinya yang sedang emosi. 

"Diam! Pikirkan matang-matang kembali, Dek. Resiko pasca donor ginjal pasti akan mempengaruhi kesehatanmu. Tidak menutup kemungkinan kamu nggak akan bisa memiliki tubuh yang fit seperti sebelumnya," jelas Kak Anti, kali ini suaranya sedikit merendah, namun isi hatinya tetap kencang melawan keputusanku.

Memang benar apa yang dikatakan kakakku saat ini, kesehatanku setelah pasca donor atau transplantasi ginjal memang tak bisa seaktif sebelumnya. Namun entah mengapa, hatiku sangat ingin membantu Rina, walaupun dia bukan siapa-siapa bagiku dan malah adalah wanita pertama yang pernah membuat hatiku terluka. 

Sejenak, aku memperhatikan wanita-wanita di depanku yang tak bisa berkata-kata. Tapi sorot mata mereka penuh harapan, seolah berharap banyak dariku. Sementara itu, kak Anti hanya menatapku dengan pandangan sinis. Aku menghela nafas, lalu berkata dengan tegas,

"Aku siap menanggung semua resikonya, Kak. Dan aku mohon Kakak minta maaf ke teman-temanku dan tarik kata-kata hinaan tadi."

Akhirnya, hati dan omonganku sejalan. Kak Anti tampak terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu, aku ikhlas. Saya minta maaf kepada kalian semua." 

Ia pun segera pergi meninggalkan kami. Namun tiba-tiba, Mba Lala memanggilnya, membuat Kak Anti terhenti langkahnya tanpa menoleh.

"Mbak, jangan pergi. Kita di sini bukan sekedar teman atau rekan, tapi Alex sudah kami anggap sebagai keluarga kami. Tetaplah di sini untuk mendukung pilihannya. Dia pasti butuh dukungan dari kakaknya," ucap Mbak Lala dengan mata berkaca-kaca.

Ketika Kak Anti berbalik, air mata sudah mengalir deras di pipinya. Hatiku seperti terpanggil untuk segera memeluknya. Aku langsung berlari ke arahnya dan memeluk erat tubuhnya. 

Mbak Lala, Pingki, Pingka, dan Muti pun ikut memeluk kami berdua. Perasaan campur aduk kala itu—bahagia, haru, terenyuh, namun di sisi lain tubuhku seakan melayang karena merasakan kelembutan dada-dada wanita yang memelukku.

Jujur saja, aku merasakan 'rudal'ku mulai bereaksi sedikit demi sedikit. 

"Anjir, bisa-bisanya aku tegang dalam keadaan haru seperti ini," batinku menghardik diri sendiri. 

Setelah acara berpelukan yang mengharukan itu, perasaanku menjadi lebih lega. Meski 'rudal'ku masih belum mereda, yang terpenting bagiku saat ini adalah keselamatan Rina.

Setelah berada di sebuah ruangan operasi, rasa ngilu menyergapku ketika beberapa jarum suntik menembus kulitku. Namun, tak lama kemudian tubuhku mati rasa total, tak mampu bergerak sedikit pun—kecuali mataku yang tak bisa tertutup lantaran rasa cemas melanda.

Lima petugas kesehatan mengelilingiku, dua di antaranya wanita dan tiga pria. Sepertinya mereka tak menyadari kalau mataku masih setengah terbuka, meski tampak sayu, namun aku masih bisa melihat dengan jelas. Terlebih, di atas dadaku terpasang lampu yang menyala terang. Pandanganku tertuju pada bagian tubuhku yang mulai dibelah oleh petugas kesehatan. Kulihat daging kenyal tersembul keluar dari belahan yang baru saja mereka bedah. Hati kecilku merasa geli, mual, dan takut sekaligus. Sekarang, rasanya aku ingin melarikan diri dari sini dan mengakhiri semua penderitaan ini. Namun sayangnya, tubuhku tak mampu bergerak sama sekali, terpenjara dalam kebisuan dan ketidakberdayaan yang melanda.

"Anjing! Sadis juga mereka!" Batinku.

Wajahnya terlihat santai tapi tetap serius. Setelah mereka mengangkat daging kenyal itu, aku melihat beberapa tangan merogoh di dalam tubuhku. Terakhir yang kuingat sebelum mataku benar-benar tertutup adalah mereka melakukan jahitan berulang kali sebanyak di tiga lapisan kulitku. 

Ketika aku akhirnya sadar 24 jam kemudian, suasana sudah berubah dan tidak menyeramkan seperti sebelumnya. Di ruangan ini, aku ditemani oleh Mba Lala dan Kak Anti yang sepertinya sudah lama menunggu kesadaran kembali padaku.

Wajah mereka tampak lelah dan menahan kantuk, menggambarkan betapa gigih mereka menemani aku sepanjang waktu.

"Ka...kak... Mbaa," ucapku dengan suara serak, putus-putus.

Rasa perih mulai kembali terasa di bagian atas perutku. 

"Syukur kamu udah siuman, Dek," ucap Kak Anti dengan semangat, meskipun matanya terlihat sembap. 

Aku mencoba menggerakkan tubuhku untuk duduk, namun rasa sakit yang menggelayut di perutku membuatku menyadari bahwa saat ini mungkin bukan waktu yang tepat untuk melakukannya.

"Akkhhh..." pekikku dengan tertahan, merasa kesakitan yang menusuk-nusuk.

"Jangan bergerak dulu. Luka jahitanmu masih basah dan kamu perlu istirahat selama tiga hari. Itupun jika lukanya kering," jelas Mbak Lala dengan nada penuh kekhawatiran. 

"Dek, kamu makan dulu, ya. Setelah itu minum obat penahan nyeri yang diberikan petugas," lanjut Kak Anti sambil tersenyum lembut padaku. 

Aku mulai makan dengan disuapi oleh Kak Anti. Sendokan pertama masih aman, namun ketika sendokan ketiga, aku kembali merasakan sakit yang amat sangat. Sakitnya terasa lebih parah dibandingkan waktu aku melawan 150 musuhku.

"Udah, Kak... Sakittt..." ucapku sembari memalingkan wajah, sebagai tanda penolakan.

Setelah makan, aku diberikan obat yang jumlahnya banyak serta berwarna-warni, bagaikan pelangi di langit. Kembali, kantuk menyerangku begitu habis meminum obat tersebut

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel