Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 6

Kami benar-benar pulang sore. Pukul lima. Mama tidak khawatir seperti biasanya, dan papa hanya tersenyum saat aku memukul perutnya. Aku lelah. Lelah karena menghadapi sikap menyebalkan Alif dan kegiatan tidak jelasnya.

Tugas rumah yang kami janjikan untuk diselesaikan, cuma selesai dalam waktu singkat. Mungkin setengah jam. Tahu-tahu setelah itu, mereka malah kembali membawaku mutar-mutar tidak jelas. Walaupun begitu, aku tidak bisa kabur dan marah-marah. Sesuatu dalam diriku tidak bisa melakukannya seperti biasa.

Entah karena apa.

Setelah membersihkan diri, aku langsung tiduran di atas kasur, ambil jatah libur dari pekerjaan dapur. Selain lelah, aku menghindari segala macam pertanyaan mama dan papa, juga olok-olokan dari kakak. Telingaku pasti terus berdengung sepanjang makan malam.

Kendati demikian, aku tidak bisa menghindari semuanya. Saat makan malam, meja makan penuh dengan berbagai pertanyaan tidak penting dari papa dan kakak, sementara mama hanya tersenyum, diam-diam mendengarkan dengan saksama. Dan aku ... rasanya ingin berubah jadi kursi saja.

“Bukannya baik, ya? Papa percaya, kok, pada mereka.” Santai sekali papa mengatakannya, tidak menyadari wajahku yang memerah. Padahal aku sudah ingin lari ke kamar demi menghindari percakapan tidak penting ini.

“Kana. Pertemanan itu bukan cuma sesama cewek. Papa dan Mama kamu dulu berteman. Dan ... hey .... Lihat sekarang.” ungkap papa. Seketika meja makan menjadi hening dari keributan mengolok-olokku, berganti dengan dengkusan, dan mama hanya tersenyum malu-malu, memperhatikan sembari menyuap makanan ke dalam mulutnya, dan papa memukul lenganku dengan sendok sayur sampai aku memelotot. Papa melanjutkan, “Mereka, misalnya. Papa tahu kalau mereka anak yang baik. Penglihatan Papa ini tajam, loh ....” Sangat tajam, sampai-sampai aku ingin mengasahnya dengan kulit jeruk.

Aku mendengkus. Aku tidak bisa mengelak. Alif dan Azul memang baik. Tidak mengolok-olokku, suka mentraktir—walau memaksa—juga ... membelaku setiap para cewek bertingkah.

“Lihat sekarang,” desak papa, membuatku mendongak padanya. “Biasanya saat pulang dari tugas kelompok, kamu hanya diam, padahal sudah terjadi sesuatu. Tapi hari ini, kamu marah. Kenapa marah?” Papa menyeringai sementara aku menggigit sendok karena kesal dan ... tengah ....

Aku berpikir sejenak, kemudian membuka mulut untuk menjawab, tetapi papa menyela, “Karena kalian sudah dekat.” Aku hendak memprotes, tetapi papa kembali menyela, “Lho? Iya, dong. Memangnya kamu berani marah ke teman sekelas? Nggak? Iya? Kenapa? Kamu pernah berkata terang-terangan pada dua cowok itu? Curhat, misalnya?”

Kali ini aku benar-benar terdiam. Apa ... aku pernah curhat pada mereka?

Setelah perbincangan itu, aku memutuskan untuk tidak belajar seperti biasanya. Pekerjaan Rumah sudah kukerjakan sore tadi sebelum pulang di kafe papanya Alif. Aku memang memutuskan untuk akrab dengan mereka, tetapi ... apa aku bisa? Aku belum pernah memikirkan pasal hal ini sebelumnya. Maksudku, berteman dengan cowok itu mustahil. Lebih-lebih lagi Alif, cowok populer seangkatan. Para cewek pasti semakin membenciku, dan kehidupan sekolahku akan berjalan tidak sesuai harapan.

Aku hanya ... ingin bersekolah dengan normal. Yah ... sedikit olok-olokan tidak apa. Namun, Alif dan Azul malah menambahnya.

Selagi memikirkan itu semua, aku dikejutkan oleh dering ponsel. Bisa saja aku mengabaikannya, mengira pesan tidak penting dari orang iseng. Namun, suara itu berdering-dering. Saat kuperiksa, aku hampir membanting ponsel karena terkejut.

Itu pesan grup.

Bagaimana bisa?

Siapa yang memberi tahu nomor teleponku pada mereka?

Aku menghela napas. Tenang .... Itu hanya Alif dan Azul, setidaknya bukan grup kelas yang anggotanya banyak. Bisa saja mereka tahu nomorku dari Bu Yanti.

Aku tidak bisa membaca pesannya satu persatu. Alif dan Azul mengirim banyak sekali pesan sampai aku harus mematikan resonansi. Mereka hanya berdua, tetapi kenapa percakapannya lancar sekali, tanpa jeda?

Jariku mencoba menulis sesuatu, harap-harap percakapan tidak jelas mereka berhenti.

'Oh .... Kana ...! Welcome!' Alif menulis kalimat tersebut sebanyak tujuh kali bersama stiker kelap-kelip. Kenapa stikernya lucu sekali sampai-sampai aku hampir menyimpannya di koleksi stikerku?

'Kana! Aku kira kamu tidur karena dendam pada Alif.' Aku mengernyit membaca pesan dari Azul.

'Aku? Kenapa?' Alif sama bingungnya denganku. Kemudian stiker tanda tanya bertebaran sebanyak selusin. Apa itu kebiasaan Alif saat mengirim pesan?

'Dasar! Malah sembunyi tangan. Kamu tahu apa yang kamu lakukan seharian ini? Minta maaf pada Kana!'

Aku hanya memperhatikan, tanpa niat sedikitpun untuk membalasnya.

Belum sampai lima detik setelah pesan Azul terkirim, aku dikejutkan oleh foto Alif di layar ponsel.

Cowok itu mengirim permintaan panggilan suara!

Lantas aku menggeser tanda merah.

Tidak. Jangan!

'Kana nggak angkat teleponku.' Alif mengadu, kembali mengirim stiker banjir air mata.

'Idiot! Minta maafnya bukan begitu! Aku juga bakalan ogah mengangkat telepon darimu.'

Alif sedang mengetik. 'Padahal aku mau yang lebih tulus. Baiklah kalau begitu.’ Jeda sesaat. ‘Kana ... aku minta maaf soal hari ini. Tapi aku nggak bakalan kapok untuk mengajak kamu berakhir pekan. Kalau bisa, sih, Azul nggak ikut.'

Azul langsung membalas, 'Bodoh banget! Kamu malah membuatnya jijik!'

'Kok, bisa?'

Tanpa sadar aku terkekeh, lantas menggigit bibir. Yah .... Tidak buruk juga satu grup dengan mereka.

Aku mulai mengetik. Ada hal yang perlu kupastikan agar aku bisa tidur dengan tenang. 'Kalian dapat nomorku dari mana? Cuma kalian, 'kan? Nggak ada orang lain?'

Mereka berdua sedang mengetik. Aku menunggu. Akan buruk jika ada orang lain yang tahu nomor teleponku. Aku tidak bisa membayangkan jika Maliqa tahu. Kehidupan sekolahku yang buruk pasti naik ke level tertinggi.

'Cuma kami, kok.' Azul menjawab, membuatku menghela napas lega.

Selang dua detik kemudian Alif membalas, 'Tadinya cuma aku. Tapi Azul malah ikut-ikutan mencatat nomormu.'

Alisku terangkat. 'Jadi, siapa yang memberitahu kalian?'

Jika itu bukan Azul yang meminta nomor teleponku, jelas asalnya bukan dari Bu Yanti. Atau ... Alif yang memang ngotot memintanya ke Bu Yanti?

Namun, saat Alif menjawab, aku menahan diri untuk tidak turun ke ruang keluarga dan marah-marah. 'Dari papamu. Dia baik banget. Katanya, aku bisa ajak kamu jalan-jalan kapan saja.'

Kata, "kapan saja" sudah membuatku nyaris keluar dari pesan grup. Hari ini saja aku tidak tahan menghadapi semua yang dilakukan dua cowok itu, apalagi dilanjut hari-hari lainnya.

Selain kesal pada Alif dan Azul, yang lebih membuatku tidak bisa terus menggerus dalam hati ialah papaku. Bisa-bisanya ia memberikan nomor ponsel putrinya pada cowok yang baru ditemuinya hari ini. Biasanya papa tidak begitu. Mengenai penglihatan tajam, aku sama sekali tak memercayainya. Alif dan Azul memang baik. Namun, menilik sifatku yang terbalik dengan mereka, pasti akan sulit bagiku untuk menyesuaikan diri.

Tunggu.

untuk apa aku menyesuaikan diri?!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel