Bagian 5
Azul sungguhan masuk klub Desain dan disambut dengan senang hati oleh para kakak kelas. Dia menjadi selebriti dalam beberapa menit, lantas menjadi gembel saat Pak Aziz menyuruhnya menggambar logo di kertas. Dia tak ada bedanya denganku.
Kami sama-sama tidak bisa menggambar.
Jadi, mau tak mau aku menerima tawaran Alif. Begitu juga dengan Azul. Di setiap ada kesempatan di dalam kelas, Alif mengajari kami caranya menggambar. Aku kira hanya seeet ... seeet ... tetapi ternyata banyak teknik agar hasilnya tidak menyakiti mata.
Beberapa hari sejak aku memutuskan untuk mencoba akrab dengan mereka, kurasa ini tidak terlalu buruk. Para cewek memang semakin gencar menyebar gosip tak mengenakkan. Namun, toh, aku selalu tidak peduli akan hal itu.
Alif semakin menyebalkan saat aku mulai meminjamkannya buku catatan—karena ia sempat absen dua minggu di awal tahun ajaran baru. Dia bahkan memintaku untuk menjadi guru Matematikanya. Inginnya aku menolak, tetapi setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya. Mengajar sembari belajar. Bu Yanti bilang, itu adalah teknik yang ampuh untuk meningkatkan kerja otak. Ya ... imbalan karena dia mengajariku menggambar—walau itu paksaan Alif sendiri.
Setelah keputusanku itu, Alif tiba-tiba memiliki rencana gila. Besok akhir pekan, dan dia dengan sekonyong-konyongnya memutuskan untuk belajar bersama di kafe papanya. Aku menolak dengan tegas. Belum pernah aku pergi berakhir pekan bersama teman sekolah, lebih-lebih lagi cowok, dan ... dia adalah Alif. Seketika instingku mengatakan, bahwa akan terjadi hal-hal tidak menyenangkan jika aku benar-benar pergi bersamanya.
“Aku yang traktir. Kita bukan hura-hura, loh .... Tapi belajar. PR.” Alif memberi tahuku untuk ke sekian kalinya.
Lantas aku menjawab, “Kan, ada hari lain. Jangan di akhir pekan.”
“Usiaku lima belas, besok,” kata Alif, padahal aku tidak peduli akan hal itu.
“Ulang tahunmu, kan, sudah lewat berbulan-bulan lalu.” Azul menyanggah, membuat Alif berdecak sebal.
“Pokoknya, aku sibuk!” Aku menegaskan.
Namun, saat aku ditugaskan mama menyiram tanaman sayur di belakang rumah sambil menemani nenek yang duduk memperhatikan, mama dengan suara keras seolah-olah tak percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya di depan rumah, memberi tahuku, “Kana. Dua cowok menunggu kamu di depan.”
Aku memelotot, hampir menjatuhkan slang air dengan dramatis, apalagi saat kakak datang dan mengolok-olokku. “Cowok, loh .... Cowok” Tepuk tangannya gagal karena aku berhasil menyemprotkan air padanya. Masa bodoh. Toh, dia belum mandi.
Rasa kesalku muncul semenjak mendengar Alif dan Azul ada di sini, dan semakin menumpuk kala melihat mereka berdua duduk mengobrol asyik di teras rumah. Aku tidak habis pikir. Kenapa mereka sampai menjemputku di pagi hari yang tenang ini padahal aku sudah menolaknya berkali-kali kemarin? Juga ... bagaimana mereka tahu rumahku?!
“Yo!” Azul menyapa di belakang Alif, terhalang kelap-kelip dan warna kuning di kepala Alif saat aku memeriksa mereka dari pintu tanpa perlu keluar. Ada yang berbeda dari Azul hari ini. Dia tidak terlihat seperti cowok yang biasa kulihat. Mungkin dia kehabisan pomade sampai rambutnya nyaris menutupi mata. Sementara Alif, tidak ada bedanya. Hanya kaus putih polos dengan logo brand terkenal di dada kirinya, jelas menunjukkan bahwa dia orang kaya. Rasa ingin mengusir, ada, tetapi aku tidak bisa melakukannya.
Menghela napas, aku bertanya, “Bagaimana kalian tahu rumahku?”
Alif menunjuk Azul di belakangnya tanpa perlu menoleh. “Memanfaatkan jabatan.” Aku mengernyit mendengarnya. Tahu aku tak mengerti, Alif menambahkan, “Ketua kelas. Bu Yanti, kan, baik. Toh, kita nggak bohong kalau mau mengerjakan tugas.”
Mengerjakan tugas hanyalah alasan agar aku bisa ikut mereka bersenang-senang. Aku yakin sekali. Kalaupun aku sudah menolaknya, jika mereka sudah duduk di kursi teras, aku tidak bisa mengurung diri di kamar, berpura-pura sakit perut. Mama menjadi senang sekarang, padahal mama khawatir setiap kali ada teman sekelas yang mendatangiku di rumah. Teh manis, gorengan, dan kue sudah tersaji di depan mereka. Alif bertingkah manis sekali sampai-sampai warna kuning yang ada pada mama terlihat menyilaukan.
Papa berpura-pura menunggu temannya di depan hanya untuk melihat Alif dan Azul. Berpura-pura terkejut saat melihat dua cowok itu, dan berakhir mengobrol sesuatu selagi aku bersiap-siap, kemudian masuk setelah menepuk-nepuk bahuku sembari tersenyum. Beruntungnya kakak tidak bertingkah konyol seperti mama dan papa. Dia sedang menemani nenek di belakang rumah.
Aku kira, Alif, yang masih di bawah umur, datang ke rumahku mengemudikan mobil, tetapi aku salah. Alif memang orang kaya. Sopirnya merupakan seorang pria paruh baya berkumis tipis. Pria itu menyapaku ramah, dan saat ia membungkuk sopan, aku dilanda rasa tak enak hati.
Azul berbisik, “Mang Adi sudah lama bekerja sebagai sopir di keluarga Alif. Makanya kamu jangan heran kalau mendapati Alif lebih akrab dengan sopirnya, alih-alih papanya.”
Aku tidak peduli dengan semua itu. Aku memutuskan untuk duduk di bangku kosong, dan Azul mengikuti. Hingga sekitar sepuluh menit kemudian, aku mengernyit lantaran mobil berhenti di parkiran taman kota. Lantas, kutatap Alif, curiga padanya. Aku yakin sekali kafe papanya tidak ada di sekitar sini. Atau ... kalaupun ada, dia pasti tidak membawaku ke sana.
“Apa?” Alif tersenyum saat aku ketahuan tengah menatapnya. “Aku, kan, belum sarapan.”
Aku tidak bisa marah karena itu. Jadi, aku mengikutinya ke kedai bubur dan menolak tawarannya. Aku sudah sarapan, tetapi aku tidak menolak tawaran minumnya.
Selagi menunggu pesanannya datang, aku merasa risi saat Alif terus menatapku. Warna kuningnya tak kunjung hilang, hampir membuat tanganku melayang pada wajah menyebalkannya. Sesaat kemudian dia berceletuk, “Kok, kamu cantik, sih?”
Aku memelotot, lantas berdiri hendak pergi saat Azul mendesis, memberi peringatan pada Alif. “Kamu membuatnya nggak nyaman. Dasar tolol!” Azul menarik tanganku untuk kembali duduk. “Eh .... Alif ini punya gangguan jiwa.”
“Aku nggak bohong, kok—”
Azul kembali mendesis, nyaris mencakar wajah Alif. “Baca situasi, Bodoh!”
Kurasa, Alif memang memiliki gangguan jiwa. Warna kuningnya tak kunjung hilang, bercampur dengan kelap-kelip sampai mataku berkedip berkali-kali karenanya. Sesaat aku berpikir, mungkin saja kilauan itu muncul karena sifatnya yang ceria. Maksudku, lihatlah suasana hatinya. Jarang sekali aku melihatnya kesal, sedih, apalagi berbohong. Bahkan saat ia marah pada Maliqa pun, warna kuning selalu muncul beberapa detik setelah perdebatannya selesai. Apalagi saat ia ... melihat ke arahku?
“Nah .... Karena waktunya masih panjang banget. Ayo kita nonton bioskop. Jalan kaki.” Alif berseru setelah keluar kedai.
Aku memelotot. Marah. Apa-apaan itu?! Dia bilang, mengerjakan tugas di taman kota. Kenapa tiba-tiba nonton?! Itu namanya hura-hura! “Tidak! Sebaiknya cepat kerjakan tugas, atau aku pulang!”
“Eh ...! Nggak bisa begitu.” Alif menghalangi jalanku, bersiap mencegahku kabur kapan saja. “Aku sudah diamanati papa kamu, loh ....”
Aku mengernyit. “Papa?”
Alif mengangguk. “Untuk menjagamu, dan membawamu pulang di sore hari.”
Ingatkan aku untuk memukul papa pulang nanti.
Kenapa papa bisa berkata seperti itu pada dua cowok yang baru dikenalnya?! Biasanya juga papa tidak memercayai siapa pun.
Dengan rasa penyesalan, lebih baik aku berpura-pura sakit perut atau memarahi Alif dan Azul di rumah. Aku tidak bisa kabur kalaupun aku mencobanya berkali-kali. Alif dan Azul bekerjasama, berjalan di antara aku yang memikirkan rencana lain. Saat aku beralasan membeli sesuatu, mereka mengikuti. Saat aku lari dengan cepat, mereka berhasil menarik tanganku. Aku seperti penjahat yang sedang dikawal dua polisi. Bahkan dengan ancaman pun, mereka tidak membiarkanku kabur.
Baiklah. Hanya menonton. Toh, aku belum pernah melakukannya. Pilihan filmnya pun lumayan.
Namun, Alif kembali melontarkan cara lain agar aku tidak pulang ke rumah. Setelah menonton, dia membawaku keliling mal. Mampir di toko buku, keliling lagi, traktir donat, keliling lagi sampai aku muak.
“Berhenti bermain-main!” geramku. Sesaat kemudian aku merasa bersalah saat melihat warna biru di sekitar kepala Alif. Dasar! Sejak kapan aku lemah dengan hal seperti itu?!
“Belum sore, loh. Kalau sudah makan siang, kita ke kafe papaku untuk mengerjakan tugas.” Alif memberi tahu, menyalurkan sugesti pada kakiku untuk menendangnya. Tahan .... Aku tidak bisa berbuat kekerasan di depan umum.
“Ayo, kita ke atas.”
Azul mengurut pangkal hidungnya kala melihatku memelotot seraya mendesis. Saat kami menaiki eskalator, cowok itu berbisik padaku. “Maaf, ya. Tapi Alif benar. Kamu harusnya bersenang-senang. Jangan melulu belajar. Nggak ada salahnya, ‘kan? Toh, gratis.”
Memang tidak ada yang salah. Namun, yang salah itu Alif ... juga diriku sendiri.
Selagi kami berjalan menuju food court, aku dihadapi masalah lain. Seolah paksaan Alif dan Azul pagi ini belum juga cukup, Janti dan Maliqa menyapa kami dengan riang. Aku bisa melihat sedikit warna merah dari kedua cewek itu, jelas menunjukkan bahwa mereka tak suka akan keberadaanku di antara Alif dan Azul. Sudah pasti, besok akan ada gosip tidak mengenakkan tentangku.
“Mau nonton bioskop, ya? Kebetulan kami juga.” Maliqa tersenyum lebar, tatapannya hanya fokus pada Alif yang mulai memunculkan warna ungu muda dan merah. Jelas sekali dia berbohong, bahkan Janti terlihat kebingungan mendengarnya. “Kita bareng saja—”
Hampir seketika itu aku memekik pelan lantaran Alif menarik lenganku, berjalan cepat menjauh dari Janti dan Maliqa. Warna merahnya membara, seolah-olah jika aku menyentuhnya tanganku bakalan terbakar. Azul di belakangku, menyempatkan diri untuk memperingati dua cewek yang masih marah.
