Bagian 3
Aku ini tipe orang yang menepati janji—janji tertentu, tepatnya. Setelah menyerahkan formulir ke Pak Aziz, pulang sekolah aku datang ke lab komputer guna mengikuti ekskul untuk pertama kalinya. Gugup menyertaiku kala melihat pintu lab yang setengah terbuka beberapa meter di depan, membuatku kepingin lari menuruni anak tangga dan duduk manis di halte. Namun, aku memberanikan diri demi mendapat nilai tambahan di rapor.
Pemuda yang memohon-mohon padaku seminggu yang lalu menyambutku, hampir meraih tanganku untuk digoyang-goyangkan dan menari seperti anak kecil, tetapi aku lebih cepat menghindarinya, mengabaikan beberapa pasang mata yang memperhatikan.
“Syukurlah kamu datang.” Pemuda itu berkata, terharu sampai suaranya bergetar. Aku berhasil untuk tidak mengernyit. “Silakan duduk di kursi depan—ah, kamu juga.”
Mengikuti arah pandang pemuda itu, aku lantas mengernyit saat mendapati Alif yang baru saja masuk. Wajah cowok itu langsung ceria bersama warna kuning yang muncul di sekitar kepalanya saat melihatku, memberi tahuku bahwa dia tidak iseng mengikutiku sampai lab komputer.
“Kana, kok, nggak bilang?” Alif langsung bertanya saat kami duduk di bagian depan, tepat menghadap papan tulis. Baru beberapa orang yang datang, dan itu dari kakak kelas. Di saat seperti ini, aku berharap semoga tidak ada lagi yang datang dari kelas sepuluh. Toh, orang yang sudah berkumpul di sini sudah memenuhi persyaratan dari sekolah.
“Selain ini, kamu ikut ekskul apa?” Alif masih bertanya, sementara tangannya sibuk menyalakan komputer.
Aku mengikuti Alif, menyalakan komputer, lalu menjawab dengan tanpa minat. “Nggak. Kalau kamu?”
“Cieee .... Kita samaan ...,” seru Alif. Rasa ingin memukul wajahnya ada, tetapi aku bisa menahan diri dengan sibuk pada komputer yang sudah menyala.
Sungguh, aku tidak suka dengan orang cerewet. Alif ini salah satunya, yang membuat hatiku dongkol hanya karena beberapa pertanyaannya. Bahkan saat aku mengabaikannya pun, cowok itu masih senang, tidak kesal seperti para cowok di kelas yang berusaha akrab denganku.
Kecerewetannya berhenti saat Pak Aziz datang dan berbicara singkat pasal pengenalan klub, padahal hanya aku saja yang—bisa dibilang—anggota baru. Aku bersyukur karena itu. Maksudku, toh jumlah anggota klub ini sudah masuk kriteria sekolah kendati kelas dua belas dalam beberapa bulan ini menjadi alumni; dan ... tentu saja aku tidak perlu khawatir dengan olok-olokan dari murid seangkatan.
Setelah pengenalan singkat, aku dihadapi kesulitan saat menatap monitor. Pak Aziz sepertinya sengaja, menyuruhku mengklik ikon apa saja pada software desain. Beliau berkata padaku sebelum keluar ruangan. “Kamu tidak perlu pengawasan. Kamu, kan, pintar.”
Ada kalanya aku bodoh, kesulitan menghadapi beberapa hal. Masalah gambar-menggambar, misalnya. Aku bahkan baru menyentuh aplikasi desain selama hidupku, lantas dilanda kepanikan saat kertas pada layar—aku tak tahu harus menyebutnya apa—menghilang. Aku berbuat kesalahan di hari pertama, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Beruntungnya Alif menyadari masalahku, dan sepertinya, aku memang tidak harus berharap padanya. Alih-alih langsung membantuku, Alif justru tersenyum sambil menatapku. Aku yang risi, berdecak, tanpa sadar mengklik ikon—entah apa—sampai kursornya menghilang.
Alif terkekeh padahal aku super panik. “Kamu, kok, lucu.”
Aku berusaha tak menghiraukannya, kemudian bernapas lega saat kursornya sudah kembali.
Alif menggeser kursinya agar lebih dekat denganku. “Sini, biar aku bantu.” Tangannya menyentuh tanganku yang memegang mouse. Lantas, aku menepisnya keras sampai mouse-nya terlempar dan menimbulkan bunyi keras.
Aku langsung meminta maaf pada kakak kelas yang perhatiannya teralihkan. Alif di sebelahku justru santai-santai saja.
“Aku baik, loh .... Nih. Coba kamu klik ini.” Alif menunjuk ikon di monitor, dan aku malah terdiam. “Ini, tuh, namanya—”
“Aku bisa sendiri,” ketusku.
Terdiam beberapa saat, sempat aku mengira Alif menarik tawarannya, tetapi cowok itu justru terkekeh. “Beberapa menit yang lalu kamu panik. 'Loh ... kok, hilang? Kenapa? Apa bakalan meledak?'“ Alif meniru ekspresiku dengan berlebihan. Malu dan kesal membuat wajahku memanas.
“Aku ini jago dalam hal desain-mendesain.” Alif menyombongkan diri, sementara aku berpura-pura sibuk dengan kotak warna yang ada dalam aplikasi. “Aku bisa, kok, mengajari kamu.”
Entah kenapa aku punya firasat buruk saat melihat deretan giginya kala ia tersenyum. Alif berkata, “Aku akan menjadi gurumu. Tiap hari. Gratis. Mau, 'kan?”
Aku sudah menolaknya dengan tegas, tetapi Alif tidak menyerah untuk mendekatiku. Dia semakin cerewet juga menyebalkan, mengabaikan rasa kesalku dan tatapan para cewek. Janti dan Maliqa yang melihat kami, warna merah di sekitar kepala mereka semakin membara setiap kali melihatku.
Seolah sifat super menyebalkan Alif belum ada apa-apanya, aku dibuat kesal saat Azul, si Ketua Kelas, pindah tempat duduk di belakang Alif. Dia juga memberi alasan, dan aku bisa melihat warna ungu di sekitar kepalanya. “Farhan ingin tukar tempat, Farrel juga ingin duduk denganku. Yah ... sekalian biar dekat dengan kalian.”
Farrel, cowok di belakangku menatap Azul datar. Jelas bahwa dia tidak menginginkan cowok itu duduk di sebelahnya. Farrel menatapku dan berkata, “Kamu tahu, 'kan? Dia berbohong. Dia itu sebenarnya—” Tangan Azul menutup mulut Farrel, tetapi Farrel dengan mudah melepasnya seperti membuang sebutir nasi di sudut bibirnya. Farrel melanjutkan, “Tanpa diberitahu pun, Kana tetap tahu.”
Aku tidak tahu.
Kendati Azul bersikeras untuk akrab denganku, dia tetaplah orang yang percaya akan gosip tentangku. Azul terlihat merasa bersalah, mengira aku benar-benar tahu apa yang ia pikirkan.
“Ya ... begitulah.”−Azul menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal−”Cuma kamu yang susah didekati. Seharusnya aku pindah tempat duduk dari kemarin-kemarin, tapi baru kesampaian sekarang.” Dia melirik Alif yang berusaha memahami pembicaraan.
Aku tahu Azul berusaha mendekatiku sejak tahun ajaran baru dimulai, tetapi aku menolaknya. Sebagai ketua kelas, sudah tugasnya untuk akrab dengan teman sekelas, lebih-lebih lagi memudahkannya untuk marah-marah dan membuat kelas terkondisikan. Bagiku, dia sama menyebalkannya dengan para cewek yang merisakku.
“Kana susah didekati?” Alif berceletuk. Aku menahan diri untuk tidak mengernyit saat tatapannya mengarah padaku, seolah-olah dia tak percaya akan ucapan Azul barusan. “Kok, aku bisa mendekatinya semudah ini. Jangan-jangan, Kana alergi dengan orang jelek.”
Azul mendengkus keras, tidak menanggapi Alif yang masih mengejeknya.
Sejak kapan aku mudah didekati? Aku bahkan masih bersikap ketus padanya. Dianya saja yang bebal dengan sikap ketusku.
Bahkan lebih buruknya lagi, Azul mengikuti jejak Alif. Dia sudah tidak lagi mundur saat aku memberi tatapan ketus. Berkali-kali dia mencolek bahuku, dan aku berusaha tak menghiraukannya.
Para cewek menjadi gempar. Desas-desus tentangku menyebar sampai kelas ujung, semakin menyulitkanku keluar kelas lantaran telingaku panas mendengarnya. Apalagi saat Azul tahu-tahu menyarankan pada Pak Jaya untuk membentuk kelompok bersamaku. Tiga orang bersama Alif, sampai Maliqa protes dan mengejekku terang-terangan di hadapan Pak Jaya.
“Tidak bisa begitu, dong, Pak. Seharusnya Bapak tahu kenapa dia duduk di barisan laki-laki. Pak, dia itu modus—”
“Siapa yang modus? Heh, siapa?” Alif membalas seruan Maliqa, sementara Pak Jaya mengurut keningnya, berusaha sabar.
Aku yang menjadi objek perdebatan mereka, hanya bisa diam, tidak bisa membalas atau menghentikannya. Sungguh, aku tidak suka dengan sikap Alif yang sok pahlawan di setiap para cewek terang-terangan merisakku. Dia semakin menarikku dalam masalah.
Kacau.
Kehidupan sekolahku dari dulu memang kacau, dan ... di tahun ini naik ke level tertinggi hanya karena seorang cowok yang bebal dan tidak tahu malu.
Namun, aku tidak punya pilihan. Mau tak mau aku harus satu kelompok dengan Alif dan Azul, mengabaikan olok-olokan dari para cewek seperti biasanya.
Satu hal yang baru kusadari setelah perdebatan Alif dan para cewek mereda berkat Pak Jaya: aku bisa mendapat nilai praktik dengan adil.
Setidaknya untuk sekarang. Aku kembali dihadapi rasa kesal karena Alif memiliki sifat kekanak-kanakan. Azul juga berubah seperti Alif. Sifat tegas Ketua Kelasnya hilang dalam sekejap.
“Jijik, 'kan?” Farrel berkata di tengah perdebatan kecil Alif dan Azul, membuatku menoleh padanya. “Mereka satu SMP. Sahabatan. Istilahnya saja yang sahabat, tapi nyatanya kayak musuh yang masih anak-anak.”
Aku setuju dengan Farrel. Perdebatan tidak penting Alif dan Azul membuatku mengernyit. Sejak sepuluh menit yang lalu, mereka masih beradu lidah pasal tempat tugas kelompok, kemudian mengarah pada kelakuan buruk mereka. Jika perdebatan itu diteruskan, akan banyak sekali rahasia yang keluar.
“Pilih salah satu tempat yang punya bahan-bahan praktik.” Pada akhirnya aku membuka suara, berhasil menghentikan ocehan Alif dan Azul.
Entah kenapa setiap kali melihat Alif yang tersenyum lebar, aku menjadi curiga padanya. “Baik. Rumahku ada bahan-bahannya.”
“Azul?” Aku melirik Azul, menunggu dia merekomendasikan tempat lain, tetapi dia hanya tersenyum seperti orang gila. Beberapa menit lalu dia menentang pilihan Alif, dan sekarang dia .... Aku tahu maksud mereka berdebat seperti orang tolol. Mereka memancingku untuk berbicara.
Jadi, di sinilah aku. Berdiri di gerbang rumah mewah bersama dua cowok yang berdebat masalah ongkos ojek, dan berakhir Alif hanya membayar bagianku saja. Bisa-bisanya orang kaya seperti dia pulang-pergi sekolah naik angkot dan ojek alih-alih mobil pribadi.
Rumah Alif terlihat sama persis seperti rumah-rumah di sekitarnya. Kompleks elite. Mama bilang, yang tinggal di kompleks hanya untuk orang-orang berduit tebal, lebih-lebih lagi saat aku memasukinya disuguhi pemandangan kebun kecil yang tertata rapi dengan kolam penuh ikan mas di tengahnya. Alif benar. Aku melihat bunga sepatu yang tumbuh subur di dekat tembok pagar. Satu bahan praktik sudah terdeteksi, dan aku yakin bahan lainnya nongkrong di kulkas menunggu dijemput.
“Alif ini orang kaya. Tapi pelitnya minta ampun.” Azul berbisik padaku sementara Alif memimpin jalan, membuka pintu, lalu memberi salam. Tak kuhiraukan bisikan laknatnya, aku berjalan lebih dulu saat Alif melambaikan tangan.
Rumah Alif terlihat besar dan mewah, bahkan interior di dalamnya mampu membuat mama terkagum-kagum sampai membuat papa ketakutan. Rumah ini jelas milik orang kaya. Pengusaha, biar kutebak. Benar kata Azul, hanya saja Alif tidak pelit. Berbagai camilan dan minuman bahkan tersaji di depan kami. Alif sendiri yang membawanya tanpa perlu bantuan.
“Santai saja. Toh, nggak ada siapa-siapa di rumah ini, dan waktunya masih banyak, 'kan? Baru jam setengah tiga.” Alif sudah berganti pakaian santai, duduk di sebelahku, lalu mencomot keripik kentang.
Aku menoleh pada Alif, bergeser menjauh saat tahu kami duduk saling menempel. “Nggak ada siapa-siapa?” Tanpa sadar aku bertanya lantaran heran mendapati rumah besar tanpa orang dewasa di dalamnya.
“Orang tuaku kerja. Malam juga pulang,” jawab Alif santai.
Aku hampir saja bertanya mengenai asisten rumah tangga, sampai aku menyadari kenapa aku ingin tahu akan hal semacam itu pada Alif.
Yang kami lakukan selama satu setengah jam ialah bersantai-santai di teras, menghabiskan banyak camilan, tetapi aku sama sekali tak menikmatinya. Walau aku merasa tidak enak hati telah mencerna banyak makanan selagi tuan dan nyonya rumah bekerja, aku berusaha menghargai tawaran Alif tanpa banyak bertanya seperti Azul. Cowok itu juga menyempatkan diri untuk tidur selama beberapa menit setelah kenyang, sampai Alif menepuk pantatnya, menyuruhnya untuk segera mengerjakan tugas.
Rasa ingin segera pulang tentu saja ada lantaran aku kembali dihadapi oleh sikap kekanakan dua cowok yang sudah remaja ini. Mereka main-main, tanpa menghiraukan kekhawatiranku akan blender yang rusak. Aku tahu Alif itu orang kaya. Kehilangan satu blender pun tidak masalah. Dia bisa membelinya lagi tanpa khawatir dompetnya kering.
“Sebaiknya jangan pakai blender.” Aku menekan tombol demi mematikan mesin, berhasil mengalihkan perhatian Alif dan Azul. “Maksudku. Lihat. Bunga sepatunya jadi bubur alih-alih cairan.”
Sesaat kemudian mereka berdua menyadari kesalahannya. Alif berusaha mencari cara lain untuk memisahkan ampas bunga sepatu lantaran bunga di depan rumah sudah gundul.
Selagi Alif mencari kain tipis, Azul mencuri-curi pandang padaku, memunculkan kecurigaan yang membuatku berpura-pura sibuk dengan bubur bunga sepatu.
“Kamu pasti kesal, ya?” Azul berucap, tetapi aku enggan untuk menjawabnya. “Kami memang selalu begitu. Maaf. Kami cuma ... ingin melihat reaksimu. Selama ini kamu hanya diam, bahkan saat cewek-cewek itu berkata buruk tentangmu. Maksudku, itu bagus. Diam memang cara yang tepat agar tidak memperbesar masalah. Tapi, Kana. Cobalah untuk berbicara dengan teman sekelas. Berteman. Walaupun bukan perempuan, setidaknya kamu punya—”
“Itu bukan urusanmu.” Aku menyela tanpa pikir panjang. Aku hanya merasa kesal dan tidak nyaman dengan sikap sok pedulinya. Namun, saat aku melihat sedikit warna biru di sekitar kepala Azul, entah kenapa aku merasa bersalah.
