Bagian 2
Selain para cowok yang berusaha mendekatiku karena rasa simpati, para guru yang menyukaiku juga berhasil membuat para cewek semakin membenciku. Pak John—bukan nama asli—misalnya. Beliau melabeliku dengan sebutan “Murid Favorit” hanya karena permainan voliku keren, terus menyarankanku untuk masuk ekskul voli. Para cewek yang ikut ekskul tersebut, berpura-pura meludah saat mendengarnya.
“Ayo! Ayo! Jangan lemas begitu, dong. Contoh Kana. Walau kecil, tapi pukulannya sampai home run.” Itu berlebihan. Padahal pukulanku hanya melambung dan mendarat di tengah area lawan seperti pemain voli pada umumnya. Hebatnya karena si lawan tidak ada yang bisa menerima bola, juga pukulan para cewek itu tak bisa melewati net dan justru berbalik ke arah mereka. Siswi di kelasku payah sekali dalam bermain voli.
“Pak, ayolah. Nggak semuanya bisa memukul bola. Tangan kita sudah bengkak.”
Pak John mengomel, kembali membawa-bawa namaku, berniat menyemangati. Alih-alih, justru mereka tambah mengeluh dan menjelek-jelekkanku dengan suara keras. Aku bisa mendengarnya biarpun aku duduk di bawah pohon beberapa meter dari lapangan—Pak John menyuruhku istirahat karena permainanku yang bagus—dan suara para cowok yang terlalu bersemangat bermain voli di area lain samping cewek.
“Ya ... ya .... Silakan mengeluh seperti itu, Bapak nggak akan kasih nilai. Bahkan nol sekali pun.”
Kemudian keluhan dari mereka terdengar bersahutan, berhasil memancing seorang guru keluar kelas. Merasa terganggu.
Sebaliknya para cowok. Mereka bermain lancar sekali. Tak ada bola yang tersangkut di net, atau pukulan yang hanya sampai selangkah. Bahkan poinnya sudah mencapai 6−10. Pak John tak perlu mengawasi, sebab nilai praktik sudah tertulis.
Aku menonton permainan para cowok, menggeleng saat lagi dan lagi Pak John menyuruhku ikut bergabung bersama mereka. Tidak semua anak cowok ikut bermain, beberapanya hanya menonton, menunggu giliran.
“Awas!”
Bola keluar area permainan. Para cewek yang bermain beberapa meter di sebelah cowok, berteriak menghindari bola yang datang dengan kecepatan tinggi. Bola menabrak jaring pembatas, dekat dengan pohon yang kutempati.
Ketua Kelas seperti biasanya, mencoba akrab denganku. Entah hatinya terbuat dari apa, walau aku sudah terang-terangan menolak keberadaannya, dia tetap berbicara denganku. Tidak seperti para cowok lainnya. Sekali ditolak, mereka tidak lagi berusaha melakukannya—kecuali dalam keadaan terdesak.
“Tolong, ya, Kana.” Ketua Kelas melambai. Aku berdiri, mengambil bola dan melemparnya ke arah mereka, kembali membuat para cewek berteriak karena takut terkena bola.
Hingga, mataku sepertinya kena masalah. Warna yang muncul dari mereka, sih, sudah biasa. Namun, apa-apaan kilauan itu? Saat tatapan kami bertemu, tak ada warna di sekelilingnya, hanya kelap-kelip putih seperti bintang. Yang lebih mengherankan lagi, padahal pandangan kami sudah terputus lebih dari lima detik, kenapa kelap-kelip itu tak kunjung hilang, bahkan muncul warna kuning di kepalanya? Aku mengernyit. Semua yang kulihat darinya, membuatnya terlihat mencolok di antara para cowok—tentunya di mataku. Seketika rasa penasaran mendesak diriku bersama rasa takut.
Saat masuk kelas, istirahat, juga pulang. Aku terus mengamatinya. Memastikan bahwa kekhawatiranku tidaklah benar. Kami tak lagi bertatapan setelah waktu itu, tetapi warnanya masih terlihat. Kadang berubah merah atau ungu muda, tetapi lebih sering warna kuning—tentu kilauan itu tidak pernah hilang. Lalu aku tersadar. Cowok itu, baru pertama kali aku melihatnya. Yang kudengar dari cewek yang berbisik-bisik, bahwa cowok itu baru masuk hari ini setelah dua minggu izin—tahun ajaran baru sudah berjalan selama hampir satu bulan.
Namanya Alif, begitu cowok-cowok memanggilnya. Membuat seisi kelas heboh karena para cewek berlomba-lomba berkenalan dengannya. Sesaat aku mengira kalau kilauan yang terus ada pada Alif karena ketampanannya, tetapi aku salah. Ada laki-laki yang lebih tampan darinya yang pernah bertatapan denganku, tetapi kilauan itu tidak ada.
Aku terus memastikan, atau lebih tepatnya mengawasi. Cowok itu terus dikelilingi warna kuning, jarang sekali terlihat warna lainnya. Saat aku melihat wajahnya dari jarak lumayan dekat, aku bisa merasakan, betapa anehnya dia. Seolah aku sedang melihat tokoh animasi dalam wujud manusia sungguhan. Berkilauan.
“Ih! Kana ternyata genit, ya. Dari kemarin kamu terus mengawasinya.”
Kualihkan pandangan pada buku tulis, mendadak menggambar pohon dan rumput yang kelihatannya seperti kapas di atas lidi. Aku ketahuan. Para cewek itu pasti semakin gencar merundungku.
“Kamu mencoba membaca pikirannya, ya? Apa makanan favoritnya, kemudian kamu bisa memberikannya sebagai hadiah perkenalan pada Alif.” Mereka tertawa mengejek. Saat aku menoleh ke arah mereka, dengan serentak para cewek itu mengalihkan pandangannya, cekikikan, kembali mengolok-olokku. “Astaga! Siaga! Siaga!”
“Eh? Siaga? Kenapa?”
Bukan hanya aku saja yang menoleh ke sumber suara, tetapi para cewek yang mengejekku barusan. Alif, sang idola baru, polos sekali menatapku ingin tahu. Lantas, yang membuatku mengernyit, saat ia berseru, “Oh .... Kamu heterochromia, ya?”
Kutatap para cewek itu yang sekarang mencebik sambil berbisik-bisik saat Alif duduk di sampingku—mudah saja karena aku duduk sendirian di bagian depan ujung kiri, begitu kontras di antara barisan para cowok. Wajah Alif terlalu dekat, membuatku risi sekaligus tidak terbiasa dengan kelap-kelip di sekitar kepalanya.
“Aku Alif, kamu siapa?” Tangannya terulur. Dia terlalu bersemangat karena mataku berbeda warna, atau ... karena ia penasaran apakah aku benar-benar bisa membaca pikiran seperti yang dibicarakan?
Seharusnya, aku tak menerima uluran tangannya dan menyebut namaku hanya karena merasa tak enak hati. Seperti bulu yang terbang terkena angin, gosip menyebar bahwasanya aku telah menggoda cowok tampan seangkatan. Lebih parahnya lagi, Alif tak hanya berhenti sampai di situ. Cowok itu kembali menduduki kursi kosong di sebelahku saat makan siang, setelahnya ia mengangsurkan tasnya dan bilang, “Aku ini rabun, loh .... Jadi, aku duduk di sini, ya?”
Para cewek semakin menggila menggerakkan mulutnya ke sana kemari. Janti—yang dosanya besar sekali sebab ia yang menyebarkan gosip tentangku lantaran kami satu SMP—dengan percaya diri menyuruh Alif menjauhiku. Namun, saat Alif menolaknya dan berkata, “Apa itu ada urusannya denganmu? Kurasa tidak”, wajah cewek itu memerah menahan amarah.
Hidupku memang tidak bisa setenang air di bak penampungan. Aku memang sudah terbiasa dengan bisikan buruk tentangku, atau Janti yang lagi dan lagi menjulurkan kakinya saat aku memasuki kelas. Aku terjatuh, mereka tertawa. Aku terbangun, mereka mulai mengolok-olokku.
Di tengah keramaian, seolah-olah pahlawan super yang disoroti lampu berwarna merah juga efek kelap-kelip, Alif datang lantas berseru, “Duhai! Betapa rendahnya nilai moral di sekolah ini.” Aku menatap geli ke arahnya.
Tak menghiraukan aksi heroiknya, aku berjalan meninggalkan para cewek yang mulai kesal. Duduk di kursiku, bersiap untuk menatap dinding dan melamun. Seperti halnya yang terjadi belakangan ini, aku tidak bisa melakukan kegiatanku itu. Alif kembali menggangguku, bertanya apakah aku baik-baik saja, dia bahkan berusaha memeriksa kakiku.
“Eh? Kamu marah, ya? Maaf kalau begitu,” ucap Alif. Saat aku menoleh, warna biru di sekelilingnya langsung tampak.
Kenapa aku jadi merasa bersalah?
“A—ma−makasih kalau gitu?” Aku tergagap karena tak tahu harus mengatakan apa.
Secepat warna kuning itu datang, secepat itu pula Alif berkata, “Ayo kita berteman dan membuat tim belajar.”
Sepertinya—bukan. Cowok ini memang ada apa-apanya!
