#####Bab 4. Before Lunch
Jarak mall dan gedung apartemen Sasya tidak terlalu jauh sebenarnya. Namun karena sekarang adalah weekend, maka jalanan jadi sangat macet. Sasya dan Sagara terjebak di jalanan lebih dari dua jam. Apalagi mereka sempat ke supermarket dulu untuk berbelanja.
Sesampainya di apartemen, Sasya langsung merebahkan dirinya di sofa. Sedangkan Sagara mengambil semua belanjaan dari supermarket ke dapur. Tanpa diminta, Sagara membereskan semua bahan makanan ke dalam kulkas.
Sasya berbaring terlentang di atas sofa dengan sebelah lengan yang menutupi mata. Dia merasa gerah karena cuaca yang sangat panas. Belum lagi dengan jalanan macet yang entah mengapa seolah menguras energinya. Dan sekarang, dia merasa lega karena sudah bisa bersantai di apartemennya.
"Sya, kamu mau makan sesuatu?" Sebuah suara terdengar diikuti dengan suara langkah kaki yang mendekat. Sasya menurunkan lengannya, lalu menatap Sagara yang sudah berdiri di dekatnya.
"Kamu tidak merasa capek, Gar? Istirahat lah," ujar Sasya yang di mana perkataannya bukanlah sebuah jawaban atas pertanyaan Sagara.
"Aku bukan dirimu yang mudah lelah karena berada di tempat ramai," timpal Sagara diakhiri dengan kekehan pelan. Sasya mendengus pelan mendengar ledekan pria itu.
"Baiklah. Aku mau ngemil saja," ucap Sasya. Sagara pun berbalik dan kembali ke dapur. Sasya menatap kepergian pria itu dan menggelengkan kepalanya perlahan. Kadang Sasya suka tak habis pikir dengan Sagara yang mau-mau saja bertindak seperti seorang pesuruh di apartemennya.
Tak lama, akhirnya Sagara muncul dengan tangan membawa minuman kaleng juga makanan ringan yang dibeli tadi. Sagara menaruhnya di atas meja, dan tanpa diminta dia membukakan bungkus camilan itu untuk Sasya.
"Kamu nggak ada kerjaan lain apa?" Sasya bertanya pada Sagara.
"Ini hari libur, Sya. Tentu saja aku juga libur kerja," jawab Sagara dengan santai. Dia duduk di samping Sasya lalu mengambil minuman miliknya.
"Nggak ada kegiatan lain lagi apa? Tiap hari Minggu kamu selalu saja menetap di sini," ucap Sasya lagi.
"Kenapa memangnya? Kamu tak suka?" tanya Sagara balik.
"Bukan begitu. Hanya heran saja," jawab Sasya langsung. Sagara tertawa pelan mendengar itu. Sebelah tangannya yang bebas bergerak merangkul pinggang Sasya. Bibirnya yang lembab pun langsung menyentuh sisi leher Sasya dan mendaratkan kecupan lembut di sana.
"Lebih menyenangkan menghabiskan waktu denganmu di sini," bisik Sagara. Sasya merotasikan bola matanya saat mendengar itu. Dia menepuk pelan tangan Sagara yang bertengger di pinggangnya.
"Otakmu ya. Isinya cuma seks aja," gerutu Sasya. Sagara tertawa pelan mendengar itu. Dia mengangkat kepalanya lalu mencium pipi Sasya singkat.
"Ya gimana ya. Kamu pakai baju pun aku seperti bisa melihat semua yang ada dibalik baju itu." Sagara berkata tanpa beban. Sasya mendelik tajam mendengar itu.
"Dasar mesum," gumam Sasya pelan. Dia mengambil minuman kaleng miliknya dan menenggaknya dengan perlahan. Dari samping, Sagara memperhatikan dengan lekat. Saat Sasya selesai menenggak minuman lalu menjilat bibirnya sendiri, Sagara langsung mendesis pelan. Sasya terlihat sangat seksi di matanya.
Sejak dulu, sejak awal mereka melakukan seks sampai sekarang, Sagara tak pernah merasa bosan pada Sasya. Karena hal ini lah dia selalu gagal setiap kali menjalin hubungan dengan wanita lain. Karena siapa pun yang ada di depannya, hanya Sasya yang menguasai pikirannya.
Ya, bukan hanya pikiran saja. Tapi hatinya juga. Sayang, Sasya tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Sasya membangun tembok tinggi di hatinya dan tak membiarkan siapa pun menyentuhnya.
Jika saja Sasya memiliki perasaan yang sama, Sagara yakin hubungan mereka bisa lebih dari sekedar friend with benefits. Tapi ya, Sasya memang tak pernah menginginkan hubungan dengan status seperti itu. Dia bilang, berpacaran itu hanya membuang-buang energi dan waktu.
"Aku akan masak untuk makan siang nanti. Setelah makan siang aku akan pergi karena ada pertemuan keluarga." Sagara berkata tanpa ditanya. Sasya melirik sekilas dan menganggukkan kepalanya.
"Pertemuan keluarga? Tumben." Sasya berkomentar. Pasalnya Sasya tahu betul kalau Sagara tidak terlalu akrab dengan keluarga besarnya dari pihak ayah maupun ibu.
"Sesekali bersikap baik pada mereka nggak salah kayaknya." Sagara membalas. Dia lalu menyimpan minuman kalengnya di atas meja.
"Emang nggak salah. Tapi tetap saja, nggak semua orang pantas mendapatkan kebaikanmu," ucap Sasya. Sagara terkekeh pelan mendengar itu.
"Dan kamu pantas mendapatkan kebaikan ku? Begitu?" tanya Sagara dengan nada menggoda. Sasya menengok ke arahnya dengan tatapan malas.
"Terserah kamu saja, Gar." Sasya berkata dengan nada malas. Sagara tertawa lagi melihat reaksi Sasya. Setelah itu, Sagara menarik Sasya ke atas pangkuannya. Sasya memekik pelan karena terkejut. Kedua tangannya langsung melingkar di leher Sagara secara spontan.
"Aku ingin kamu sebagai hidangan pembukanya. Setelah itu lanjut masak untuk makan siang nanti," bisik Sagara. Tanpa menunggu respon Sasya, Sagara langsung menyatukan bibir mereka. Sasya tidak menolak, menandakan kalau dia tidak keberatan.
Sagara melumat bibir Sasya dengan gerakan yang lembut. Saat bibir mereka menyatu dan saling berpagut, kedua tangan Sagara bergerak berusaha menelanjangi Sasya. Dia melemparkan blouse dan bra Sasya secara asal ke lantai. Setelah itu tangannya langsung menangkup gundukan kenyal milik Sasya dan meremasnya. Sasya mendesah disela-sela ciuman mereka saat putingnya dipermainkan oleh Sagara hingga mengeras.
Setelah beberapa saat, bibir mereka terlepas. Sagara langsung menurunkan jajahan bibirnya ke leher dan pundak Sasya. Meninggalkan beberapa jejak lagi di tubuh Sasya yang putih. Setelah itu Sagara mengulum puncak dada Sasya dan menghisapnya, membuat Sasya mendesah dengan mata terpejam.
Sagara berhenti sesaat lalu menarik Sasya agar berdiri. Akhirnya mereka saling melepaskan pakaian satu sama lain. Setelah sama-sama telanjang, Sagara duduk di sofa dengan Sasya yang berada di atasnya. Sagara mempermainkan pusat tubuh Sasya dengan jarinya sebentar. Namun Sasya yang terlihat sangat bergairah merasa tak sabar untuk segera menyatukan tubuh mereka.
Sasya mengarahkan milik Sagara yang sudah berdiri tegak ke arah dirinya. Setelah merasa pas, Sasya pun menurunkan tubuhnya dengan perlahan. Dia mendesah panjang saat milik Sagara sudah terbenam sepenuhnya dalam dirinya. Tak menunggu lama, Sasya pun mulai bergerak dengan tangan berada di bahu Sagara sebagai tumpuan.
Suara desahan Sasya terdengar bergema di dalam ruangan yang luas tersebut. Tubuhnya bergerak meliuk-liuk di atas Sagara, mengejar kenikmatannya sendiri. Sasya pun mengarahkan dadanya ke wajah Sagara, memberikan aba-aba agar Sagara mempermainkan dadanya. Dan saat Sagara menghisap puncaknya lagi, desahan Sasya semakin tak terkendali.
Setelah beberapa saat, Sagara bisa merasakan cengkraman Sasya di bahunya. Gerakan wanita itu pun semakin cepat dan liar, begitu juga desahannya yang semakin keras. Hingga akhirnya Sasya menjerit dengan punggung melengkung. Tubuhnya bergetar ketika gelombang kenikmatan itu datang menghampirinya.
Sagara meraih bibir Sasya dan menciumnya dengan lembut. Setelah Sasya selesai dengan pelepasannya, akhirnya Sagara membaringkan Sasya di sofa. Dia langsung bergerak dengan cepat memompa miliknya di tubuh Sasya. Erangan Sasya kembali terdengar saat Sagara bergerak dengan sangat cepat dan kasar.
Tubuh Sagara menegang, merasakan puncaknya yang akan segera datang. Dia bergerak semakin cepat dalam diri Sasya, lalu menarik diri membuat spermanya keluar di atas perut Sasya. Sagara mendesah lega setelah semua spermanya keluar. Dia lalu duduk dengan punggung menyandar pada sofa.
"Bukannya tadi kamu membeli pengaman?" Sasya bertanya. Dia mengambil tisu dari atas meja dan membersihkan cairan milik Sagara di perutnya.
"Kamu sendiri yang nggak sabar loh, Sya," jawab Sagara. Sasya mendengus pelan mendengar itu dengan pipi sedikit bersemu merah. Ya, selama bertahun-tahun mereka selalu bermain aman. Dan selama itu tak pernah ada masalah lain yang timbul. Kadang Sasya juga mengonsumsi pil pencegah kehamilan saat Sagara tidak memakai pengaman dan tak sengaja keluar di dalam. Karena walaupun dia membutuhkan kepuasan seksual, Sasya tidak mau jika dia hamil walaupun itu anak Sagara.
***