#####Bab 2. Kenangan Lama
Jam menunjukkan pukul tujuh pagi ketika Sasya terbangun dari tidurnya yang lelap. Saat matanya terbuka, dia tak menemukan keberadaan Sagara di sampingnya.
Sasya tak repot-repot mencari keberadaan Sagara. Kadang, pria itu memang bangun lebih awal dan pergi begitu saja. Kadang pria itu menetap juga. Kalau Sagara belum pergi, pasti pria itu sedang di ruang keluarga atau di dapur.
Sasya mengangkat tubuhnya agar duduk di atas ranjang. Dia meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, membuat selimut putih polos yang dia pakai melorot dari dadanya. Memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang tak memakai apapun. Terlihat juga jejak-jejak berwarna merah di tubuhnya yang putih dan mulus. Tentu saja jejak itu ditinggalkan oleh Sagara semalam.
Setelah menguap kecil, Sasya menurunkan kakinya dari atas ranjang. Matanya menatap sekeliling, melihat kamarnya yang sudah rapi dan bersih. Tak ada pakaian yang berserakan, ataupun kondom bekas pakai semalam. Ada sebuah handuk juga di atas laci samping tempat tidur.
Semua itu pasti dilakukan oleh Sagara. Sagara memang tipe pria yang suka kerapihan, dan tak malas untuk merapikan sendiri. Sagara juga tipe pria yang cukup perhatian. Ya, setelah bersama-sama selama beberapa tahun sebagai sahabat dan fwb, tentu Sasya tahu cukup banyak hal tentang Sagara.
Sasya berdiri lalu melilitkan handuk berwarna putih itu ke tubuh polosnya. Setelahnya Sasya berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan bau karena keringat.
***
Sasya berjalan keluar dari kamarnya setelah selesai mandi dan berpakaian. Sekarang dia memakai celana jeans berwarna hitam yang dia padukan dengan sebuah blouse sepanjang lutut berwarna coklat. Rambut coklat sepunggungnya dia urai dan diberi sebuah hiasan berupa jepit.
Sasya tak lupa kalau hari ini adalah hari Minggu. Dia akan pergi ke mall untuk mencari hadiah. Dan Sasya masih ingat saat Sagara menawari untuk pergi bersama. Jadi, Sasya yakin kalau Sagara masih berada di apartemennya.
Setelah memastikan ruang tamu dan keluarga kosong, akhirnya Sasya menuju ruang makan. Benar saja, Sagara ada di sana. Dia duduk di salah satu kursi, terlihat sedang menyantap sarapan simple yang dia siapkan sendiri. Ya, selain suka merapikan ruangan dan barang-barang, Sagara juga pandai memasak. Bisa dibilang, Sagara lebih pandai tentang urusan rumah ketimbang Sasya sendiri.
"Selamat pagi. Aku sudah siapkan sarapan juga untukmu." Sagara menyapa seraya menatap Sasya dengan lembut.
"Terima kasih," ucap Sasya singkat seraya duduk di kursi. Dia tak menampilkan senyuman sedikit pun pada Sagara. Dan hal tersebut bukanlah hal aneh lagi bagi Sagara. Sasya memang bukan tipe orang ramah yang murah tersenyum. Justru sebaliknya, Sasya adalah tipe wanita yang seringnya memasang wajah jutek dengan ekspresi datar dan dingin.
"Jadi, hari ini kita jadi pergi?" Sagara bertanya setelah dia menyelesaikan sarapannya.
"Tentu saja. Mumpung aku libur. Aku tak akan bisa pergi cari hadiah di hari kerja," jawab Sasya langsung. Dia menyantap sarapan yang disiapkan Sagara tanpa melayangkan protes. Hasil masakan Sagara memang selalu enak dan memuaskan bagi Sasya. Jadi, dia tak pernah memiliki alasan untuk mengkritik hasil masakan pria itu.
Saat Sasya sedang menikmati sarapan, Sagara memperhatikannya. Pikiran Sagara pun melayang pada masa lalu, saat pertama kalinya dia dan Sasya terjebak hubungan lain dalam persahabatan mereka.
Flashback
Sembilan tahun yang lalu.
Sasya, Sagara dan Sadewa sudah berteman dekat sejak lama. Di sela-sela kesibukan sebagai mahasiswa, mereka sering juga meluangkan waktu untuk berkumpul. Kadang nongkrong di kafe, main ke taman, nonton bioskop, atau hanya sekedar ngumpul nggak jelas di salah satu tempat tinggal mereka.
Di malam Minggu yang cukup senggang, Sasya dijemput oleh dua sahabatnya tersebut. Mereka akhirnya nonton film bersama di apartemen Sadewa. Bungkus camilan dan kaleng minuman berserakan di depan mereka, menemani kegiatan nonton bareng mereka.
"Gue liat-liat, kisah percintaan orang-orang kok kek lancar banget ya. Nggak kayak gue." Sadewa berucap. Perkataan dia barusan tak ada hubungannya dengan film yang sedang mereka tonton.
"Lo masih galau karena Kak Utari?" Sagara bertanya seraya melirik sahabatnya itu sekilas.
"Ya iyalah. Emangnya siapa lagi yang bisa bikin ini anak galau berat kalau bukan senior kita itu," timpal Sasya. Utari adalah senior mereka di kampus, yang merupakan crush Sadewa juga.
"Gue heran aja gitu. Apa sih kurangnya gue? Kok dia keknya susah banget nerima cinta gue," ujar Sadewa lagi. Sagara dan Sasya saling berpandangan sesaat setelah mendengar itu.
"Well, gue nggak terlalu kenal atau tahu tentang Kak Utari. Namun sebagai sesama cewek, gue rasa dia jengah dengan kelakuan lo yang annoying banget," ucap Sasya. Sadewa langsung cemberut mendengar penuturan Sasya barusan.
"Bisa aja kan tipe idaman Kak Utari itu cowok yang santai, kalem, cool. Sedangkan lo itu kebalikannya. Kerjaan nyerocos gak jelas. Berisik lagi," lanjut Sasya tanpa rasa bersalah. Sadewa mendengus kasar mendengar itu. Namun perkataan Sasya barusan membuatnya merenung untuk beberapa detik.
"Jadi gue harus gimana dong? Lo berdua kan temen gue. Bantuin dikit kek. Gue gak terima kalau harus di tikung nantinya," ujar Sadewa dengan berapi-api. Sagara tertawa pelan mendengar itu.
"Ya lo cari tahu sendiri lah. Minimal nih ya, lo jangan bikin Kak Utari kesel karena kelakuan lo," jawab Sagara. Sadewa merenung lagi dengan mata terpejam.
Tak lama, ponsel Sadewa berdering nyaring. Dia buru-buru mengambil ponselnya, dan terlihat sangat semangat kala nama sang pujaan hati tertera di layar ponselnya.
"Utari ngajak gue ketemuan sekarang!" Sadewa berteriak riang membuat Sasya menutup telinga. Tanpa basa-basi, Sadewa langsung bersiap-siap untuk pergi. Mengabaikan fakta kalau dua sahabatnya masih di sana.
"Lo pergi? Terus kita gimana?" tanya Sasya.
"Lanjutin aja nontonnya. Gue balik lagi kok nanti," jawab Sadewa. Setelah siap, dia langsung pergi dengan kecepatan tinggi. Sagara dan Sasya hanya mendengus setelah ditinggalkan berdua oleh Sadewa di apartemen pria itu sendiri.
Semuanya berjalan dengan normal awalnya. Sagara dan Sasya kadang berbincang, membahas adegan film. Hingga saat film tersebut memperlihatkan sebuah adegan ciuman, suasana di antara mereka mulai berbeda, agak canggung.
"Sya, apa lo pernah ciuman?" Sagara bertanya dengan mata melirik sekilas pada Sasya yang duduk di sampingnya.
"Kenapa tiba-tiba lo nanya kek gituan?" tanya Sasya heran dan kurang nyaman.
"Penasaran aja," jawab Sagara asal.
"Lo sendiri?" tanya Sasya balik.
"Pernah sih. Sama mantan gue waktu masih SMA." Sagara menjawab dengan jujur. Sasya manggut-manggut mendengar itu. Mantan yang Sagara maksud, entah siapa Sasya tidak tahu. Pasalnya Sagara memiliki banyak mantan saat masih SMA.
"Gue juga pernah. Waktu kita masih maba," ungkap Sasya. Sagara manggut-manggut mendengar itu. Untuk beberapa saat, mereka diam. Pembahasan singkat mereka barusan entah kenapa membuat pikiran keduanya melayang tak tentu arah.
Mungkin benar kata orang. Saat dua manusia beda gender bersama, maka orang ketiganya adalah setan. Entah apa yang mereka pikirkan saat itu, sampai akhirnya bibir mereka saling bertemu.
Rasa penasaran sepertinya yang mendorong mereka melakukan hal yang melewati batas pertemanan mereka.
Tangan Sagara bergerak menyentuh pinggang Sasya saat bibir mereka berpagut. Jarak antara mereka semakin terkikis, hingga tubuh depan mereka menempel. Tangan Sasya memeluk leher Sagara dengan erat. Sesekali terdengar lenguhan pelan dari Sasya ketika Sagara menghisap kuat bibirnya.
Atmosfer di sekeliling mereka mulai memanas. Ciuman yang bermula dari rasa penasaran mulai berubah menjadi ciuman yang penuh nafsu. Sagara mendorong tubuh Sasya hingga Sasya berbaring di atas sofa dengan dia yang menindihnya.
Ciuman mereka semakin liar dan menuntut. Tangan Sagara pun bergerak menyusuri tubuh Sasya dari balik kaosnya. Sasya mendesah di sela-sela ciuman mereka saat merasakan remasan pelan di dada sebelah kanannya.
Saat tangan Sagara hampir masuk ke dalam kaos Sasya, terdengar suara pintu utama yang terbuka disertai dengan tawa riang dari seseorang. Sagara dan Sasya tersentak kaget dan langsung melepaskan diri. Mereka langsung membenahi diri masing-masing, dan bersikap tak terjadi apa-apa saat Sadewa muncul dengan senyuman yang lebar dan cerah.
"Tumben bentar doang," celetuk Sagara saat Sadewa langsung menghempaskan diri ke sofa. Dia dan Sasya berusaha keras bersikap normal agar Sadewa tidak curiga. Memang sudah agak gila kayaknya mereka berdua.
"Utari minta gue anterin dia ke rumah sodaranya." Sadewa menjawab disertai dengan senyuman tak jelas.
Sagara dan Sasya terus bertanya, berusaha melupakan apa yang sudah mereka lakukan saat Sadewa tidak ada. Namun tentu saja, kejadian tersebut tak akan pernah bisa mereka lupakan. Dan tentu untuk ke depannya, persahabatan antara mereka berdua tidak akan sama lagi.
Flashback off
"Sagara?"
Sagara mengerjap pelan saat Sasya melambaikan tangan di depan wajahnya.
"Mikirin apa?" tanya Sasya heran. Sagara tersenyum pelan dan menggelengkan kepalanya. Tentu dia tak akan memberitahu Sasya kalau dia sedang mengingat awal mula hubungan lain mereka.
"Aku sudah selesai. Ayo kita pergi sekarang," ucap Sasya. Sagara pun mengangguk. Setelah membereskan bekas makan, Sagara dan Sasya pun kemudian pergi untuk mencari hadiah.