Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5. Pembantaian Keluarga Lim

“Bedebah busuk! Pemuda cacat sepertimu berani sesumbar!” Serigala Kuku Besi mengumpat.

Lelaki berpakaian corak Serigala itu dibuat gusar oleh ucapan dan sikap yang ditunjukkan pemuda berpakaian serba merah. Ia mengira pemuda itu buta sehingga menyebutnya sebagai pemuda cacat. Ia yang sudah diliputi hawa marah langsung bergerak hendak menerjang.

Namun betapa terkejutnya semua orang yang ada di tempat itu. Belum sempat Serigala kuku besi menyerang, tubuhnya langsung terpotong-potong dan berserakan di lantai dengan darah berhamburan.

“Hueekkk!”

Beberapa orang langsung memuntahkan darah melihat keadaan Serigala Kuku Besi yang sangat mengerikan. Pemuda itu terlihat tak bergerak sama sekali. Tapi yang terjadi sungguh mengerikan. Sebuah kesaktian yang sangat ganas. Ilmu pedang tingkat tinggi yang dinamakan ‘Ilmu Pedang Tanpa Perasaan’.

“Sungguh kejam!” ucap Pemimpin Lim ngeri.

Kemudian ia berteriak mengajak para pendekar dan ahli beladiri yang berada di tempat itu menyerang. Mereka pun bersiap mengeroyok, meski rasa takut masih sangat tebal melanda mereka. Tapi keinginan hidup mengalahkan rasa takut itu dan membuat mereka bertekad untuk hidup.

Tiba-tiba saja pemuda berpakaian merah itu membuka matanya. Nampak mata itu memancarkan sinar merah yang sangat terang. Keadaan yang sangat mengerikan kemudian terjadi. Sebuah gelombang kekuatan berwarna kemerahan langsung memancar dari tubuh pemuda itu dan menyebar dengan cepat berbentuk lingkaran dari kecil membesar menerpa semua orang yang ada di sana.

Semua orang yang ada di kediaman keluarga Lim tiba-tiba saja tidak bisa bergerak. Wajah mereka berubah pucat. Semua mengalami keadaan yang sama.

“Me-mengapa aku tidak bisa berge…!”

Suara Pemimpin Lim terhenti. Ia jatuh terhempas ke tanah bersimbah darah. Tubuhnya terpotong-potong hingga beberapa bagian. Tidak hanya Pemimpin Lim yang mengalami keadaan itu. Semua orang yang ada di sana mengalami hal yang sama. Sebuah pembantaian yang sangat mengerikan.

‘SELANJUTNYA GILIRAN SEKTE BINTANG API’

Pemuda berpakaian serba merah itu kemudian lenyap. Ia meninggalkan sebuah pesan di dinding yang ditulis dengan darah yang mengalir di tanah tanpa menyentuhnya. Hebatnya darah itu kemudian membeku sehingga tidak luntur. Dan lebih hebat lagi seandainya ada seseorang yang melihat kejadian itu, tentu ia tidak tahu bagaimana cara pemuda itu melakukannya. Pemuda itu lalu menghilang tanpa menimbulkan jejak, suara, dan bayangan.

Setelah cukup lama sepeninggalnya pemuda itu, terlihat sebuah gerakan di salah satu pohon tinggi yang letaknya tak jauh dari kediaman Pemimpin Keluarga Lim. Gerakan sebuah bayangan putih yang kemudian turun dengan gerakan sangat ringan. Orang itu ternyata Malaikat Pedang salah satu dari Empat Malaikat Dunia Persilatan. Terlihat ada noda darah yang mengalir di bagian perut orang tua itu.

“Sungguh kesaktian seperti iblis!”

Decak kagum dan kengerian keluar dari mulut Malaikat Pedang. Ia memang sudah hampir setengah harian berada di tempat itu. Ia sengaja datang di sana lebih awal lalu diam tanpa bergerak agar jangan sampai diketahui orang yang mengancam keluarga Lim.

Bagian perut Malaikat Pedang robek hanya gara-gara terkena biasan gelombang kekuatan yang dipancarkan pemuda tadi. Seandainya ia berada lebih dekat, tentu ia turut akan menjadi korban keganasan Ilmu Pedang Tanpa Perasaan milik pemuda berpakaian serba merah itu.

Sepekan Kemudian

Ketegangan kini melanda kota Xianghe yang jaraknya sekitar seribu mil dari kota Hong Sha. Para penduduk kota terlihat sangat jarang beraktivitas. Bahkan beberapa diantara mereka terlihat meninggalkan kota dengan membawa barang seadanya yang mampu mereka bawa.

Ketakutan melanda kota itu karena mendapat ancaman sebuah sekte yang ingin merebut kepemimpinan kota. Nama sekte itu adalah Sekte Beruang Merah yang terkenal dengan kebengisan dan kekejaman anggotanya.

Namun perasaan takut itu sepertinya tidak berlaku bagi seorang pemuda berpakaian merah ringkas seperti rompi yang nampak duduk santai di bawah pohon sambil meniup serulingnya. Matanya terpejam, bukan tertidur ataupun mengantuk. Bila ada orang melihat, tentu orang itu akan berkesimpulan pemuda itu merupakan seorang yang buta. Meski begitu ia terlihat sangat menikmati keadaan alam sekitarnya.

Alunan irama seruling yang dimainkan pemuda itu sangat merdu. Burung-burung berkicauan seakan turut menyanyi mengiringi irama lagu yang dimainkan si pemuda berpakaian merah. Tidak jarang orang-orang yang melewatinya berhenti sejenak sekedar menikmati. Sesaat mereka bisa melupakan ketakutan yang melanda para penduduk kota Xianghe. Setelah pemuda itu berhenti, barulah mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Pemuda itu kemudian bangkit. Ia berjalan menuju pintu masuk kota Xianghe yang tidak jauh berada dari pohon tempat ia beristirahat tadi. Matanya masih terpejam. Ia berjalan perlahan ke depan dengan wajah tanpa ekspresi. Hal itu akan semakin meyakinkan orang bahwa pemuda itu seorang pemuda yang buta tak bisa melihat.

Anehnya, meski matanya terpejam ia dapat berjalan dengan baik tanpa tersandung dan terganggu. Padahal pemuda itu tidak menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan. Seolah-olah dalam terpejamnya pemuda itu dapat melihat sekelilingnya.

Pemuda berpakaian merah itu terus berjalan hingga sampai pada sebuah rumah makan. Ia masuk ke dalam tanpa sedikitpun kesulitan. Padahal orang-orang yang berada di dalam sangat mengkhawatirkannya. Ia langsung duduk di salah satu kursi kosong di pojokkan agak jauh dari orang-orang.

Melihat keberadaan pemuda berpakaian serba merah itu, seorang pemuda lain berusia sekitar dua puluhan langsung menghampirinya.

“Saudara, boleh aku duduk di tempat ini?” tanyanya kepada pemuda berpakaian serba merah itu.

Yang ditanya mengangguk seraya tersenyum. Senyuman seorang pemuda gagah nan tampan. Bahkan pemuda yang menghampirinya itu tidak terlepas dari perasaan kagum. Padahal ia sendiri merupakan seorang pemuda yang tampan. Seandainya ia seorang wanita tentu akan terbang hatinya mendapat senyuman itu.

“Saudara, namaku Chen, She Yan. Bolehkah aku tau nama saudara?” pemuda yang baru bergabung itu langsung membuka pembicaraan setelah duduk berseberangan dengan pemuda berpakaian serba merah.

Si pemuda berpakaian merah kembali tersenyum. “Aku Chia Yun,” ucapnya sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada.

“Salam kenal saudara Chia,” Yan Chen membalas penghormatan.

Pemuda itu terdiam sejenak. Ia menatap pemuda berpakaian merah bernama Chia Yun itu dengan serius. Seolah-olah sedang mencari sesuatu dari pemuda yang berada di hadapannya.

“Apakah saudara Chia ini anggota keluarga dari Pendekar Elang Merah Chia Haocun dari Pulau Api Abadi?”

Chia Yun menggelengkan kepala. “Aku bukan anggota keluarga terkenal itu,” jawabnya kemudian singkat dan tenang.

Yan Chen mengerutkan keningnya. Ia lalu bertanya, “Sebenarnya saudara Chia sedang hendak kemanakah?”

Yan Chen bertanya sambil memanggil pelayan. Ia kemudian meminta izin kepada Chia Yun memesan makanan terfavorit di rumah makan itu. Ia juga mengatakan akan mentraktir pemuda itu.

“Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat kota ini, saudara Yan,” jawab Chia Yun seraya menganggukkan kepala menerima tawaran Yan Chen tadi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel