Bab 2
Tale Two
Samudera duduk di sana, memandang datar seorang pria yang masih muda untuk ukuran seorang dokter ahli. Berkali-kali dia menghela napas panjang dengan tangan diketuk-ketukan ke meja—kebiasaannya jika sedang bosan atau pun cemas.
"Akhir-akhir ini aku jadi suka mengantuk, hampir tiap hari selalu tidur padahal kau juga tau kalau aku nggak suka tidur siang atau sore bahkan pagi. Perutku juga sedikit mual-mual, terus hampir setiap waktunya aku muntah, kepalaku juga selalu pusing." Samudera berpikir. "Apa mungkin aku ... hamil." Tebaknya dengan wajah polos.
Pria yang ada di hadapan Samudera menggelengkan kepalanya. "Kehilangan nafsu makan, terkadang nyeri di persendian tubuh, hidung berdarah ketika kau pusing ... sama sekali kau tidak hamil, Sam, dan kau juga seorang cowok mana bisa kau hamil, memangnya juga kau telah melakukan itu dengan pacarmu."
Samudera menyangkal dengan cepat. "Kau bercanda?! Jelas saja nggak. Pacar aja nggak punya."
Dino menatap Samudera. "Leukimia, Sam. Kau ... kau menderita leukimia stadium tiga." Dino gelisah, berkali-kali matanya menatap Samudera. "Kenapa kau nggak kasih tau kakak semua ini? Kenapa baru sekarang kau datang setelah kakak memintamu sejak dulu. Saat pertama kali merasakan gejalanya."
Samudera tampak bingung. "Apa sih maksud Ka Dino, leukimia apa? Aku menderita apa? Kenapa kak Dino kayak gini."
Dino mengembuskan napas panjang, matanya menatap Samudera. "Kau nggak tau kalau kau menderita penyakit leukimia, kanker darah stadium tiga."
"Apakah berbahaya?"
Ingin rasanya Dino memukul Samudera sekarang juga saking kesalnya pada apapun yang dirasakannya saat ini. "Itu artinya hidupmu nggak akan lama lagi. Kebanyakan orang hanya bertahan empat sampai enam bulan."
Barulah saat itu Samudera mengerti. "Tapi ... selama ini aku baik-baik aja. Aku—aku." Samudera tak bisa berkata-kata, tiba-tiba saja lidahnya terasa kelu. "Bagaimana bisa hal ini terjadi, aku hidup dengan baik."
Mau tak mau Dino menjelaskan bahwa sebenarnya penyakit itu sudah ada sejak empat tahun yang lalu, semakin lama, penyakit itu semakin berkembang. Karena Samudera adalah tipe orang yang cuek, dia jadi mengabaikan segala gejala leukimia yang bisa ditangangi dengan cepat seandainya Samudera memeriksakan kondisinya beberapa tahun atau beberapa bulan yang lalu.
"Maaf dulu kakak mengambil sampel darahmu tanpa izin. Kakak hanya sedikit penasaran, tapi kakak nggak tau kalau penyakit itu akan berkembang cepat. Sejauh ini hanya kemoterapi yang bisa kulakukan. Kakak nggak tau apa itu akan sepenuhnya mengobatimu atau nggak, hanya saja—"
Meskipun sebenarnya Samudera sedikit terkejut namun dia tersenyum juga. "Jangan cemas! Aku bakal baik-baik saja, bukankah selama ini juga seperti itu."
"Tapi ini persoalannya berbeda, Sam."
"Aku tau. Lagi pula aku sudah memprediksikan hal ini." Lagi-lagi dia tersenyum. "Di mana aku harus berada di posisi ini, walaupun sedikit sakit tapi aku harus menerimanya."
Dino menatap Samudera tak percaya.
"Saat aku melihatnya, harusnya aku tahu peringatan itu akan segera datang."
Dino tak mengerti ucapan sepupunya ini, namun dia juga tak ingin tahu. "Kakak akan menjadwalkan kemo untukmu secepatnya, tapi pertama-tama kakak harus menghubungi Paman Henry dan—"
Samudera memegang tangan Dino. "Jangan kasih tau mereka, kumohon! Hidup mereka telah sempurna, dan aku nggak ingin menghancurkannya hanya karena kau memberi tahu mereka omong kosong."
"Omong kosong katamu!" teriak Dino kesal. "Ini hidupmu, hidupmu di ambang kematian dan kau tidak ingin satu pun dari mereka mengetahui kondisimu yang sebenarnya."
Samudera tersenyum kecil. "Ini juga hal yang berat untukku, Ka Dino. Tapi kumohon aku nggak ingin hidup sempurna mereka hancur karenaku, kakak juga nggak perlu membuatkanku jadwal kemo."
"Ada denganmu, untuk saat ini hanya itu satu-satunya jalan untuk—"
"Ini sudah sangat sakit dan aku nggak ingin menambah rasa sakitnya lagi. Jika memang aku akan mati dalam waktu dekat, maka biarkanlah."
"Kenapa kau jadi gampang menyerah begini, Sam. Kakak bisa usahakan untuk mengobatimu ..."
Samudera tersenyum, dia menyampirkan ranselnya ke bahu. "Terima kasih untuk semuanya, tenang saja aku akan bertahan hidup sampai waktuku habis, dan ... terima kasih juga karena sudah mencemaskanku. Kau mungkin satu-satunya orang yang peduli padaku saat semua orang meninggalkanku. Senang rasanya bisa punya sepupu kayak Kak Dino."
Dino mengembuskan napas panjang, menatap kepergian sepupunya dengan pandangan sendu. Merasa heran sendiri dengan ketegaran yang dimiliki oleh Samudera. Hidup sepupunya itu telah berat, dan sekarang bertambah satu beban berat yang tak mungkin Samudera hilangkan.
Samudera menyandarkan kepalanya ke jendela bus TransJakarta, menatap ke arah jalanan dengan pandangan kosong. Entah sudah berapa lama dia duduk di sini, satu jam, dua jam, atau tiga jam bahkan dia tidak mengingatnya. Dia hanya ingin menjernihkan kepalanya yang kacau. Samudera mengambil sesuatu dari dalam sakunya, dompet miliknya dengan foto seseorang yang selalu membuat hatinya tenang.
"Hari ini tiba waktunya," gumamnya mengusap wajah orang itu dengan ibu jarinya. Bibirnya tersenyum meskipun matanya berkaca-kaca. "Apa yang harus kulakukan, waktuku nggak banyak lagi."
Samudera memejamkan matanya dan saat itu air mata mengalir menuruni pipinya. Dia tidak bisa kuat seperti kebanyakan orang, meskipun hidupnya tidak ada yang berarti, meskipun hidupnya menderita tapi dia ingin tetap hidup. Ingin lebih lama melihat dunia ini, bahkan dia belum bertemu dengan saudaranya dan ... ibunya.
Dia mengalihkan perhatiannya ke atas bus sambil tersenyum sedih. "Bahkan aku belum menyelesaikan semuanya."
Pada akhirnya Samudera berhenti di depan sebuah rumah cukup besar dengan taman yang cukup luas. Entah mengapa dia pulang ke rumah ayahnya bukan ke apartemen yang sudah ditinggalinya hampir tiga tahun ini. Namun kepalanya akan semakin pusing jika terus diajak berpikir, maka dari itu tanpa banyak kata lagi Samudera melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah mewah tersebut.
Namun suasana hening dan sepi menyambutnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tidak ada siapapun di dalamnya, padahal biasanya terkadang rumah ini selalu ramai oleh anak kecil yang merupakan adik tirinya dari wanita yang dinikahi ayahnya setelah perceraian kedua orang tuanya dulu.
"Papa mana bi?" tanya Samudera pada seorang wanita paruh baya yang bekerja di rumahnya sudah sangat lama.
Bi Erna terkejut melihat kedatangan Samudera yang terbilang sangat jarang terlihat di rumah ini. Namun bibirnya melengkungkan senyuman lembut khas seorang ibu. "Den Sam?! Ya ampun, bibi nggak tahu kalau aden mau pulang ke sini. Bagaimana kabar aden? Den Sam makan dengan baikkan di sana."
Samudera terkekeh, dia melangkah maju mendekati bi Erna dan memeluk wanita itu seperti dia memeluk ibunya. Yahh, bi Erna sudah Samudera anggap sebagai ibunya. Wanita lembut itulah yang merawatnya setelah ibunya pergi meninggalkannya.
"Sam kangen sama bi Erna. Kenapa bi Erna nggak datang ke apartemen Sam? Padahal tiap hari Sam nunggu bi Erna loh. Dan Sam baik-baik saja, setidaknya."
Bi Erna memperhatikan wajah cowok itu lalu menghela napas panjang. "Bibi nggak mungkin datang ke sana tiap hari, den Sam, juga tahu kadang bibi di sini sibuk."
"Ahh, ya bi Erna kan bantu Mama ngurus Galih," kata Samudera teringat pada Mama dan adik tirinya.
"Maaf."
"Kenapa harus minta maaf? Sam malah seneng, Mama jadi nggak repot ngurus Galih yang bandelnya minta ampun. Oh iya mereka mana?" tanyanya melihat ke sekeliling rumah yang sepi.
Bi Erna tampak enggan menjawab pertanyaan Samudera. "Mereka sedang pergi makan malam di luar."
Samudera tampak kecewa untuk sesaat sebelum akhirnya dia tersenyum lebar. Bukan salahnya jika Papanya tidak mengajaknya makan malam bersama, salahnya sendiri yang mengasingkan diri dari keluarganya.
"Ohh," sahutnya melihat jam tangannya yang menunjukan pukul delapan malam, kemungkinan besar kedua orang tuanya akan pulang satu jam lagi. Dia bisa menunggunya lalu pulang ke apartemen.
"Bibi buatin minum ya? Den Sam sudah makan? Biar bibi buatin juga."
Samudera tersenyum lebar. "Nggak perlu bi, Sam bisa buat sendiri. Lebih baik sekarang bibi istirahat aja, udah malam juga."
Wajah bi Erna terlihat ragu. "Tapi—"
"Nggak papa, bi. Sam udah makan di jalan tadi," dustanya. "Bibi istirahat aja, Sam nunggu ayah pulang. Kangen juga sama Galih."
Pada akhirnya bi Erna pamit pergi setelah dipaksa oleh Samudera yang tidak tega melihat wanita itu bekerja di malam hari. Dia memainkan ponselnya, membalas pesan yang dikirimkan oleh kedua sahabatnya yang memberitahukan kalau bu Fatma tahu tadi siang dia bolos lagi.
"Aishh, tante kejam itu!!" gumam Samudera mendecih pelan.
Sudah hampir dua jam dia menunggu namun kedua orang tuanya belum juga pulang. Dia tidak mungkin pulang saat ini mengingat mobil dan motornya dia simpan di basement apartemen, sedang kendaraan umum? Bahkan Samudera ragu masihkah ada kendaraan umum di jam segini. Ada sih ojek, namun akan terlalu jauh dari sini menuju apartemennya. Ahhh, beginilah risikonya tinggal jauh dari rumah.
Pada akhirnya Sam memilih naik ke kamarnya yang sudah ditingggalkannya hampir tiga tahun. Keadaannya masih tetap sama, tidak ada yang berubah. Sepertinya Hania—Mama tirinya—tidak berniat untuk mengganggu ataupun memberikan kamarnya pada Galih.
Samudera membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. Sepertinya mulai sekarang hidupnya akan berubah, dia tidak lagi memiliki waktu banyak. Meskipun Dion bilang kalau dia bisa bertahan empat sampai enam bulan namun tidak ada yang tahu takdir yang ditulis oleh Tuhan. Bisa saja Samudera bisa hidup lebih lama dari waktu yang ditentukan, bisa juga Samudera hidup kurang dari waktu yang ditentukan.
Mendapatkan sebuah ide konyol, Samudera buru-buru bangun dari tidurnya, dia mencari sesuatu di lacinya. Sebuah handycam, dia menyimpan kamera perekam tersebut di tumpukan buku yang sudah dia kumpulkan sebelumnya. Kemudian menarik kursi meja belajarnya agar sejajar dengan posisi kamera.
Ketika semuanya telah siap, Samudera duduk di atas kursi tersebut sambil menghadap ke arah kamera. Dia tersenyum cerah dan melambaikan tangannya sebagai sapaan.
"Emmhh, aku nggak tau kenapa aku tiba-tiba punya ide konyol kayak gini." Samudera berkata, tersenyum dengan kening berkerut. "Kata ka Dion aku menderita penyakit leukimia. Aku nggak tau seperti apa percisnya penyakit itu tapi kata ka Dion itu adalah penyakit yang cukup serius hingga hidupku bisa menjadi taruhannya. Dan yang aku tau kalau hidupku nggak akan lama lagi.
"Dan karena itu aku mau menceritakan seluruh sisa hidupku. Aku akan menceritakan semuanya hingga nggak ada yang kelewat sampai waktuku habis, sampai nggak ada bahan yang bisa kuceritakan pada kalian."
Samudera tersenyum lebar. Meskipun sebenarnya matanya berkaca-kaca, dia berbicara pada kamera bahwa matanya kelilipan, karena perih dia usap saja.
"Aku melihatnya, aku nggak pernah menyangka kalau kami akan bertemu lagi. Sungguh menyenangkan, namun aku tau saat itu juga; akan ada sesuatu yang akan terjadi padaku. Dan aku mengetahuinya sekarang."
***