Bab 1
Tale One
Hari itu SMA Century kedatangan murid baru, pindahan dari Bali. Hampir semua orang ribut membicarakannya, bukan karena dia murid yang cantik atau tampan, bukan juga karena prestasi yang diraihnya, melainkan tingkat statusnya yang cukup rendahan karena masuk ke dalam sekolah ini melalui jalur beasiswa yang disediakan oleh pihak sekolah bagi siswa yang tak mampu namun berprestasi.
Jauh di belakang sana, di sebuah kantin yang cukup terpencil di SMA Century namun cukup nyaman untuk dijadikan tempat tongkrongan terlihat segerombolan murid sedang duduk di sana sambil memakan sesuatu atau sekedar merokok.
"Jadi yang mana murid baru itu? Gue denger Citra sama gengnya udah ngebully dia." Salah satu dari mereka berkata, menginjak rokoknya yang sudah habis dia hisap.
"Tunggu aja, biasanya dia datang lewat belakang sekolah."
"Kenapa nggak lewat depan?" tanyanya heran.
"Malu kali, dia kadang suka pake sepeda ke sininya."
Cowok yang sedari tadi diam ikut bicara. "Siapa yang kalian maksud?"
Kedua temannya sontak menoleh. "Cewek yang baru pindah dua hari yang lalu. Anak-anak pada bully dia."
"Kenapa?"
"Lo itu udah lupa atau apa sih, Sam?" Dion menggeram kesal, tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya. "Anak-anak ngelakuin semua itu sama murid pindahan. Katanya mereka harus diospek dulu, tergantung tingkatannya. Jika yang pindah berasal dari keluarga kaya dan berpengaruh maka mereka hanya mengospek mereka nggak terlalu keras cuma ngenalin sekolah ini. Tapi jika mereka datang lewat jalur beasiswa, maka orang-orang bakal bully dia sampe parah."
"Gue baru tau ada aturan macam itu," kata Samudera dengan polosnya. Entah karena dia memang tidak peduli pada lingkungan sekitar sehingga tidak mengetahui apapun atau karena dia memang tidak pernah tahu karena setiap harinya dia selalu bolos sekolah.
"Makanya jangan bolos melulu, gaul dikit kek." Kali ini Reno yang memberi nasihat.
Samudera mendecih pelan, protes karena dia juga mengetahui peraturan aneh itu hanya saja dia kelupaan makanya jadi bertanya lagi dan lagi pula dia bergaul dengan cukup baik, nyatanya tak ada seorang pun yang mengganggunya dan juga dia memiliki Reno dan Dion sebagai sahabat.
Dion menggelengkan kepalanya tak percaya dengan kelakuan aneh sahabatnya. "Itu sama saja kali, Sam. Lo nggak ada yang ganggu karena mereka takut sama lo."
"Lahh, emangnya gue berbuat apaan sampai ditakuti, berantem juga jarang."
Kali ini giliran Reno yang kesal, dia meneloyor kepala Samudera gemas campur kesal. "Buat apaan katanya? Lo beneran lupa?! Lo masih ingat setahun yang lalu waktu lo mukul Fero karena lo kesal liat dia bully anak cowok culun? Terus ditahun kedua lo nggak sengaja nyiram Citra lalu berakhir adu pukul sama pacarnya. Beruntung lo menang telak dari si Vano-Vano itu.
"Asal lo tau aja sejak saat itu lo ditakuti sama semua orang. Nggak ada yang berani deket-deket atau cari masalah sama lo. Makanya selama ini lo hidup aman sentosa tapi emang dasarnya lo agak aneh lo nggak nyadar aja sama semua yang terjadi."
Samudera menganggukan kepalanya bego, tak paham juga apa yang dikatakan oleh Reno. Yang ditangkap otaknya hanyalah dia tidak diganggu karena semua orang takut padanya padahal dia tidak melakukan hal-hal yang menurutnya cukup heboh.
"Ya udah deh kalau gitu. Gue pergi dulu," katanya berdiri.
Refleks Reno dan Dion menatapnya dengan kening berkerut. "Emangnya lo mau ke mana? Bentar lagi bel bunyi."
Samudera mengangkat bahunya tak acuh. "Biasa. Ada urusan yang harus gue selesein."
"Tapi sayangnya hari ini lo nggak bisa bolos, Sam. Bu Fatma udah manggil lo dari tadi. Nih orang yang bu Fatma suruh," kata Dion menunjuk pada seorang cewek yang menundukan kepalanya takut mungkin karena melihat Samudera.
Cowok itu terkekeh pelan, dia menyampirkan ranselnya ke bahu kiri dan berjalan masuk ke dalam sekolah. Untuk kali ini dia tidak ingin dihukum oleh bu Fatma yang terkenal galak dan menakutkan saat menghukum murid-murid yang melanggar aturan sekolah.
Sesampainya di depan pintu Samudera mengetuk pintu sebelum akhirnya masuk ke dalam. Menampakan sosok wanita paruh baya yang sedang asik dengan buku yang dibacanya. Perlahan Samudera duduk meskipun bu Fatma tidak mempersilakan Samudera duduk.
"Selamat pagi, anda memanggil saya, bu?" tanya Samudera sambil tersenyum.
Bu Fatma menurunkan kaca matanya, menatap Samudera lalu menggelengken kepalanya. Geram bercampur senang pada akhirnya Samudera mau menerima panggilannya setelah dia mencoba hampir sepuluh kali.
"Ibu kira kamu tidak akan datang."
Samudera cengengesan, dia bersikap polos seolah dia menyesali segala perbuatannya. "Yahh, kok, ibu bicaranya begitu? Saya kan anak baik. Dan sebagai anak baik sudah sepantasnya bagi saya untuk datang menemui anda."
"Anak baik apanya? Anak baik tidak akan bolos hampir dua minggu sepertimu." Bu Fatma berkata berang yang hanya dibalas cengiran lebar oleh Samudera. Siswa tampan itu berkata kalau dia ada sesuatu yang harus dilakukannya saat bolos sekolah.
"Memangnya keperluan apa sehingga kamu harus bolos hampir seminggu lebih."
Samudera mengerutkan keningnya, berpura-pura berpikir. "Wahh, itu sih rahasia bu. Saya nggak bisa kasih tau ke ibu sekarang nanti seseorang marah pada saya."
"Memangnya kamu kerja paruh waktu? Apa Henry tahu hal ini?"
Samudera memutar bola matanya ketika bu Fatma menyebut nama ayahnya yang selama ini selalu dihindarinya. Oh bukan, tepatnya Henry-lah yang selalu menghindarinya dengan alasan sibuk pekerjaan.
"Saya nggak kerja paruh waktu, bu. Papa ngasih uang banyak tiap bulannya kok. Tapi ... ada suatu hal yang sedang saya selidiki." Mendadak wajah Samudera berubah serius. "Ini sangat penting, hal ini nggak boleh diketahui sama siapapun."
Bu Fatma agak ragu. Samudera melanjutkan ceritanya. "Seminggu ini saya sedang menyelidiki sesuatu yang ganjil. Yang menurut semua orang aneh. Anda tau apa? Saya ... kucing saya hilang bu. Makanya setiap hari ini saya bolos sekolah buat nyari kucing saya yang hilang. Saya benar-benar sedih kehilangan Jojo, dia teman saya selama ini tapi sekarang malah hilang, ibu bisa merasakan kesedihan saya yang ditinggal pergi sama orang yang saya sayangi? Rasanya sakit banget."
Sesaat bu Fatma terpana dengan perilaku Samudera yang diluar dugaan juga menyebalkan minta ampun. Apa siswanya yang satu ini sudah gila atau apa? Bisa-bisanya cowok itu bersikap lebay hanya karena seekor kucing.
"Kucing itu hewan bukan orang." Hanya kata itulah yang keluar dari mulut bu Fatma saking takjubnya melihat tingkah Samudera.
"Ya tapi bu. Bagi saya Jojo adalah orang yang paling saya sayangi, hanya dia satu-satunya orang yang menemani saya di saat saya senang dan susah. Dan akhir-akhir ini saya kesepian, tidak ada teman curhat dan ngobrol."
Cowok satu ini benar-benar sudah gila.
Bu Fatma menggelengkan kepalanya, dia mengatur posisi duduknya hingga benar-benar menghadap Samudera. Dia memberitahukan hukuman yang akan diterima Samudera karena bolos seminggu lebih, pihak sekolah akan menghubungi orang tua Samudera atas kenakalan anak mereka, meskipun Samudera berkata; akan percuma bagi mereka memanggil orang tuanya karena sampai kapan pun mereka tidak akan datang, namun bu Fatma tetap keukeuh akan memanggil orang tua Samudera sesuai prosedur yang berlaku.
"Untuk saat ini kamu dihukum mengepel kantin utama sekolah dan lorong ruang guru."
Samudera hanya menganggukan kepalanya, seolah hukuman yang diberikan oleh bu Fatma bukan persoalan yang sulit.
"Ibu yang akan menyerahkan surat ini pada ayahmu. Sekarang kamu boleh pergi."
Pada akhirnya Samudera berdiri, matanya yang bewarna cokelat menatap bu Fatma sambil tersenyum sangat tipis. "Apakah ini rencana Tante untuk membuat Papa melihatku?"
Bu Fatma memandang Samudera, mengetahui kalau cowok itu sedang tidak bersikap layaknya murid-guru.
Samudera tersenyum miris. "Tante nggak perlu melakukannya," katanya pelan. "Aku nggak ingin mengganggu mereka. Biarkan saja seperti ini, dengan begitu aku akan baik-baik saja." Kemudian Samudera mengambil amplop itu dari meja bu Fatma dan memasukannya ke dalam ransel.
"Meskipun begitu, maafkan saya. Ini kali terakhir saya bolos sekolah, saya janji. Mulai saat ini saya akan sekolah dengan benar."
Bu Fatma masih memandangi Samudera dengan pandangan sendu. "Tante nggak bisa berbuat apa-apa lagi kan? Sebaiknya kamu segera pergi, bel masuk udah bunyi dari tadi."
Samudera tersenyum ceria, dia memberi hormat kepada bu Fatma sebelum akhirnya meninggalkan guru sekaligus tantenya di dalam ruangannya.
Lorong sekolah sudah sepi karena semua muridnya sudah pada masuk ke dalam kelas. Sambil membawa peralatan pel Samudera berjalan dengan tenang, kedua telingnya dia tutupi dengan headphone, sesekali tangannya bergerak-gerak mengiringi musik yang didengarnya.
"Benarkan kata gue, kalau Beethoven lebih bagus daripada Bob Marley," gumamnya saat musik klasik yang diciptakan oleh komposer terkenal dunia, Beethoven mengalun dengan berisiknya di telinga Samudera.
Dia mengangguk-anggukan kepalanya, mengikuti irama musik yang mengalun di telinganya. Langkahnya seketika terhenti ketika melihat segerombolan murid sedang mengejek seorang cewek yang berada di tengah-tengah mereka. Samudera menggelengkan kepalanya, jika semua murid itu terus berada di sana kemungkinan besar pekerjaannya akan lama diselesaikan.
"Wahhh, liat wajahnya. Songong banget! Heh lo itu harusnya nyadar, lo itu nggak pantes ada di sini, harusnya lo sekolah di tempat lo yang kumuh."
"Apa lo bisu? Ohhh ternyata murid baru ini juga gagap. Ahh, kenapa pihak sekolah mau-maunya nerima dia."
Samudera mengembuskan napasnya, perlahan dia mulai membawa gagang pel sambil menghampiri segerombolan murid yang sedang membully murid baru itu.
"Bisakah kalian minggir?!" tanyanya setengah kesal dan setengah cuek.
Refleks semua orang yang ada di kantin itu menatap Samudera dengan terkejut. Mungkin mereka salah paham maksud Samudera sebenarnya. Melihat cowok itu memegang pel, mereka mengira kalau Samudera akan melawan mereka karena telah mengganggu cowok itu atau karena setidaknya membuat Samudera sedikkt terganggu dengan acara ribut mereka.
"Sa—Samudera?!"
Samudera menaikan sebelah alisnya sebagai tanda sahutan. "Ini memang gue, bisa kalian minggir? Kalian menghalangi jalan gue. Oh atau ... kalian mau gue pel?"
Semua murid yang sedang berkumpul itu menjerit ketakutan, ada yang meminta maaf sambil memohon untuk tidak memukuli mereka, ada juga yang kabur ketakutan karena takut Samudera memukuli mereka dengan gagang pel.
Samudera tersenyum sangat lebar ketika melihat kantinnya telah bersih dari semua orang. Kini dia bisa melaksanakan tugasnya dengan tenang, aman dan sentosa setelah itu baru deh dia bisa bolos sekolah secepat mungkin.
"Eh lo nggak pergi?" tanyanya pada cewek yang tadi dibully sama orang-orang.
Ketika mata cokelat Samudera bertemu pandang mata cewek yang katakanlah ditolongnya tadi, dia merasa ada sesuatu yang aneh dirasakannya. Bahwa cewek ini sangat mirip dengan cewek yang ditemuinya dulu sewaktu dia SMP, empat tahun yang lalu.
"Nama lo siapa?" Samudera bertanya lagi, kali ini dengan nada cukup dingin.
Cewek itu mengerutkan keningnya dan menatap Samudera dengan mata beningnya. "Walaupun sebenarnya gue nggak mau, tapi makasih udah bantu gue ngusir semua orang yang berniat bully gue."
Samudera mencekal tangan cewek itu dan menatapnya tajam. "Jawab gue! Siapa nama lo?!" bentaknya sedikit frustrasi.
Cewek itu terkejut dengan bentakan Samudera, dengan kesal dia menghentakan tangan Samudera meskipun itu adalah hal yang sia-sia. "Jangan pake teriak juga kali. Nama gue Ayya puas!" bentaknya balik.
Samudera menyunggingkan senyum. "Dari tadi dong gitu. Bukannya nunggu gue marah dulu."
Ayya memejamkan matanya, berusaha untuk meredam emosinya yang tiba-tiba saja memuncak gara-gara cowok aneh satu ini. Sekali lagi dia menghentakan tangannya, dan kali ini berhasil karena tanpa diminta Samudera melepaskan cekalannya sambil tersenyum lebar.
Tanpa kata-kata lagi Ayya meninggalkan Samudera sendirian di kantin. Sedangkan Samudera sendiri terdiam cukup lama sebelum akhirnya tersadar kalau dia harus segera menyelesaikan hukumannya agar dia bisa bolos sekolah lagi. Namun tiba-tiba saja Samudera terdiam, perlahan dia mengambil ponsel yang berada di saku celananya.
"Samudera—"
"Bisakah kita bertemu nanti siang?" tanyanya pelan.
***