Ich Liebe Dich Part 3
Pagi ini adalah hari kepulangan Joe dari rumah sakit. Karena hari ini ia pulang, Angi bahkan rela mengambil cuti dari pekerjaannya.
"Joe, du kannst eine Weile in meinem Haus bleiben, bis du vollständig geheilt bist. Auch wenn es nicht luxuriös ist, ist mein Haus zumindest sicherer*.”
(*Joe, untuk sementara waktu kamu bisa tinggal di rumah aku sampai kamu sembuh total. Walau tidak mewah setidaknya rumah aku lebih aman.)
Joe menatap mata Angi yang bulat dan berwarna coklat itu. Memang sejak dua hari lalu ketika ia meminta Angi untuk tidak mendiamkannya, Angi sudah kembali menjadi Angi yang awal ia kenal dulu, begitu ramah dan ceria. Bukan hanya kepadanya namun kepada semua orang.
Walau Angi begitu polos karena tidak menggunakan apapun di wajahnya. Namun kebaikan hatinya telah mampu memancarkan kecantikannya.
" Hast du keine Angst, dass ich ein Dieb bin, der in deinen Safe zu Hause einbricht?*"
(*Kamu tidak takut jika aku adalah pencuri yang akan membobol brangkasmu di rumah?)
Bukannya menanggapi kata kata Joe, Angi justru tertawa di samping Joe hingga memukul lengan Joe.
"Warum sollte ich Angst haben, wenn ich kein Vermögen zu Hause habe. Ich habe nur genug Geld zum Essen*.”
(*Kenapa aku mesti takut kalo aku tidak memiliki aset apapun di rumah. Uang aku juga cuma cukup buat makan saja.)
"Okay, hast du keine Angst, dass ich dich vergewaltige?”
(Okay, kamu tidak takut aku memperkosamu?)
"Nein."
"Warum?*" (*Warum artinya kenapa dalam bahasa Jerman)
"Weil ich Jiu Jitsu gemeistert habe und es gereicht hat, dich zu stürzen*.”
(*Karena aku menguasai Jiu Jitsu dan itu cukup untuk menggulingkan kamu.)
Kini mata Joe membelalak mendengar pengakuan Angi.
"Ja, lass uns nach Hause gehen*.” kata Joe sambil keluar dari ruangannya. (*Ya sudah ayo kita pulang)
Angi hanya bisa menatap Joe yang bertubuh tinggi besar itu perlahan menjauh darinya. Angi tidak pernah menyangka jika pria yang ia tolong adalah salah satu mahluk ciptaan Tuhan yang mungkin akan banyak membuat kaum wanita rela menyerahkan dirinya begitu saja. Karena pesona yang Joe miliki terlalu kuat, jika ia hanya laki laki biasa.
Setelah menyelesaikan administrasi rumah sakit, Angi mengajak Joe untuk menaiki sebuah taxi menuju ke rumahnya di salah satu kawasan yang ada di Berlin. Entah bagaimana Angi bisa betah tinggal di salah satu kota yang melegalkan prostitusi, bahkan memiliki banyak kasino mewah. Mamanya saja sampai heran dulu bagaimana ia bisa betah tinggal di salah satu kota di dunia yang termasuk dalam daftar kota yang mendapatkan julukan "city of sin" alias kota pendosa.
"Wer ist in deinem Haus?*”Tanya Joe ketika mereka ada di dalam taxi (*Di rumah kamu ada siapa?)
"Ich lebe nur alleine.*”
(*Aku hanya tinggal sendiri.)
"Familie?*” (*Keluarga?)
"In Indonesien.*” (*Di Indonesia)
"Bali?" Itu adalah yang terlintas di kepala Joe ketika ia mengingat Indonesia.
"Nicht dort, sondern in Jogja*.” (*Bukan di sana tetapi di Jogja.)
"Entschuldigung, ich weiß es nicht*.”
(*Maaf, aku tidak tau.)
"Es ist okay, entspann dich einfach," kata Angi sambil tersenyum (*Nggak pa-pa santai saja)
Beberapa menit kemudian mereka sampai di sebuah rumah sederhana Yang ada di pinggiran kota Berlin.
Rumah yang sederhana menurut Joe, namun cukup nyaman karena memiliki halaman yang cukup luas dan asri.
"Komm schon Joe, lass uns reingehen."(Ayo, Joe kita masuk)
"Okay."
Jo memasuki rumah Angi yang sederhana itu, yang ia temukan pertama kali di rumah tersebut adalah foto berukuran besar yang di ambil di depan rumah Angi dengan banyak anggota keluarga Angi yang ada di sana.
"Warum schaust du dir meine Familienfotos so an?” (Kamu kenapa lihatin foto keluarga aku begitu?)
"Es stellt sich heraus, dass du viele Geschwister hast, huh?*” (Ternyata kamu punya banyak saudara, ya?)
"Ja, viele, aber unterschiedliche Eltern. Das ist mein großes Familienfoto von Mamas Seite*.” (Iya banyak, tapi beda orangtua. Itu foto keluarga besar aku dari pihak Mama.)
"Sieht so aus, als wären Sie beide glücklich und verstehen sich*.” (Sepertinya kalian bahagia dan akur.)
Kini Angi menyedekapkan tangannya di depan dada sambil ikut memandang foto keluarga besar Raharja yang ia rindukan kegilaannya.
"Alhamdulillah, wenn du das so siehst. Selbst wenn wir zusammenkommen, wird das Verstehen zu einem Wort, das weit von der Realität entfernt ist.*” (*Alhamdulillah, kalo kamu melihatnya seperti itu. Walau ketika kami berkumpul, akur menjadi satu kata yang jauh dari kenyataan yang ada.)
"Warum?" (*kenapa)
"Weil Adam der Typ Mensch ist, der Menschen süchtig machen kann, ihn schlagen zu wollen. Okay, gehen wir ins Zimmer*.” (*Karena Adam adalah tipe manusia yang mampu membuat orang ketagihan ingin menghajarnya. Ya sudah, ayo kita ke kamar.)
Joe kaget mendengar kata kata Angi. Jika ia harus sekamar dengan Angi, ia tidak bisa menjamin "keselamatan" Angi seutuhnya karena ia yakin tidak bisa mengontrol gairahnya kepada wanita yang telah menyelamatkan nyawanya ini.
"Joe, du kannst hier eine Weile schlafen*.” (*Joe, kamu bisa tidur di sini untuk sementara waktu.)
"Wir sind Mitbewohner?*” (*Kita sekamar?)
Kini Angi terkekeh-kekeh di sebelah Joe. Tinggi Angi yang hanya seleher Joe membuat Joe harus menundukkan pandangannya melihat Angi.
"Tidak, aku tidur di ruang keluarga. Kamu pakai kamar ini sampai kamu sembuh. Ya sudah, aku keluar dulu, mau belanja isi kulkas habis. Kamu istirahat saja."
Belum sempat Joe membalas, Angi sudah pergi dari hadapannya. Untuk pertama kalinya dalam hidup Joe. Ia bertemu wanita yang rela mengalah pada seorang pria, bahkan menolong tanpa pamrih sama sekali.
Setelah Angi pergi, Joe keluar dari kamar dan mencari telepon, kemudian ia menghubungi orang kepercayaannya.
Setelah memencet nomer telpon rumahnya dan di angkat oleh Allan.
"Hallo Luwin," kata Joe pada Allan Luwin
"Hallo Mr. Hamann Aku menunggu kabarmu."
"Aku baik baik saja. Tolong kamu kirimkan pakaianku beserta handphoneku ke alamat ...." Joe menyebutkan alamat rumah Angi dan mau tidak mau di sebarang telepon Allan langsung mencatatnya.
"Kirimkan sekarang juga."
"Baik Mr. Hamann segera saya laksanakan."
Setelah satu jam akhirnya Joe mendapatkan apa yang ia butuhkan untuk tinggal di rumah Angi sementara waktu.
"Tuan, kenapa anda tidak pulang saja?" Tanya Allan pada Joe
"Sepertinya aku butuh mengistirahatkan tubuh dan pikiranku di sini. Tolong rahasiakan keberadaanku."
"Baik Tuan."
"Kamu pergi dari sini, sebelum dia pulang"
Allan hanya menganggukkan kepalanya. Walau sedikit heran tapi ia tidak protes atas perintah Joe kepadanya. Sungguh bukan Joe yang biasanya ia kenal. Karena bagi Joe time is money. Tapi kenapa kini ia rela meninggalkan "kerajaannya" begitu saja
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, kini Angi menemui Elizabeth disalah stau cafe karena Elizabeth ingin meminta tolong kepada Angi.
"Hai Ngi," kata El sambil mulai duduk di kursi yang ada di hadapan Angi
"Hai, ada apa?"
"Mumpung kamu masih cuti siang ini. Kamu cari Nick di casino casino yang ada di Berlin. Dia membawa uang perusahaan ke casino."
Angi menghela nafas pasrah. Bagaimana caranya ia masuk ke tempat seperti itu. Walau tinggal di Berlin ia belum pernah memasuki tempat tempat seperti itu
"Kamu kalo minta tolong yang masuk akal. Aku belum pernah masuk ke tempat tempat seperti itu."
"Masukin saja satu per satu."
"Aku nggak mau El. Nanti salah salah aku yang dapat pelecehan di sana. Dikira aku wanita penghibur"
Mau tidak mau El tertawa di hadapan Angi.
"Yang benar saja, kamu itu terlalu flat Ngi. Nggak ada seksi seksinya."
"Danke. Kalo begitu kenapa tidak kamu saja?"
"Aku masih mengoreksi mundur hari ini untuk menemukan lebih banyak bukti."
"Apa harus sekarang?"
"Semakin cepat semakin baik. Sudah ya Bye Angi."
"Bye"
Angi hanya melihat El sudah berlalu keluar dari cafe. Angi hanya bisa memegangi kepalanya. Jika saja perusahaan mau langsung melaporkan kepada pihak yang berwajib, masalahnya perusahaan ingin meminta keterangan dari Nick dan berharap Nick mengembalikan uang perusahaan yang di ambilnya, namun Angi pesimis dengan semua itu. Dengan perasaan kesal, Angi bangkit dari kursinya dan segera pulang ke rumah.
***