Bab 2
Mendapat desakan dari ibu, dua bulan setelah Shania keguguran, Shania hamil lagi.
Kali ini, demi keselamatan bayi dalam kandungannya, Shania tidak mengizinkan ibuku merawat bayinya.
Dia kembali ke rumah ibunya hingga hari kelahiran tiba.
Aku senang melihat istriku melahirkan seorang gadis kecil yang berharga bagiku.
Ibuku memandang Shania dengan wajah dingin dan tidak bahagia.
Aku tidak tahu apa yang membuat ibu marah.
Shania menjaga putri kami setelah dia kembali ke rumah.
Hari ini adalah satu bulanan putri kami.
Awalnya, ibu tidak ingin merayakan satu bulan pertama putri kami.
Dia bilang melakukan itu hanya akan membuang-buang uang.
Aku sangat kesal dengan sikap ibu yang seperti ini.
Meskipun yang dilahirkan istriku adalah seorang anak perempuan, dia tetap darah dagingku, anak yang paling aku cintai.
Atas permintaanku, ibu akhirnya bersedia membuat perayaan satu bulanan.
Pada hari perayaan.
Shania menggendong bayi kami. Setelah menyusuinya di kamar lantai dua, dia bersiap untuk keluar, menemui kerabat dan teman-temannya.
"Ibu saja yang gendong, kamu bantu Shania jalan."
Shania menatap ibu, memeluk erat bayinya dan tidak ingin melepaskannya.
"Para tamu sudah menunggu, berikan bayinya."
Ibu mendesak sambil membuka tangannya, mengisyaratkan akan menggendong anak kami.
"Sayang, berikan bayinya kepada Ibu. Ibu juga belum pernah menggendongnya. Ibu juga nenek dari putri kita."
Melihatku berbicara seperti itu, Shania akhirnya memberikan bayinya untuk digendong ibu.
Ibu menyuruhku untuk membantu Shania turun ke bawah terlebih dahulu.
Dia mengikutiku dan Shania, dengan bayi dalam gendongannya.
Aku membantu Shania menuruni tangga selangkah demi selangkah, membelakangi ibu.
Suara tawa ibu yang menggoda putri kami masih terdengar di belakang kami.
Ketika kami sampai di lantai bawah, terdengar suara dentuman keras.
Anak perempuan kami mati kehabisan darah di tempat di depanku dan Shania.
Ibu juga jatuh dari tangga.
Dahinya berdarah, dia jatuh hingga pingsan di tempat!
Melihat putri kami jatuh, Shania menangis sambil berteriak.
Adik perempuanku, Anjani, bergegas menolong ibu ketika melihat ibu jatuh.
Ketika aku melihat istriku menderita seperti itu, aku ingin mendekat dan menenangkannya.
"Bram, cepat ke mari. Bantu Ibu dan bawa Ibu ke rumah sakit."
Anjani langsung mendesakku.
Shania masih memeluk tubuh kecil putri kami yang berlumuran darah dan menangis.
Para tamu yang hadir terkejut saat melihat keadaan ini.
Perjamuan satu bulanan yang seharusnya menjadi acara yang menggembirakan, tetapi sekarang berubah menjadi acara duka.
Semua orang mengira situasi ini membawa sial, jadi mereka pergi.
Shania ditenangkan oleh keluarganya.
Sementara aku dan Anjani membawa ibu ke rumah sakit.
Ibu didiagnosis menderita tekanan darah rendah oleh dokter.
Putriku baru berusia satu bulan, tetapi sudah meninggal karena jatuh dari tangga.
Aku tidak curiga kalau ini karena kesengajaan ibu.
Karena aku tidak berpikir ibu akan bersikap seburuk itu.
Kematian putri kami menjadi duri di hati Shania, membuatnya memiliki jarak dengan ibu.
Agar ibu dan Shania tidak terlibat pertengkaran, aku menyewa rumah lain untuk ditinggali Shania.