Bab 4 Aku Akan Melakukan Sesuai Keinginan Ibu
Seketika itu, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku, tapi aku tetap berusaha untuk tegar. Aku lalu bangkit berdiri dan bergegas pergi ke rumah sakit.
Ibu mertuaku terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya terlihat sangat pucat. Saat aku tiba di sana, pandangannya terus tertuju di belakangku seolah sedang mencari sesuatu.
Aku tahu, dia sedang mencari Selina.
Sayangnya, Selina sedang menemani pria lain yang memilih kasur.
Pada saat itu, rasa kebencian yang mendalam muncul dalam diriku terhadap Selina.
Aku juga merasakan kebencian terhadap diriku sendiri, merasa sangat tidak berguna.
Aku berdiri di samping tempat tidur ibu mertuaku dengan kelopak mata yang memerah.
"Bu, maafkan aku. Ini semua salahku, aku tidak berguna ...."
Dari pancaran matanya, ibu mertuaku tampak seperti bisa melihat segalanya.
Dia tertawa getir sambil berlinang air mata.
Lalu menoleh ke arah dokter Husein dan berkata, "Dokter Husein, kamu yang akan menjadi saksi. Simon yang akan mengurus pemakamanku."
Setelah itu, ibu mertuaku menoleh kepadaku dan berkata dengan lembut,
"Ini bukan salahmu. Ibu tahu, kamu adalah anak yang baik. Ibu benar-benar sangat berterima kasih padamu."
"Hanya saja ... Ibu merasa sangat sedih. Kamu terlalu bodoh dan terlalu baik. Setelah Ibu pergi, kamu harus lebih mencintai dirimu sendiri. Apa kamu mengerti?"
"Kamu tidak perlu mendirikan papan nisan untukku. Cukup tanam bunga mawar di samping kuburanku."
Bunga mawar melambangkan cinta yang kuat antara ibu mertua dan ayah mertuaku.
Pada saat itu, air mataku sudah membasahi pipiku.
"Bu, Ibu tenang saja. Aku akan melakukan sesuai keinginan Ibu ...."
Melihat ibu mertuaku yang berusaha keras mengangkat tangannya, aku segera mendekat dan menggenggam tangannya.
Dia lalu dengan lembut membelai kepalaku, matanya penuh dengan cinta.
"Bu ...."
Aku memanggilnya sambil menangis, hatiku merasa sangat tidak rela.
Tapi napas ibu mertuaku perlahan-lahan mulai melemah, tangannya dengan perlahan jatuh di samping tempat tidur.
Aku yang tidak bisa menerima kematian ibu mertuaku pun terdiam untuk waktu yang sangat lama.
Tapi aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja, jadi aku menguatkan diri dan mengurus pemakamannya.
Sebelum mengantar Ibu mertuaku untuk dikremasi, aku kembali menelepon istriku.
Namun, hasilnya tetap sama: dia tidak mengangkat telepon atau langsung mematikannya.
Aku sudah sangat lelah. Kalau dia sama sekali tidak peduli pada ibunya sendiri, untuk apa aku masih begitu gigih?
Setelah keluar dari krematorium, ibu mertuaku kini hanya menjadi guci kecil.
Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa ibu mertuaku yang begitu bijaksana, baik hati dan penuh kasih sayang bisa memiliki putri yang begitu tidak berperasaan seperti Selina?
Pada akhirnya, akulah yang membawa pulang abu ibu mertuaku sendirian.
Rumah terasa begitu hening, tidak ada tanda-tanda bahwa Selina sudah kembali.
Sepertinya, kasur elektrik yang dipilih Selina dan Hans berfungsi dengan sangat baik.
Aku memeluk guci ibu mertuaku dan menunggu di ruang tamu semalaman.
Hingga subuh, Selina masih belum kembali.
Aku benar-benar sudah menyerah dan berencana untuk memilih kuburan untuk ibunya sendirian.
Saat aku hendak keluar, aku secara kebetulan berpapasan dengan Selina yang sedang mabuk di depan pintu.
Dia merasa sedikit bersalah dan menjelaskan, "Aku menemani Kak Hans pergi memilih kasur, lalu pergi makan dan tanpa sadar minum begitu banyak ...."
Aku tidak menggubris penjelasannya, karena semuanya sudah tidak penting lagi.
Melihatku hanya diam saja, Selina merasa agak marah. Saat dia baru saja hendak melampiaskan kemarahannya, tiba-tiba dia melihat guci abu yang ada di pelukanku.
"Apa ini?"