Bab 1 Ibu Sedang Sekarat
"Simon, kondisi Tante sangat buruk. Dia mengalami gangguan irama jantung, sekarang jantungnya sudah berhenti memompa darah. Apakah kamu sudah menghubungi Dokter Selina? Berapa lama lagi dia baru bisa ke sini?"
Dokter yang baru keluar dari ruang unit gawat darurat terus mendesakku. "Dia harus datang sesegera mungkin, kondisinya sangat kritis!"
Dengan wajah yang pucat dan tubuh yang gemetaran, aku kembali menghubungi Selina.
Untungnya, kali ini panggilanku tersambung.
"Simon, apa kamu masih belum menyerah?"
Nada suaranya terdengar sangat kesal dan tidak sabar.
"Aku benar-benar tidak membohongimu, ibu hampir sekarat ...."
"Cukup! Aku lebih mengenal kondisi tubuh ibuku dari pada kamu, sungguh menyebalkan!"
Setelah itu, Selina menutup teleponnya dengan keras.
Kali ini, aku tidak bisa menghubunginya lagi.
Ibu mertuaku sangat baik padaku, dia menjagaku seperti menjaga putra kandungnya sendiri.
Aku tidak tega melihatnya meninggal begitu saja.
Aku merasa sangat marah dan menampar diri sendiri, memaksa diri sendiri agar bisa tetap bersikap tenang.
Dulu, Selina pernah bilang bahwa Hans sudah membeli rumah di komplek perumahan kami dan memenangkan undian berhadiah furnitur.
Aku tidak bisa membuang waktu lagi, jadi aku langsung pergi ke toko furnitur.
Saat ini, istriku dan Hans sedang mencoba kasur baru.
Melihat kemesraan mereka, orang yang tidak tahu pasti akan berpikir kalau mereka adalah pasangan suami istri.
Aku menahan kesedihanku dan berjalan menghampiri mereka. "Selina."
Begitu mendengar suaraku, Selina langsung bangkit dari tempat tidur.
Ketika dia melihatku, wajahnya langsung berubah dingin. Dia menatapku dengan tajam.
"Simon, kamu mengikutiku sampai di sini? Apakah ini sangat menyenangkan?"
Nada suaranya sangat dingin, seolah kedatanganku sangat mengganggu kebahagiaan mereka.
Aku tidak punya waktu untuk memikirkan sikap Selina terhadapku. Pikiranku hanya dipenuhi oleh ibu mertuaku yang sedang dalam kondisi kritis. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, aku langsung menariknya keluar.
"Ibu terkena serangan jantung dan sedang menunggu untuk dioperasi. Hanya kamu yang bisa menyelamatkannya!"
Tapi Selina malah menghempaskan tanganku dan menatapku dengan penuh kebencian.
"Satu jam yang lalu, ibu mengatakan padaku kalau dia sedang berdansa dengan seseorang di alun-alun. Aku yang bodoh atau kamu yang bodoh? Apa kamu kira aku akan percaya dengan kebohonganmu ini?"
Hans, yang tadi diam, kini bangkit dari tempat tidur dan menarik Selina ke sisinya sambil berkata dengan arogan, "Simon, kamu benar-benar brengsek. Selina hanya datang untuk membantuku memilih furniture, apa perlu kamu sampai mengarang kebohongan ini? Apa kamu ingin mengutuk Tante?"
Begitu dia melontarkan kata-kata tersebut, tatapan Selina jadi semakin dingin.
Dia mengumpat dengan kasar, "Kenapa kamu begitu jahat? Kamu itu lelaki bukan sampai memanfaatkan ibuku untuk menarik perhatianku?"