HMT 9 - PERANG DINGIN
Pagi itu di ruang makan tampak beberapa pelayan wanita yang sedang nenata meja kristal berukuran panjang kali lebar di sana. Silvester tampak sedang memantau aktivitas para pelayan itu, mereka sedang meletakkan berbagai hidangan yang baru saja selesai ia masak.
Ada banyak hidangan yang dimasaknya, diantaranya ada burittos, fajita, echilada, quesadilla, dan taco isian daging sapi kesukaan Damian.
Semua hidangan lezat itu menimbulkan aroma yang menggugah selera. Dan Silvester sangat puas jika para penghuni Devardo House menghabiskan semua hidangan yang dimasaknya.
"Pagi, Silvester," sapa Damian yang baru saja tiba di ruang makan bersama Isabell yang tengah menggapit lengannya.
"Pagi, Tuan dan Nyonya Isabell. Apakah ada yang ingin saya buatkan untuk menu tambahan sarapan Anda, Tuan?" Silvester mendekap talam warna gold di dadanya.
Damian menoleh pada Isabell meminta pendapatnya. Isabell pun berbisik padanya. Silvester hanya terdiam menunggu jawaban mereka sembari mengusap rambut tipis yang tumbuh pada dagunya.
"Baiklah, Silvester. Isabell ingin dibuatkan susu hangat. Tolong buatkan segera," ucap Damian kemudian sembari menoleh pada pria berseragam pelayan di sampingnya.
"Anda akan mendapatkannya, Nyonya. Saya akan segera kembali." Silvester membungkuk dan segera memutar tubuhnya untuk kembali ke arah dapur.
Damian tersenyum menoleh pada Isabell.
"Ayo Sayang, duduklah. Aku akan siapkan sarapan untukmu. Kau mau makan apa? Ada taco dan burittos juga di sini." Damian menarik bangku untuk Isabell duduki.
Wanita itu pun tersenyum mengucap terima kasih padanya.
"Damian, aku sedang diet. Jadi aku sarapan susu dan buah saja," jawab Isabell dengan logat manjanya. Sebagai seorang model, Isabell selalu menjaga pola makannya.
"Astaga, Sayang. Untuk apa kau diet? Tubuhmu bahkan sudah tampak kurus. Tidak, kau harus makan sekarang. Aku tak ingin kau sakit nantinya," tegas Damian yang segera menaruh sepotong taco pada piring Isabell.
Gadis itu menatap nanar padanya.
Dia tak ingin dietnya berantakan karena ulah suaminya itu. Namun Damian memberinya tatapan tegas, dan meminta Isabell untuk segera makan.
Mau tak mau Isabell pun segera meraih sepotong taco itu dengan tangan kosongnya, lantas mulai menggigitnya perlahan. Damian tersenyum puas melihatnya.
Jika di Chili kita tidak makan dengan tangan kosong, lain hal dengan Meksiko saat sedang menyantap taco. Jangan makan taco dengan menggunakan garpu dan pisau, orang lokal menyukai makan taco dengan tangan kosong, seperti yang sedang Isabell lakukan.
"Isi susu cokelat pesanan Anda, Nyonya Isabell." Silvester datang dengan wajah cerianya, dia meletakkan gelas berisikan susu cokelat yang dipesan Damian tadi.
"Terima kasih, Silvester." Damian memberinya senyuman hangat.
Sedang Isabell hanya tersenyum tipis menanggapinya. Silvester membalas dengan tersenyum ramah.
"Baiklah, Tuan dan Nyonya. Selamat menikmati sarapannya," ucap Silvester sebelum menghambur pergi menuju dapur. Damian mengusap pucuk kepala Isabell sambil tersenyum gemas.
"Makanlah yang banyak, Sayangku," ucapnya.
Isabell hanya tersenyum kecut dan kembali melanjutkan makannya. Damian hanya bertopang dagu memandangi istrinya yang sedang menyantap sepotong taco. Isabell tak perduli, dia kesal karena dietnya berantakan pagi ini.
"Pagi, Sayangku Damian, Isabell." Nyonya Devardo telah tiba bersama Pedra dan Berto yang mengikuti dari belakangnya.
Mereka bertiga sedikit kaget mendapati Isabell yang sedang menyantap sepotong taco. Ada apa ini? Kenapa menantu bungsu itu makan lebih dulu darinya? Nyonya Devardo sedikit kesal melihatnya. Tampaknya Damian mulai tak memandangnya lagi sekarang.
"Pagi, Bu. Kak Pedra, Ayo kita sarapan," sambut Damian sembari menoleh pada mereka.
Pedra dan Berto saling berpandangan, mereka pun segera menarik bangku untuk duduk berhadapan dengan Damian dan Isabell.
Nyonya Devardo berjalan anggun menuju bangkunya. Seorang pelayan menarik bangku untuk ia duduki. Manik matanya memandangi Isabell yang sedang asik menyantap makanannya tanpa menyapa dirinya sama sekali.
"Wah, Isabell tampaknya sangat lapar pagi ini. Kurasa masakan Silvester ini cukup untuknya," cetus Pedra tanpa ragu sembari tersenyum sinis pada Isabell.
Damian hanya tersenyum tipis, baginya Pedra sedang menggoda istrinya saja. Namun tidak bagi Isabell, wanita itu segera menoleh tegas pada wanita di hadapannya saat ini.
"Apa maksud ucapanmu? Kau pikir aku tak pernah menemukan makanan di rumahku, hah?!" Isabell mulai tersulut emosi.
Nyonya Devardo hanya tersenyum tipis. Dia sangat senang melihat ekpresi Isabell bila sedang marah.
"Sayang, Kak Pedra hanya sedang menggodamu saja. Jangan hiraukan. Makanlah yang banyak," ucap Damian sembari merangkul bahu Isabell. Namun istrinya itu masih menunggu jawaban dari Pedra.
"Damian benar, aku hanya menggodamu saja. Makanlah yang banyak." Pedra tersenyum menyebalkan dan mulai mengalihkan pandangannya pada hidangan di meja.
Damian tersenyum pada Isabell. Dan Isabel mulai kehilangan nafsu makannya.
"Damian, uang bulanan sudah menipis. Bisakah kau trasfer pagi ini juga? Ada banyak barang dan kebutuhan dapur yang harus Ibu beli siang ini," tukas Nyonya Devardo di sela sarapannya.
Isabell terkesiap mendengar ucapan ibu mertuanya itu.
"Tentu saja, Bu. Aku akan mentransfernya pagi ini juga. Tenanglah," jawab Damian sembari tersenyum dengan wajah tenangnya.
Isabell menoleh pada suaminya itu. Entah kenapa dirinya merasa tak nyaman dengan obrolan mereka.
"Damian, uangku juga sudah menipis. Kapan kau kirim lagi? Aku ingin membeli tas Dior keluaran terbaru, juga pakaian untuk musim dingin nanti." tanpa mengendahkan pada Isabell, Pedra ikut menimbrung pula.
Isabell semakin kaget mendengarnya.
Apa-apaan ini? Kenapa Pedra pun meminta uang pada suaminya? Isabell mulai berpikir sembari meraih gelas susu cokelatnya lalu menyesapnya.
"Iya Kak Pedra, aku akan mengirimnya siang ini. Bersabarlah," jawab Damian dengan santai.
Isabell hampir tersedak mendengarnya. Apa dia tak salah dengar? Kenapa harus Damian yang memberikan uang untuk Pedra? Lantas si dunguk Berto apa kegunaannya? Isabell mulai kesal.
"Hubby, mulai sekarang bagaimana jika diriku saja yang mengatur keuangan di rumah ini? Lagi pula Ibu sudah cukup tua, sudah waktunya dia beristirahat untuk memikirkan segala pengeluaran di rumah ini," cela Isabell kemudian sembari memegang jemari Damian di atas meja.
Nyonya Devardo dan Pedra saling pandang kaget. Jangan sampai Damian setuju. Bisa-bisa mereka tak bisa lagi berpoya-poya dengan uang dari Damian.
"Isabell, apakah kau yakin? Selama ini Ibu-lah yang mengatur semuanya, termasuk seluruh gaji para pelayan di Devardo House ini." Damian menatap Isabell dalam.
Nyonya Devardo dan Pedra tampak harap-harap cemas.
"Tentu saja aku yakin, Hubby. Lagi pula aku adalah istrimu. Sudah sepantasnya aku yang mengatur semuanya sekarang, bukan?" Isabell berkata sembari memutar bola matanya pada Nyonya Devardo, dan memberinya senyuman remeh.
Nyonya Devardo mengepalkan buku-buku tangannya. Ternyata Isabell mulai menunjukkan perang dingin padanya.
"Damian, maaf bila Ibu ikut campur.
Tapi Isabell sangat sibuk dengan karirnya, apakah dia bisa mengatur rumah ini? Aku hanya takut Isabell kelelahan saja. Coba kau pikirkan lagi, Nak." Nyonya Devardo buru-buru menyela sebelum Damian mengiyakan saran Isabell tadi.
Damian hanya menoleh pada Isabell untuk memastikannya.
"Aku sama sekali tidak kerepotan, Bu. Aku masih muda dan lebih pantas mengurus rumah suamiku. Ibu sudah tua, istirahatlah." Isabell berkata dengan entengnya.
Nyonya Devardo menatapnya tajam penuh hujat. Isabell pun membalasnya dengan tatapan tajam pula. Kemarin wanita tua itu sudah merampas semua perhiasannya, anggap saja ini balasan darinya. Isabell tersenyum sinis kemudian.
"Apa yang dikatakan Isabell benar, Bu. Sudah saatnya Ibu beristirahat," pungkas Damian lalu mengusap pucuk kepala Isabell sembari memberinya senyuman gemas.
Nyonya Devardo bersandar lesu pada bangkunya sedangkan Pedra mengusap wajahnya tampak frustasi. Oh, shit! Sekarang mereka tak bisa lagi leluasa menghabiskan uang Damian, pikirnya.
Lain hal dengan Isabel yang bersulang dalam hati melihat kekalahan ibu mertua dan kakak iparnya yang culas itu. Dia sedang menegaskan pada mereka, jika dirinya bukan gadis polos yang datang dari desa untuk dibodohi.