HMT 6 - WANITA LAIN DI KAMAR SUAMIKU
Damian dan Isabell berjalan berdampingan menuju mobil keduanya yang sedang menunggu mereka di depan teras. Hari ini Isabell ada pemotretan, sementara Damian harus berangkat ke kantor seperti biasanya. Jadi keduanya menggunakan mobil yang berbeda.
Damian melepaskan jemari Isabell perlahan sembari menghentikan langkahnya di samping mobil Limousine putih yang akan mengantarkan istrinya itu. Pria itu memandangi wajah Isabell yang sedang menatapnya. Diselipkannya anak-anak rambut Isabell ke telinga kirinya.
Betapa indahnya ciptaan yang Maha Kuasa ini, Damian mengucap syukur memiliki Isabell dalam hidupnya. Begitupun Isabell, dia sangat mencintai Damian sebagaimana semestinya. Keduanya begitu saling menyayangi dan saling mengerti kesibukan masing-masing.
"Hubby, mungkin aku baru akan pulang lusa nanti. Jadwalku sangat padat minggu ini," ucap Isabell sembari menanggah pada Damian yang jauh lebih tinggi darinya.
Pria itu tersenyum manis untuknya.
"Aku mengerti, Sayang. Jagalah dirimu, aku akan selalu menunggumu pulang," balas Damian sembari meraih jemari kanan Isabell, lalu dikecupnya penuh cinta.
Isabell tersenyum senang. Damian sungguh suami idaman, suami yang sangat mengerti dirinya.
"Terima kasih, Hubby. Aku sangat mencintaimu." saking senangnya Isabell segera berjingke dan langsung mencium kilas bibir Damian penuh cinta.
Damian sangat senang, dia segera mencondongkan wajahnya dan mencium bibir Isabell. Kali ini dengan ritme lumatan yang cukup lama.
"Aku akan berangkat, jagalah dirimu. Jangan lupa makan dan tidurlah dengan baik," ucap Isabell pada Damian tanpa melepaskan genggaman tangannya pada lengan kekar suaminya itu
"Tentu, Sayang. Kau juga jangan terlalu kelelahan, ya?" Damian menangkup kedua pipi licin Isabell sembari menatapnya lembut.
Wanita itu mengangguk sembari tersenyum manis.
"Aku sangat mencintaimu, Isabell." Damian kembali meraih ciumannya. Isabell membalasnya penuh cinta.
Pedra dan Nyonya Devardo yang sedang berdiri di tepi balkon tampak jengah menyaksikan adegan romantis itu. Terutama Pedra, tampak sangat jelas pada rahut wajahnya jika dirinya sangat benci akan Damian dan Isabell.
"Ya ampun, romantis sekali," ucap Nyonya Devardo sembari menikmati batang rokoknya.
"Cih! Menjijikan sekali!" Pedra tampak sangat muak.
Nyonya Devardo tersenyum tipis melihatnya.
"Pedra Sayang, apakah Berto tak pernah bisa se-romantis Damian? Aku lihat hubungan kalian tampak begitu hambar. Dan sudah lama kalian menikah, namun tak juga memberiku seorang cucu." Nyonya Devardo menghembuskan asap rokoknya hampir mengenai wajah Pedra.
Wanita itu tampak geram menatapnya.
"Apa maksudmu, Bu? Aku dan Berto baik-baik saja. Dan kenapa aku harus memiliki baby cepat-cepat? Aku bahkan tak bisa membayangkan, betapa repotnya memiliki seorang baby kecil nantinya." Pedra mengibaskan rambut sebahunya sembari memutar tubuhnya membelakangi Nyonya Devardo.
"Ho, baiklah jika kau belum ingin memiliki baby. Namun jangan menyesal jika Isabell nanti lebih dulu memiliki baby." Nyonya Devardo kembali menikmati batang rokoknya sembari menyaksikan mobil Damian dan Isabell melaju meninggalkan Devardo House.
Pedra menoleh dengan tegas pada ibunya itu.
"Apa maksudmu, Bu?" tanyanya kemudian.
Nyonya Devardo menatapnya sembari menjepit batang rokoknya di sela jari telunjuk dan jari tengahnya. Kemudian dia mencondongkan wajahnya pada Pedra.
"Dengar, Pedra Sayang. Jika Damian dan Isabell sampai memiliki seorang anak, lantas bagaimana kehidupan kita selanjutnya."
"Selanjutnya?"
"Ya. Anak Damian itu sudah dipastikan akan menjadi penerus kasta Devardo de Castijo. Dan Isabell pasti akan semakin menindas kita dengan sesukanya. Apa kau mau menjadi pelayan wanita sombong itu, hah?!" Nyonya Devardo berkata ke wajah Pedra dengan tatapan yang sangat menusuknya.
Pedra sampai menelan ludahnya.
"Jangan bodoh seperti suamimu itu, tapi cerdaslah seperti Ibumu ini," pungkas Nyonya Devardo sembari mengayunkan tungkainya meninggalkan balkon dan Pedra yang tampak keheranan.
Apa yang diucapkan ibunya itu ada benarnya juga. Ya, bagaimanapun dirinya dan ibunya hanya menumpang pada Damian di Devardo House ini. Dan bagaimana jadinya jika Damian dan Isabell sampai memilki seorang anak nantinya.
Bisa saja dirinya dan ibunya terusir dari Devardo House. Tidak, ini tak boleh sampai terjadi. Damian dan Isabell tak boleh sampai memiliki keturunan! Pedra menggelengkan kepalanya dengan wajahnya yang tampak pusing.
***
Hari mulai petang saat Damian baru saja menuju kamarnya. Dia menarik knop pintu keemasan itu, lantas mendorongnya masuk. Ruangan itu masih tampak gelap dan sunyi. Tak ada tawa manja Isabell yang biasa menyambutnya. Damian bertepuk tangan, dan lampu-lampu di ruangan luas itu pun menyala dengan sendirinya.
Bibirnya tersenyum pahit. Bayangan Isabell baru saja tersenyum menyambutnya. Astaga, dia sampai barfantasi karena sangat merindukan istrinya itu.
Benar, sudah satu hari lima belas jam dirinya tidak melihat Isabell. Mungkin benar, Isabell hanya akan pulang lusa nanti.
Ah, pasti istrinya itu sangat sibuk dengan pemotretannya sekarang. Damian segera duduk di tepi ranjang dan meraih ponsel dari saku jasnya. 'Isabell Cintaku' nama kontak yang ia tuju untuk dihubungi.
Bibir tipis itu mengulas senyum dan segera mendekatkan ponselnya ke telinga kanannya. Namun yang terdengar hanya suara operator saja. Ah, sial! Ternyata nomer Isabell sedang tak aktif.
Damian menjatuhkan tangannya yang mengenggam ponselnya. Rahut wajahnya tampak lesu, dia melempar ponselnya ke tengah ranjang lalu membuka jas dan dasinya. Dia berbaring dengan perasaan yang sangat gelisah.
"Isabell, aku sangat merindukanmu, Sayang." Damian mulai memejamkan matanya perlahan, berharap dapat berjumpa dengan istrinya itu di alam mimpinya nanti.
Lima belas menit telah berlalu. Damian tampak sudah terlelap di tengah ranjangnya, dengan posisi terlentang tanpa selimut.
Langkah kecil Vanessa berjalan menuju ranjang dimana Damian sedang berbaring. Bibir merah itu mengulas senyum gemas sembari memandangi Damian yang tak menyadari kedatangannya. Wanita itu mulai mendekat, bahkan merangkak naik ke atas ranjang.
"Damian, kau sangat tampan. Aku sangat mencintaimu, dan bisakah kita bercinta malam ini?" Dengan lancang Vanessa menelusupkan jari-jemarinya ke balik kemeja putih Damian. Diusap-usapnya bulu halus yang menghiasi dada bidang pria itu. Vanessa memekik gemas, dia tak tahan lagi.
Perlahan dia mulai memdekatkan wajahnya dan menepelkan pipinya pada dada bidang Damian. Jari-jemarinya mulai menelusup hingga ke bagian bawah pria itu.
Bibirnya berdesah, ia menyentuh sesuatu yang paling sensitif bagi seorang Damian Devardo de Castijo. Gadis itu terus menikmatinya. Membiarkan Damian tetap terlelap dalam rengkuhan gairahnya.
"Damian, aku bisa membuatmu puas lebih dari Model itu. Aku bisa membuatmu terpuaskan, Sayang." Vanessa mendekap Damian dalam pelukannya. Jarinya kini menelusuri gurat wajah pria itu. Membelainya penuh gairah.
Ini kesempatan yang sangat bagus, pikir Vanessa. Damian tertidur begitu pulasnya. Dia bisa menjebaknya sekarang juga. Kesempatan emas ini takkan dirinya sia-siakan begitu saja.
Gadis itu segera melucuti pakaian luarnya. Lantas ia berbaring di samping Damian setelah menarik selimut untuk mereka berdua. Vanessa tersenyum puas. Setelah ini pasti Damian akan menjadi miliknya.
***
Isabell yang baru saja pulang berjalan cepat menuju kamarnya. Dia tahu Damian pasti sedang menunggunya. Isabell sengaja tak memberi kabar pada suaminya, jika dirinya akan pulang malam ini.
Ya, dia ingin memberikan kejutan untuk Damian. Bibirnya mengulas senyum, dia tak sabar ingin bertemu dengan suaminya yang tampan itu.
Langkah kecil Isabell mulai memasuki kamar yang ternyata tampak gelap. Ah, mungkin Damian sudah tertidur pikir Isabell. Dia segera bertepuk tangan untuk menyalakan lampunya. Namun alangkah terkejutnya wanita itu. Dia membulatkan matanya melihat Vanessa yang tengah tertidur dalam pelukan Damian.
Tidak.
Isabell membungkam mulutnya lalu menggelengkan kepalanya tak percaya. Tidak mungkin! Dia tak bisa percaya dengan penglihatan netranya kali ini. Isabell mundur beberapa langkah dengan air matanya yang mulai berjatuhan.
Ini seperti mimpi buruk baginya. Isabell menampar pipinya sendiri, berharap dirinya segera terbangun dari mimpi buruk itu. Namun ternyata ini bukanlah sebuah mimpi. Suaminya telah tidur dengan wanita lain.