Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

HMT 4 - SIAPA VANESSA

Pagi itu Isabell masih berada di kamarnya. Karena insiden perhiasan kemarin dia menjadi malas untuk berbaur dengan penghuni Devardo House lainnya.

Wajar saja, Nyonya Devardo sudah menyita semua perhiasannya. Bahkan berlian turun temurun dari keluarganya di ambil pula oleh wanita tua itu.

Hh, sepertinya Isabell mulai merasa tak nyaman tinggal di rumah suaminya itu. Terlebih Fernando justru lebih memihak pada ibu dan kakak tirinya itu daripada dirinya.

"Menyebalkan!" Isabell bangkit dari tepi ranjang yang ia duduki. Tungkai jenjangnya berjalan menuju jendela yang berseberangan dengan tempat tidurnya. Dipandanginya beberapa orang pelayan yang sedang memetik bunga di taman.

"Isabell." Damian yang baru memasuki kamar segera memanggilnya dengan membawa wajah cemas dan heran.

Isabell yang sedang bersidekap di tepi jendela hanya menoleh.

"Sayang, kenapa kau masih di sini? Ibu dan Kak Pedra sedang menunggumu di ruang makan untuk sarapan," ucap Damian sembari berjalan mendekat pada wanita dengan dress selutut tali kecil motif bunga di sana.

Isabell memutar tubuhnya kembali memandangi luar jendela.

"Aku tak ingin turun untuk sarapan. Aku tak lapar," tukas Isabell terdengar abai dan sedikit emosi.

Damian segera mendekapnya dari belakang. Kedua tangannya di biarkan melingkar pada pinggang ramping istrinya itu, membuat Isabell sedikit terperanjak

"Isabell, apakah kau masih marah pada Ibu dan Kak Pedra?" bisik Damian lalu mengecup bahu wanita itu dengan lembut.

Isabell memejamkan matanya menahan gejolak yang ada. Antara rasa kesalnya pada Nyonya Devardo dan rasa cintanya pada Damian. Keduanya terasa imbang dan sulit untuk di bedakan.

"Isabell, aku minta maaf padamu. Tolong maafkan Ibuku dan lupakanlah semuanya," lanjut Damian.

Kedua tangannya memegang kedua bahu Isabell, lantas memutar tubuh istrinya itu agar menghadap padanya. Isabell berbalik sembari memalingkan wajahnya ke lain arah. Dia tak ingin bertemu pandang dengan sepasang manik karamel Damian. Dia takut tak bisa menolaknya, apa pun permintaan suaminya itu.

"Isabell, lihat diriku." Damian menatap Isabell dengan lembut, namun istrinya itu seperti tak mau menatapnya. Dia pun mengangkat dagu Isabell dengan telunjuknya. Isabell masih terdiam dan tak ingin menatap pendar matanya yang dipenuhi kecemasan.

"Hentikan, Damian!" Isabell menepis tangan pria itu darinya. Namun Damian kembali dengan menangkup wajah Isabell menggunakan kedua telapak tangannya.

Mau tak mau Isabell pun menatapnya. Pendar matanya sangat jenuh dan lelah. Damian dapat membaca isi hatinya dari sana.

"Aku minta maaf karena sudah membuatmu sedih. Tetapi aku mohon Isabell, jangan seperti ini. Ayo kita turun dan sarapan. Setelah itu aku akan mengajakmu untuk membeli perhiasan, seberapa banyak yang kau inginkan." Damian menunjukan wajah penuh penyesalan.

Namun Isabell hanya menggelengkan kepalanya. Kenapa Damian tak juga peka padanya, pikirnya kesal.

"Damian, apakah perhiasan yang akan kau belikan itu dapat mengobati rasa sakitku?" Isabell menatapnya dengan manik yang sudah berkabut. Ada air mata yang ingin segera ia tumpahkan. Damian menatapnya dalam-dalam.

"Kau pikir aku akan baik-baik saja setelah kau belikan perhiasan yang baru untukku? Tidak, Damian. Masalahnya bukan ada pada perhiasan yang mereka rampas dariku, tapi kau. Kau yang menjadi masalahnya," lanjut Isabell kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dengan bahunya yang bergetar hebat.

Damian segera meraih kedua bahu mungil itu ke dalam pelukannya.

"Jangan menangis, Isabell. Kumohon," lirih Damian semakin erat merengkuh tubuh wanitanya.

Isabell mendongkak padanya lalu berkata, "Kenapa kau tak percaya padaku? Mereka menghinaku, mengatakan hal buruk tentang diriku. Tapi kau tetap membela mereka, dan memintaku untuk mengalah pada mereka. Aku tak ingin berada di sini. Aku ingin pulang, Damian." Isabell memukul-mukul dada bidang suaminya itu dengan tangisnya yang menjadi-jadi.

"Dengar, Isabell. Aku tidak membela siapa pun. Kau istriku dan mereka adalah keluargaku. Aku mencintai kalian semua. Tolong jangan membuatku berada pada posisi yang sulit." Damian melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahu Isabell sembari menatapnya penuh cinta.

"Aku sangat mencintaimu, Isabell. Kau segalanya bagiku, namun Ibuku dan Kak Pedra adalah tanggung jawabku juga. Aku mohon kau bisa mengerti." Damian kembali menarik Isabell ke dalam pelukannya.

Isabell membalas pelukan itu dengan membenamkan wajahnya pada dada bidang Damian. Dia merasakan ada kegelisahan yang besar di dalam hati suaminya, debaran jantungnya menegaskan segalanya. Kedua tangan Isabell merengkuh punggung Damian sangat erat. Tentram dan damai ia rasakan. Hatinya mulai merasa tenang.

***

Sementara itu di ruang makan yang ada di lantai dasar Devardo House. Tampak Silvester sedang melayani Nyonya Devardo, Pedra, dan Berto yang sedang menikmati sarapannya.

Silvester adalah pria berusia 47 tahun yang mendedikasikan dirinya untuk melayani keluarga Devardo setelah ayahnya yang lebih dulu menjadi juru masak di keluarga Devardo menutup usia.

Pria dengan postur tubuh tunggi dan sedikit gemuk itu sangat pandai membuat masakan. Tentu saja Silvester banyak belajar dari ayahnya. Dia sangat paham dengan selera dan makanan apa saja yang disukai oleh semua penghuni Devardo House.

"Dimana jalang itu? Aku tak melihatnya pagi ini," ucap Pedra sembari memegang sendok dan garpu yang baru saja Silvester berikan padanya.

"Mungkin dia marah pada kita dan tak berani turun dari kamarnya," jawab Nyonya Devardo sembari tersenyum tipis.

Pedra menaikan kedua alisnya sembari tersenyum miring.

"Baguslah. Kita harus membuatnya tertindas di sini, Bu. Atau kita yang akan tertindas olehnya," cetus Pedra sambil membulatkan matanya pada Nyonya Devardo.

"Kau benar, Sayang. Aku takkan membiarkan Isabell mengendalikan Damian. Putera Armando Devardo itu adalah pionku. Aku yang memegang seluruh kendalinya," tegas Nyonya Devardo.

"Tapi, Bu. Kenapa kita tidak bunuh saja Damian? Aku sangat muak padanya dan selalu meminta uang padanya. Jika Damian meninggal pasti akan lebih baik karena kita memiliki seluruh hartanya, bukan?" Pedra meraih gelas air putihnya dan segera menyesapnya sampai setengah tandas.

"Bodoh. Bila Damian meninggal lantas siapa yang akan mengurus kantor? Kau dan Berto sama sekali tak bisa diandalkan." Nyonya Devardo mencibir lalu mulai menikmati hidangan di meja.

Pedra menoleh pada Berto, dan suaminya itu hanya menaikan kedua bahunya dengan wajah bodohnya.

"Maksud Ibu, aku dan Berto tidak becus mengurus kantor, begitu?" Pedra memasang wajah kesalnya sembari menatap tegas pada Nyonya Devardo.

"Ya. Kalian payah dan tidak bisa diandalkan. Kantor besar itu membutuhkan kejeniusan Damian. Jadi biarkan saja dia tetap hidup dan menghasilkan uang untuk kita." Nyonya Devardo tersenyum licik sambil menatap Pedra.

Wanita itu membalasnya dengan senyuman licik pula.

"Wah hebat, Bu. Kau membuat Damian seperti seekor keledai yang harus terus bekerja untuk kita sampai dia mati," ucap Pedra lalu tertawa sambil menepuk bahu Berto yang duduk di sampingnya.

Pria itu menjadi tersedak akibat ulahnya.

Nyonya Devardo pun ikut tertawa dengan puasnya sampai akhirnya sepasang matanya mendapati Damian dan Isabell yang baru saja menuruni anak tangga. Keduanya sedang menuju pada mereka.

"Sssttt ... hentikan suaramu, Pedra." Nyonya Devardo menaruh telunjuknya di bibirnya sambil menatap Pedra dengan tajam. Puterinya itu segera menghentikan tawanya dan menikmati sarapannya dengan santai.

"Pagi, Bu." Damian mengecup pucuk kepala Nyonya Devardo yang sedang duduk sambil tersenyum menyambutnya.

"Pagi, Tampan. Ayo duduklah, ajak Isabell untuk sarapan," ucapnya terdengar sangat manis.

Isabell memutar bola matanya jengah. Dasar ratu drama! Rutuknya dalam hati.

Damian mengangguk dan segera menggiring Isabell untuk duduk berseberangan dengan Pedra dan Berto. Keduanya tersenyum manis pada mereka, namun Isabell segera memalingkan wajahnya, lantas mendaratkan bokongnya pada bangku di samping Damian.

"Damian, apa kau masih ingat dengan Vanessa?" Nyonya Devardo membuka perbincangan sambil menoleh pada pria tampan yang duduk di sebelah kirinya.

"Vanessa puterinya Paman Nigel?" Damian berbalik bertanya.

Isabell dan yang lain hanya menyimak sembari menikmati hidangan di meja.

"Ya. Vanessa telah kembali setelah sepuluh tahun berada di Spanyol.

Dan dia terus meneleponku untuk menanyakanmu, Damian." Nyonya Devardo mengatakannya dengan penuh semangat dan tampak sangat senang.

Isabell mulai menaruh curiga dengan arah perbincangan ini. Wanita beracun itu pasti sedang merencanakan sesuatu, pikirnya.

"Maksud Ibu? Untuk apa dia menanyakanku?" Damian tampak acuh sembari menikmati sarapannya bersama Isabell.

Nyonya Devardo tersenyum miring lantas berkata, "Tentu saja Vanessa masih mencintaimu, dan dia ingin bertemu denganmu lagi, Damian."

Isabell sampai terbatuk-batuk mendengar ucapan Nyonya Devardo barusan. Dia menoleh dengan tatapan tajam yang dipenuhi tanda tanya pada Damian.

Ada hubungan apa Damian dengan gadis bernama Vanessa itu? Isabell sungguh penasaran. Dan rasa penasarannya itu bisa saja membakar seluruh Devardo House saat ini juga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel