HMT 3 - DRAMA IBU MERTUA
Damian tiba di depan pintu kamarnya yang masih terbuka lebar, mungkin Isabell memasuki kamar itu dengan emosi dan lupa menutup pintunya kembali. Langkah pantofel Damian terayun cepat memasuki kamar seluas ruang meting di kantornya itu.
Sepasang netranya mulai memindai seisi ruangan dan mendapati Isabell yang sedang duduk di tepi ranjang. Wajahnya di tekuk dengan punggungnya yang tampak bergetar. Damian segera menghampirinya dengan cemas.
"Isabell, kau menangis?" tanya Damian sambil berjongkok di depan gadis yang sangat di cintainya itu. Pendar matanya menatap sendu pada wajah Isabell yang tertunduk dan dibasahi bulir air matanya.
"Untuk apa kau menemuiku? Urusi saja Ibumu dan Kakakmu yang pandai bersandiwara itu," cetus Isabell dengan pendar matanya yang penuh kemarahan.
Damian menggelengkan kepalanya kemudian dia meraih sehelai tisue dari meja nakas, lantas digunakannya untuk menyeka kedua pipi istrinya yang basah. Namun dengan cepat Isabell menepis tangannya.
"Hentikan, Damian. Aku tak ingin di kasihani olehmu!" tegas Isabell. Gadis itu memalingkan wajahnya dari sorot mata Damian yang sedang menatapnya.
"Isabell, maafkan aku. Aku hanya ingin kau bisa beradaptasi dengan keluargaku. Dan Ibu hanya ingin menjaga perhiasanmu saja. Apa yang salah?" ucapan Damian mendapat pandangan tajam dari Isabell.
"Apa yang salah katamu? Mereka bukannya mau menjaga perhiasanku, tapi mereka menginginkannya. Kenapa kau sangat bodoh, Damian!" Isabell tersulut emosi.
Damian menjulurkan jemarinya untuk mengusap pipi licin istrinya itu, namun lagi-lagi Isabell menepisnya. Dia seolah sangat jijik dengan sentuhannya kali ini.
"Jangan berburuk sangka pada Ibu dan Kakakku, Isabell. Mereka pun memiliki uang yang cukup bila hanya untuk membeli perhiasan. Kau sudah salah paham pada mereka. Bahkan kau melukai Kak Pedra dan hati Ibuku," tukas Damian yang masih berjongkok di depan Isabell.
Gadis itu menanggah ke langit-langit agar air matanya tak mudah terjatuh. Tampaknya Damian sudah termakan oleh sandiwara dua wanita sialan itu, pikir Isabell.
"Aku mohon padamu, Isabell. Menurutlah pada Ibuku, aku tak ingin melihat kalian ribut-ribut lagi hanya karena perhiasan. Aku bisa membelikanmu banyak perhiasan, bukan?" lanjut Damian kali ini jemarinya mulai meraih jemari Isabell yang ada di depannya.
Dikecupnya lembut jemari itu dengan penuh cinta.
Isabell menghela napas, emosinya masih belum stabil.
"Hentikan, Damian. Aku tak akan memberikan perhiasanku kepada siapa pun!" pungkas Isabell, dia segera bangkit dari duduknya di susul oleh Damian yang menatapnya kesal. Dua orang yang sudah saling mengenal selama tiga tahun itu kini berubah seperti orang asing.
"Isabell, menurutlah padaku dan serahkan perhiasanmu pada Ibu!" perintah Damian dengan pendar matanya yang mulai tersulut emosi.
Isabell bersidekap di depannya, wajahnya mendongkak pada pria yang jauh lebih tinggi darinya itu.
"Aku tak mau!" tegas Isabell dan segera memutar tubuhnya hendak pergi. Namun Damian mencekal lengannya dan menariknya sampai tubuh sintal wanita itu memutar menghadap padanya.
"Jangan membuatku marah, Isabell!" bentak Damian dengan wajahnya yang mulai merah padam.
Isabell sangat tersentak, dia tak pernah melihat Damian semarah ini sebelumnya.
"Lepaskan, Damian! Aku muak padamu!" Isabell berusaha berontak dari cengkeraman tangan kekar suaminya itu. Namun dia kesulitan karena Damian semakin mempererat genggamnya.
"Lepaskan! Kau sudah gila, Damian! Kau gila karena Ibumu yang sinting itu!"
"ISABELL!"
Tubuh keduanya sudah sama-sama dirasuk emosi. Damian yang sebelumnya tak pernah berkata lantang apa lagi sampai membentak Isabell, tapi hari ini dia sampai berani mengangkat tangannya.
Isabell menatapnya dengan matanya yang berkaca-kaca. Hatinya terasa sangat perih karena bentakkan suaminya itu. Begitu pula dengan Damian, dia segera melepaskan Isabell dan menurunkan tangannya. Penyesalan sangat terlihat jelas pada rahut wajahnya yang tampan.
"Isabell," ucapnya pelan dengan kedua tangannya menyentuh masing-masing bahu mungil istrinya itu dan menatapnya lembut.
Isabell menggelengkan kepalanya dengan tangisnya yang terpecah.
"Cukup, Damian. Cukup," ucapnya lirih. Dia segera mengusap kedua pipinya dan hendak berlalu, namun kedua tangan kekar Damian segera mendekapnya dari belakang. Isabell bergetar hebat, emosinya mengguncang seluruh jiwanya saat ini.
"Maafkan aku, Isabell. Aku sangat menyesal telah melukai hatimu, Sayang. Maafkan aku," sesal Damian sembari mendaratkan kecupannya pada bahu terbuka Isabell.
Wanita itu memejamkan matanya menahan gejolak yang ada. Dia tak tak tahu harus apa. Damian memutar tubuh ramping Isabell agar menghadap padanya. Dipandanginya wajah istrinya itu yang tampak basah di kedua pipinya. Tangannya terayun menyapunya lembut.
"Maafkan aku, Isabell."
Isabell mengangguk pelan, dan Damian segera merengkuhnya dalam pelukannya. Dia merutuki dirinya sendiri karena telah membuat wanita yang sangat ia cintai itu sampai menangis. Isabell mempererat pelukannya. Jiwanya serasa terisi kembali dan memperoleh kedamaian lagi.
***
Nyonya Devardo sedang duduk di ruang santai bersama Pedra dan Berto. Dia tampak sedang menikmati batang rokoknya sambil bebincang-bincang dengan anak dan menantunya yang sedang menikmati tequila.
Mata Nyonya Devardo menatap jeli pada Damian dan Isabell yang sedang berjalan menuju pada mereka. Dia menghembuskan asap rokoknya ke udara lalu tersenyum miring melihat kotak perhiasan yang sedang dibawa oleh Isabell.
Kotak perhiasan yang terbuat dari kayu pinus dengan sentuhan ukiran berwarna gold yang indah. Kotak kayu itu terlalu besar jika untuk ukuran kotak perhiasan saja. Waw, ternyata perhiasan Isabell memang sangat banyak, pikirnya.
Pedra menoleh pada Nyonya Devardo sambil tersenyum puas. Dugaan mereka tidak meleset, Damian berhasil membujuk Isabell.
Sedangkan Berto tampak meliarkan pandangan lelakinya pada Isabell yang tampak sangat seksi di pelupuk matanya, bibirnya mengulas senyum smirk saat tepi gaun wanita itu melambai tertiup angin. Seksi sekali, dia menelan ludah kasar melihatnya.
"Ibu, Isabell akan menyerahkan seluruh perhiasannya padamu," ucap Damian pada Nyonya Devardo lalu menoleh pada Isabell yang berdiri di sampingnya.
Gadis itu memasang wajah datarnya.
"Maafkan aku, Bu. Tolong simpan semua perhiasanku," tukas Isabell tampak terpaksa.
Nyonya Devardo tersenyum senang dan segera bangkit dari sofa. Dia menaruh batang rokoknya lebih dulu di atas meja sebelum meraih kotak perhiasan yang disodorkan oleh Isabell padanya.
"Oh, Isabell sayangku. Aku sangat terkesan atas perlakuanmu kali ini. Aku akan menjaga perhiasanmu ini dengan baik. Benarkan, Pedra?" Nyonya Devardo berkata pada Isabell lalu menoleh pada Pedra yang sedang duduk bersama Berto. Keduanya pun berdiri
"Tentu saja, Bu. Lagi pula Isabell adalah menantu bungsu di keluarga kita ini. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaganya, terutama hartanya." Pedra berkata sambil tersenyum menyebalkan dimata Isabell.
Berto hanya tersenyum tipis sambil memandangi Isabell.
"Baiklah, aku akan segera berangkat ke kantor. Tolong kalian jaga Isabell," ucap Damian sambil mengusap pacuk kepala Isabell ke bawah.
"Tentu saja, Tampan. Ibu dan Pedra pasti akan menjaga Isabell dengan baik," balas Nyonya Devardo sambil menatap Damian dan Isabell secara bergantian.
Isabell hanya memutar bola matanya, jengah.
"Baiklah, aku berangkat, Sayang." Damian meraih kepala Isabell lantas mengecup pucuknya dengan penuh cinta.
Isabell hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Damian pun segera pergi. Isabell bergegas ingin kembali ke kamarnya.
"Tunggu, Isabell!" sergah Pedra menghentikan langkah Isabell yang baru saja akan menaiki anak tangga.
Wanita itu memutar tubuhnya menghadap pada tiga orang yang sangat menyebalkan baginya itu.
"Apa lagi? Apa masih kurang semua perhiasanku itu? Puas kalian sekarang, hah?!" Isabell bersidekap sambil mendongkak dengan wajah sinisnya.
Nyonya Devardo dan Pedra saling pandang lalu tersenyum puas. Sedangkan Berto hanya menggelengkan kepalanya tak mengerti.
"Tentu saja masih kurang. Kau juga harus menyerahkan semua kartu black gold milikmu pada kami," jawab Pedra sambil berjalan-jalan kecil mengitari Isabell.
"Apa? Kalian sudah tidak waras. Aku tak akan memberikannya! Dasar sinting!" Isabell tak sudi lagi berpandangan dengan orang-orang culas itu, dia pun segera berlalu menaiki anak tangga.
Pedra yang kesal ingin segera menyusulnya.
"Sudahlah, Pedra. Biarkan dia pergi. Kita nikmati saja dulu perhiasan indah ini, barulah setelah itu kita rampas semua kartu black gold gadis sombong itu. Mengerti?" ucap Nyonya Devardo sambil memilin semua perhiasan yang ada di kotak kayu milik Isabell tadi.