Bab 2 IYM 2
Keesokkan harinya, Abe terlihat sedang menyisir rambutnya yang sudah klimis dan tak lupa aroma parfume ciri khasnya sudah menyeruak ke seantero penjuru rumah. Pagi ini, Abe akan berangkat ke Desa Sukamekar untuk meninjau lokasi hotel yang akan didirikannya. Sedangkan Mariana sudah pergi sejak sejam lalu untuk mengurusi urusannya yang sudah mendesak. Dirasa sudah cukup dengan penampilannya, Abe keluar dari kamar bernuansa light grey dan menuruni anak tangga dengan santai. Kebetulan perjalanan kali ini memang tak dikejar waktu. Langkah lebarnya langsung tertuju ke ruang makan yang telah tersedia beraneka ragam menu sarapan seperti disiapkan untuk sepuluh orang. Berdiam sejenak, Abe menarik nafasnya lelah, lalu menarik kursi, dan duduk seorang diri menikmati sarapannya. Sesekali Bik Atun datang sekedar melihat Abe yang sibuk mengunyah makanannya tanpa suara. Tak lama waktu berselang, seorang pria dengan pakaian santai datang menghampiri Abe yang tak menghiraukan kedatangannya dan tetap melanjutkan sarapannya dalam diam.
"Sepi banget nih rumah, Tante Ana ke mana, Be?" ucapnya kencang sambil berdiri menoleh kiri kanan.
"Sudah berangkat sejam yang lalu," sahut Abe datar. Pria itu duduk menarik kursi dan ikut sarapan bersama Abe seperti orang tak makan seminggu, hingga membuat Abe menatapnya heran.
"Berapa hari gak makan?" tanya Abe tajam dengan wajah mengernyit.
"Sehari," sahutnya cepat.
"Sehari tak makan saja sampai lahap begitu, bagaimana jika seminggu?" sambung Abe tak habis pikir.
"Aku tahan tak makan seminggu, Be, tapi aku tak tahan kalau tak goyang pinggul walau sehari. Rasa mau mati diri ini," sahutnya sambil terkekeh.
"Jangan mulai deh! Masih pagi!" ucap Abe yang sudah paham ke mana arah kalimat lawan bicaranya.
"Justru karena pagi, Be. Bisa segarin otak kita bahas gituan, apalagi langsung exercise. Alamak!" cerocosnya dengan mulut penuh makanan gratis.
"Serah!" sahut Abe judes.
"Be Be, aku dengar dari Tante Ana, cewek di Desa Sukamekar cantik-cantik ya. Masih polos tanpa polesan. Benarkah?" ucapnya penasaran.
"Terakhir aku ke sana tak terlalu perhatikan hal itu. Namanya cewek pasti cantik, masa ganteng, dan balik lagi juga tergantung sudut pandang kita juga sih! Cantik itu relatif." papar Abe yang menghentikan suapannya.
"Jadi tak sabar ingin cepat sampai di sana. Siapa tahu ada yang bikin hati abang kepincut. Ow yeah ...," serunya mendesah sambil meliukkan tubuhnya.
Abe yang melihat kelakuan sepupunya tersebut hanya bergidig tak perduli. Sudah hafal dengan sifat sepupunya yang terkenal playboy cap teh pucuk. Sekali gerak ke ujung langsung habis masa depan pohon teh.
"Eh, Be Be!" panggilnya lagi tak bisa diam.
"Ya Tuhan, sekiranya malaikat pencabut nyawa sedang tak ada kerja, perintahkan dia untuk mencabut nyawa dedemit ini agar hidupku lebih damai tanpa gangguan, Amin." Mendengar doa tulus tersebut, pria itu menganga dan tersadar ketika makanan di mulutnya jatuh mubazir.
"Ishh, tega sekali doamu saudaraku. Tuhan tak akan kabulkan doa yang buruk-buruk dari hambanya macam doa barusan!" beonya dalam sekali sembur.
Abe hanya memutar kedua bola matanya malas, malas menghadapi sepupunya, Ayman yang banyak bicara. Lelah mungkin yang dirasa Abe sepanjang hidupnya karena lahir bersamaan dengan Ayman 30 tahun lalu serta ruang persalinan berdampingan. Bedanya, Ayman sosok pria yang tak bisa diam dan ramai, belum lagi jajaran wanita yang siap membuka kedua kaki untuknya selalu mengisi tujuh hari full dalam hidupnya yang sibuk dengan pekerjaan. Sedangkan Abe adalah sosok pria yang dingin, sedikit bicara, dan tak mudah didekati, terutama wanita.
"Lagi sejak datang Ba Be Ba Be terus kamu! Dikira aku Babe?" beo Abe kesal dengan kebiasaan Ayman yang memanggilnya begitu sejak kecil, Babe.
"Yeeee, itu panggilan sayang, Be. Saking sayangnya aku tuh jadi sepupumu. Harusnya kamu bahagia dapat panggilan special dari aku," timpal Ayman tak mau kalah yang semakin membuat Abe ingin menggantungnya di jemuran.
"Capek aku!" seru Abe menyerah meladeni orang gila numpang makan.
Ayman hanya terbahak melihat Abe yang seketika bad mood dengan ulah usilnya. Itu adalah hobi Ayman mengganggu Abe sejak kecil yang pendiam dan dingin. Hanya dengannya, Abe banyak bicara dan berkeluh kesah tentang dirinya. Di balik debat yang sering terjadi, tak ada dendam di antara keduanya, karena itulah cara mereka saling menyayangi sebagai keluarga.
Setengah jam sudah berlalu, saatnya Abe dan Ayman bergegas menuju Desa Sukamekar. Mereka berangkat menggunakan penerbangan siang yang menempuh waktu kurang lebih dua jam. Tak banyak barang yang dibawa keduanya, hanya koper kecil yang memuat beberapa berkas karena pakaian ganti sudah ada di rumah peristirahatan yang Mariana bangun setahun lalu.
Waktu sudah menunjukkan jam 4 sore, dan sekitar 30 menit lalu mereka tiba di bandara. Seorang sopir menjemput mereka tepat waktu dan meluncur tanpa hambatan ke rumah peristirahatan yang berdiri di sebuah kaki bukit. Di sepanjang perjalanan, Ayman membuka jendela mobil untuk menikmati suasana indah pedesaan yang sangat asri dengan kabut yang mulai turun. Dingin, itulah udara yang masuk menyapa paru-paru, berbeda dengan udara perkotaan yang sudah sangat tercemar dengan polusi, baik polusi udara juga polisi mata. Abe tersenyum tipis melihat Ayman yang begitu menikmati suasana di luar jendela. Tak heran, ini memang kali pertama baginya datang ke desa ini karena selalu sibuk dengan urusannya mengelola perusahaan ayahnya yang kini jadi tanggung jawabnya. Tak ada waktu bagi Ayman berlibur ke pedesaan karena selama ini dia hanya akan menghabiskan akhir pekannya dengan wanita-wanita langganannya di sebuah club.
"Gila lo, Be, gilaaaa!" tiba-tiba suara Ayman mematahkan senyum manis Abe yang terukir cukup lama di bibirnya.
"Mulai lagi udah!" gumam Abe dengan suara yang mungkin tak didengar Ayman.
"Kok bisa, ya, Be, Tante Ana dapat tempat seindah ini? Tahu dari lama, aku sering ikut berkunjung ke sini bawa cewek seksih!" beonya yang malah membuat wajah Abe kesal.
"Sembarangan kamu! Jangan harap kamu bisa bawa gundikmu datang ke sini. Aku kebiri kamu yang ada!" ancam Abe yang dibalas kekehan mengejek oleh Ayman.
"Serem sekaleeee ancamanmu, Babeku!" ejek Ayman melirik sebentar ke arah Abe yang sudah emosi.
"Serah!" sahutnya malas dan menyibukkan diri menatap handphone di tangannya.
Hening kembali menyapa isi mobil yang terus bergerak menembus kabut sore nan semakin tebal. Perlahan sang sopir melambatkan laju mobilnya ketika menemui jalan berliku hingga memasuki daerah yang cukup ramai. Tampak beberapa warga sekitar berlalu lalang berpapasan dengannya yang baru saja menjalani kesibukannya masing-masing, hingga suara Abe mengalihkan Ayman yang sedang meminum air mineral.
"Tuh lihat!"