Bab 7. Kebaikan Hati Dokter Ariel
Tinggal sendiri di apartemen sederhana yang ada di Manhattan, membuat Ariel selalu melakukan apa pun sendirian. Bersih-bersih, masak, mencuci, dan lain sebagainya. Dia tak memakai pelayan karena dalam tahap penghematan.
Memiliki profesi sebagai dokter sebenarnya membuat Ariel, memiliki hidup yang nyaman. Meskipun bukan pengusaha ternama, tapi dia hidup tanpa kekurangan. Akan tetapi, kemarin di kala dirinya di Washington D.C—tabungannya dikuras habis oleh Flora.
Flora mengatakan bahwa Ariel tidak harus memiliki banyak uang. Bahkan kakak tirinya itu juga menjual asset yang dimiliki Ariel seperti apartemen di London. Ya, Ariel bukan takut melawan Flora, tapi dia menganggap bahwa dirinya sudah mencicil uang yang telah keluarga DiLaurentis keluarkan untuknya.
Ariel memulai kembali semuanya dari nol di kala dirinya tiba di New York. Wanita itu menyewa apartemen sederhana dengan tipe studio. Pun mobil yang dia miliki bukanlah mobil mewah.
Ariel tidak membayar sopir atau pelayan, demi penghematan. Tujuan utamanya melakukan penghematan agar dia memiliki banyak tabungan, yang sebelumnya sudah dirampas oleh kakak tirinya.
Meskipun hidup sederhana, Ariel tetap bersyukur dan merasakan hidup bahagia. Dia jauh lebih bahagia hidup sendirian daripada harus tinggal bersama dengan keluarganya.
Jika banyak orang merasakan kebahagiaan tinggal dengan keluarganya, lain halnya dengan Ariel. Wanita itu jauh lebih bahagia tinggal sendiri. Andai ibunya masih ada di dunia ini, tentu Ariel lebih memilih tinggal dengan ibunya.
Pagi itu, Ariel duduk di sofa kamarnya sambil menikmati sarapan sederhana yang dia buat. Terbiasa tinggal sendiri, membuatnya menjadi sangat mandiri. Lalu, di kala dia tengah menikmati sarapan—suara dering ponselnya berbunyi.
Ariel mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan menatap ke layar tertera nama Harmony menghubunginya. Nomor yang dia gunakan adalah nomor baru. Jadi pasti yang menghubunginya adalah teman-teman terdekat.
Ariel segera menggeser tombol hijau, untuk menerima panggilan telepon itu.
“Ada apa, Harmony?” tanya Ariel kala panggilan sudah terhubung.
“Ariel, kakak tirimu itu apa bisa kau buang ke Planet Neptunus?” ujar Harmony dengan nada jengkel dari seberang sana.
Kening Ariel mengerut dalam. “Apa maksudmu, Harmony? Kenapa kau pagi-pagi meneleponku marah-marah tidak jelas membawa-bawa nama Flora?”
Harmony mendesah kasar. “Kakak tirimu itu tadi menghubungiku. Dia mengucapkan semua sumpah serapah. Aku mengatakan tidak tahu keberadaanmu. Tapi dia terus mengatakan sumpah serapah. Bahkan aku dihina. Jika saja dia ada di depanku, akan aku jadikan dia rebusan ayam!”
“Flora menghubungimu?”
“Ya, bukan hanya menghubungi saja, tapi dia juga memakiku. Dia bilang aku pembohong karena sudah menyembunyikan keberadaanmu. Aku bersumpah, kalau dia muncul di depanku, akan aku jadikan dia rebusan ayam. Atau perlu, aku akan membekapnya lalu memberikannya pada astronot agar dia dikirim ke Planet Neptunus.”
Ariel tersenyum samar mendengar apa yang dikatakan oleh Harmony. Dia tersenyum bukan karena menertawakan, tapi kata-kata temannya itu sangat lucu. Lagi pula, dia sudah menduga pasti Flora akan mencarinya pada Harmony. Selama ini, Ariel tidak memiliki banyak teman. Hanya Harmony yang menjadi teman dekatnya.
“Harmony, thanks sudah membantuku mengatakan kau tidak tahu keberadaanku. Atas nama Flora, aku minta maaf. Jangan ambil hati kata-kata dia. Sifatnya sejak dulu memang serperti itu.”
Embusan napas Harmony terdengar. “Kau jangan minta maaf. Yang salah itu kakak tirimu yang ajaib.”
Ariel kembali tersenyum. “Sudah, tidak usah membahasnya lagi. Terima kasih sudah memberi tahuku.”
“Kau di mana?”
“Aku masih di apartemen. Beberapa menit lagi aku akan jalan.”
“Baiklah. Sampai bertemu di rumah sakit.”
“Ya, sampai bertemu di rumah sakit.”
Panggilan tertutup. Ariel mengambil tas dan kunci mobilnya, lalu melangkah pergi meninggalkan apartemennya. Dia harus segera tiba di rumah sakit, karena banyak pekerjaan yang sudah menanti dirinya.
Sepanjang jalan, Ariel memutar siaran radio. Berada di dalam mobil sendirian menyetir membuatnya sedikit jenuh. Dia tinggal di Manhattan. Sedangkan Orlando Hospital berada di Brooklyn. Jarak yang ditempuh kurang lebih membutuhkan waktu tiga puluh menit.
Ariel sengaja memutuskan tinggal di Manhattan. Entah kenapa mood-nya lebih memilih dirinya tinggal di Manhattan, daripada di Brooklyn. Biarlah perjalanan tiga puluh menit. Tidak sampai berjam-jam.
Saat perjalanan menujuu rumah sakit, tatapan Ariel teralih pada mobil yang terhenti di pinggir jalan. Wanita itu menoleh ke samping menatap ada wanita paruh baya yang pingsan di dalam mobil. Kebetulan kaca mobil setengah terbuka. Itu kenapa dia bisa melihat wanita paruh baya itu dengan sangat jelas.
Ariel cukup terkejut. Wanita itu segera menghetikan laju mobilnya, dan turun dari mobil menghampiri sosok wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu. Untungnya pintu mobil berhasil dia buka karena tangannya masuk dari kaca, membuka paksa pintu itu.
“Nyonya? Nyonya?” Ariel menepuk-nepuk pipi wanita paruh baya itu.
Tidak ada respon. Wanita paruh baya itu sudah pingsan dan wajahnya pun memucat.
Ariel memeriksa denyut nadinya, walau sangat lemah. Napasnya sedikit lega karena denyut nadinya ternyata masih ada. Wanita itu segera memindahkan tubuh wanita paruh baya itu masuk ke dalam mobilnya—dan menuju ke rumah sakit. Bersyukur jarak rumah sakit sudah tinggal dekat dan beberapa menit lagi.
Setibanya di rumah sakit, petugas UGD sudah siap siaga. Sebelumnya Ariel meminta petugas dari UGD siap siaga karena ada pasien darurat. Tampak Harmony yang menyambut Ariel terkejut melihat sosok wanita paruh baya yang sudah terbaring di brankar pasien.
“Ariel, ini—”
“Harmony, aku menemukan wanita ini di jalan. Denyutnya sangat lemah. Aku khawatir dia terkena serangan jantung. Aku akan memeriksa pasien ini.” Ariel tak menggubris ucapan Harmony, dia langsung meninggalkan temannya begitu saja.
Mata dan bibir Harmony melebar. Dia bermaksud ingin memberi tahu Ariel, tapi sekarang bukan waktunya karena kondisi sedang darurat. Akhirnya, Harmony memutuskan untuk menghampiri Ariel.
Di ruang rawat, Ariel memeriksa wanita paruh baya itu. Namun, tiba-tiba mesin pendeteksi jantung berbunyi dengan gambar yang lurus—menandakan detak jantung pasien menghilang.
“Dokter, detak jantung pasien loss,” seru sang perawat panik.
Ariel bertindak cepat mengambil defibrillator untuk memacu kembali detak jantung. Berkali-kali usahanya gagal. Detak jantung pasien tetap tidak kembali. Wanita itu sempat panik, tapi dia tidak menyerah.
“Bernapaslah. Keluargamu menunggumu.” Ariel kembali berusaha memacu detak jantung pasiennya kembali.
Lalu … tiba-tiba sebuah keajaiban datang. Alat pendeteksi jantung kembali berbunyi. Grafik muncul menandakan adanya tanda kehidupan. Wajah perawat yang sempat menegang akhirnya lega karena Ariel mampu memberikan pertolongan dengan cepat.
“Dokter, detak jantung pasien berhasil kembali.” Perawat itu lega.
Ariel tersenyum merespon ucapan sang perawat.
***
Pasien yang diselamatkan Ariel sudah siuman. Karena posisinya belum ada keluarga yang datang, jadilah Ariel yang menjaga. Kebetulan, wanita itu meminta Harmony untuk menggantikannya mengurus pasien lain.
“Apa Kau yang menyelamatkanku?” tanya wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu.
Ariel tersenyum lembut. “Iya, Nyonya. Kebetulan Anda pingsan. Jadi aku membawa Anda ke rumah sakit.”
“Terima kasih banyak.” Wanita paruh baya itu melihat name tag yang dipakai oleh Ariel. “Dokter Ariel. Namamu Ariel?”
Ariel mengangguk. “Benar, Nyonya. Nama saya Ariel.”
“Marsha. Namaku Marsha,” jawab Marsha lembut.
Tiba-tiba ada seorang pria paruh baya berlari masuk ke dalam ruang rawat Marsha, dan memeluk wanita paruh baya itu. Tampak mata Ariel melebar terkejut di kala melihat sosok pria paruh baya yang dia kenali ada di hadapannya.
“Marsha?” seorang pria paruh baya itu terlihat sangat panik.
“William?” Marsha tersenyum lembut menatap sang suami tiba.
“Kau itu kenapa selalu membuatku khawatir?!” William menangkup kedua pipi Marsha. “Sudah aku katakan, kau jangan menyetir sendiri. Kau ini keras kepala sekali. Kau sejak sudah bisa menyetir, malah semakin susah aku nasehati.”
Marsha menyentuh tangan sang suami. “Sayang, aku baik-baik saja. Aku jenuh berada di rumah. Jadi, aku memutuskan untuk pergi jalan-jalan.”
“Kenapa kau tidak bersama pengawal?” William masih kesal pada sang istri yang pergi sendiri. Dia langsung menuju rumah sakit, di kala mendengar kabar sang istri masuk rumah sakit.
“Aku malas bersama pengawal, Sayang.” Marsha menatap Ariel dengan penuh kelembutan. “Sekarang lebih baik kau bilang terima kasih pada dokter cantik itu yang sudah menyelamatkanku. Dia yang membawaku ke rumah sakit, dan juga menyelamatkanku. Entah bagaimana diriku kalau dokter cantik itu tidak menyelamatkanku.”
William mengalihkan pandangannya menatap Ariel yang nampak masih terkejut. “Kau, Dokter Ariel? Kau yang menyelamatkan istriku?”