Bab. 3
3. Kompetisi masak
****
"Gue mau kita kompetisi masak!"
"Apa?" Sebenarnya Putri mendengar ucapan Bita itu dengan jelas, hanya saja dia perlu mendengarnya sekali lagi. Dia ingin melihat Bita mengatakan ajakan itu dengan sungguh-sungguh.
Bita mengangkat dagu, kemudian berujar dengan penuh keyakinan, "Gue mau kita battle. Masak itu nggak perlu bakat."
"Oke, jam istirahat di dapur sekolah!" kata Putri tanpa pikir panjang, lalu angkat kaki.
Bita ikut beranjak dari koridor disertai jantung yang berdegup kencang. Rasa takut mendadak datang menguasai dirinya. Plis, yang diajaknya lomba itu Putri Adisti, seseorang yang masakannya paling memiliki banyak pujian dari para juru masak di sekolah ini.
Putri memang tidak terkenal seperti halnya Bita dan teman-temannya. Namun, nama Putri juga tak asing di telinga semua orang, karena masakannya dikenal paling lezat, setelah Jeriko, murid kelas sebelah yang juga teman sepermainan Bita.
Itu sebabnya, Bita takut. Dan barulah sekarang Bita menyesali apa yang dikatakannya tadi. Tidak seharusnya dia menantang Putri. Dia tahu seperti apa kemampuan masak Putri, pun sebaliknya.
"Gue pasti bisa. Masak nggak perlu bakat. Semua orang bisa memasak!" Bita menepis semua pikiran negatifnya sekaligus memantapkan diri kalau dia juga bisa memasak.
Hei, Bita sudah satu tahun sekolah di sini, loh. Dan tak terhitung berapa kali dia praktik memasak di dapur sekolah. Ya, walaupun nilainya tidak pernah sempurna, tapi Bita yakin, dia bisa memasak karena dia percaya : memasak adalah bagian dari diri setiap perempuan.
"Kamu ajakin Putri kompetisi masak?" tanya Atha yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya.
"Iya." Bita menjawab mantap, lalu buru-buru menambahkan, "dia bilang aku masuk ke sini nggak punya tujuan, cuma mau ikut-ikutan kamu aja. Aku nggak terima.”
Atha mengembuskan napas panjang, seakan ada emosi yang sedang dia coba tahan.
"Apa pun hasilnya, jangan cengeng, " kata Atha seraya mengacak rambut Bita dengan penuh perhatian.
"Aku tahu aku pasti kalah. Masakan Putri itu, enak." Bita tersenyum kecil sambil menatap ke luar jendela yang menghadap ke halaman kelas. "Tapiii, aku bakal buktiin sama mereka kalau aku tuh juga bisa masak."
Sementara itu, di ruang kelas yang lain, Fani sedang berusaha membujuk Putri untuk membatalkan battle antar dirinya dan Bita nanti. Maksudnya sih baik, supaya nanti Bita tidak berkecil hati. Biar bagaimana pun juga, mereka sebenarnya masih peduli dengan cewek itu.
"Kita semua kan tahu, masakan Bita nggak ituuu". Fani seperti enggan untuk mengatakannya, tapi dia tetap menambahi, "kasihan dia nantinya."
Lista mengangguk. "Iya, sih. Selama ini kan kita lihat sendiri, Bita itu nggak pernah kelihatan suka masak. Kayak nggak niat gitu."
Putri paham maksud teman-temannya itu, namun dia tetap bertekad untuk menerima tantangan Bita tadi. Biar Bita juga tahu, kalau dia sudah salah memilih jurusan.
"Kita lihat aja nanti gimana hasilnya. Semoga aja dia sadar kalau passion-nya itu bukan untuk memasak."
•••
Setiap detik yang Bita lewati terasa begitu cepat. Dua jam sudah berlalu dan bunyi bel tanda istirahat pun sudah terdengar sejak tiga puluh detik yang lalu. Bita mendengus, menegakkan bahu dengan mantap, sebelum akhirnya beranjak menuju dapur sekolah.
"Hei, Bita, mau ke mana? Kantin, yuk!" Seorang cowok berperawakan sedang, berlari kecil menghampiri Bita.
"Sori, lain kali aja ya," sahut Bita tak enak hati.
"Oh, oke." Cowok itu berhenti dan melambaikan tangan singkat.
Setibanya di tempat tujuan, langsung saja Bita menghampiri Putri dkk yang sepertinya sudah dari tadi menunggunya.
"Kamu yang tentukan menu apa yang harus kita masak," seru Putri tanpa tedeng aling-aling.
Bita mencoba tampak tenang. "Siapa jurinya?"
"Jeriko." Putri menunjuk seorang cowok berkacamata yang baru saja memasuki dapur.
Bita agak terkejut. Memang sih, dia dan Jeriko saling mengenal dan cukup dekat. Tetapi, itu hanya sebatas obrolan nggak penting, dan apa yang mereka bahas biasanya di luar dari topik masak memasak. Jadi, biarpun mereka itu dalam satu kelompok yang sama, belum tentu juga Jeriko akan memihaknya. Kecuali, kalau Jeriko ....
"Jeriko di sini sebagai juri. Dan dia harus menilai dengan jujur!" Pernyataan Lista barusan, langsung menghancurkan harapan Bita untuk menang.
"Oke," kata Bita, jengkel.
Selagi Bita dan Putri mulai memakai perlengkapan memasak seperti tutup kepala dan celemek, di luar penonton mulai berdatangan. Kabar tentang Bita yang akan melakukan battle, ternyata sudah tersebar ke seluruh penjuru sekolah, sehingga membuat mereka beramai-ramai mendatangi dapur. Apalagi sosok Bita yang akhir-akhir ini menjadi populer, menciptakan rasa ingin tahu mereka akan kemampuan masak cewek itu.
Menu yang akan dijadikan battle adalah menu sehari-hari Bita di rumah, yaitu capcay seafood. Bita memilihnya bukan tanpa alasan. Mamanya suka sekali memasak makanan itu untuknya, dan Bita juga pernah membuatnya. Semua orang di rumah bilang, masakannya itu lezat, sempurna. Dan alasan lainnya : bahannya simpel dan membuatnya nggak butuh waktu lama. Itulah kenapa Bita percaya diri untuk memasaknya sekarang.
Namun, ada yang membuat Bita kesal. Sewaktu dia bilang menu battle mereka adalah capcay, ekspresi Putri terlihat seperti orang yang sedang berusaha menahan tawa. Maksudnya apa, coba?
"Waktunya lima belas menit, dan dimulai dari .... sekarang!" seru Fani, setelah Bita dan Putri berdiri di depan meja berisi alat masak dan bahan-bahan yang sebelumnya memang sudah tersedia di lemari pendingin di dekat sana.
Lomba dimulai. Di luar, suasana tampak heboh. Banyak yang memberi dukungan pada Bita. Mereka bersorakan, sambil bertepuk tangan. Mereka tidak tahu, kalau saat ini, Bita sedang gemetar, marah, sekaligus merasa takut. Apalagi begitu dilihatnya Putri yang dengan tenang memotong setiap sayuran. Teknik memotong Putri jauh lebih baik dibandingkan dirinya. Putri cepat dan teliti. Bahkan, di saat seperti ini, dia masih bisa-bisanya tersenyum!
Apaan, sih!
Perasaan jengkel Bita semakin menjadi sewaktu melihat Putri sudah mulai menumis bumbu.
"Putri! Putri! Putri!"
Nama Putri yang mulai mendominasi, tak ayal membuat Bita mulai merasa takut ketinggalan.
Aku bisa. Masak nggak perlu bakat! Semua orang bisa masak!
Bita melap keringat yang bercucuran dari dahinya. Sebenarnya suhu di dalam ruangan ini cukup sejuk, namun bagi Bita tidak demikian. Mungkin hal itu dikarenakan suasana hatinya yang sedang panas mendengar orang-orang lebih banyak menyebut nama Putri ketimbang dirinya.
Dan ketika dia melihat jam di dinding dapur, gerakannya melambat karena di menit ke dua belas, dia mendengar Putri bersuara.
"Aku udah selesai!"
Jantung Bita seakan mencelus. Selama beberapa saat, Bita terpaku pada tumisannya.
Dia belum selesai.
"Ayo, Bita, sedikit lagi!" Atha mendadak muncul di tengah-tengah kerumunan orang yang menonton dari muka pintu.
"Cieeeeee!" Sorak sorai semua teman-teman mereka terdengar, yang ditanggapi Atha dengan senyum tipis.
"Udah, Bita, santai aja. Yang dinilai kan bukan siapa yang cepat. Tapi, siapa masakannya yang paling enak." Begitu kata Bunga, dari balik punggung Atha.
Bita seperti mendapat suntikan semangat. Dengan segera dia menyiapkan masakannya. Putri, yang melihat kesungguhan itu dari mata Bita, mau tak mau merasa khawatir juga. Bagaimana kalau Bita berhasil mengalahkannya? Siapa tahu hari ini adalah hari keberuntungan cewek itu?
Tapi, tidak mungkin juga Bita menang melawannya. Dia tahu betul seperti apa kemampuan Bita. Bita tidak pernah memasak dengan hatinya.
"Gue udah selesai!" kata Bita tak lama kemudian. Ditaruhnya piring berisi masakannya yang sudah ditata sedemikian rupa ke meja kayu di hadapan Jeriko.
Putri melihatnya sekilas, lalu menyunggingkan senyum penuh arti.
"Buruan, Jer, kasih nilainya!" Bunga berseru lagi.
Jeriko mengangguk. Bergantian dilihatnya piring Putri dan Bita, mulai menilai.
Putri mengepalkan tangan sewaktu Jeriko mencicipi capcay buatan Bita. Rasa takut tiba-tiba menyerangnya. Bagaimana kalau nilai Bita sempurna?
"Satu dari sepuluh, makanan ini gue kasih nilai ... delapan!" kata Jeriko.
Refleks, bahu Putri terangkat naik begitu mendengar hasil yang didapatkan Bita. Angka itu... cukup tinggi.
"Yeeeiii! Bita keren!!!" teriak Adila, sehingga mereka yang mendengarnya memberi applause yang meriah.
Bita mengangkat dagu lebih tinggi dari sebelumnya. Kepercayaan dirinya mulai kembali.
"Aku nggak yakin nilainya segitu," komentar Fani.
Cia mengangguk. "Hemmm, Jeriko kan temennya. Cukup tahu aja."
Jeriko menarik pelan piring milik Putri lalu mencicipi capcay seafood buatannya.
"Cantik," ucap Jeriko.
"Thanks." Putri menjawab singkat. Tiba-tiba dia jadi tidak percaya diri.
Seharusnya, dia tidak meminta Jeriko untuk menjadi juri dalam battle ini. Ya jelaslah Bita yang bakal menang. Jeriko pasti nggak akan biarin Bita malu.
"Hmmm ... oke." Jeriko melipat tangan di dada, bergantian menatap Bita dan Putri yang sama-sama memasang ekspresi tegang.
"Nilai Putri ...,"
Plis. Bita merapal doa dalam hati.
"Sepuluh."
Putri mengepalkan tangan kanannya sambil berseru, "Yes!" dengan semangat.
Sedangkan Bita, hanya bisa terpaku di tempatnya. Cukup lama, sehingga dia bisa mendengar beragam komentar kecewa dari teman-teman kelompok populernya.
"Yaaaa, masa kalah sih!"
"Malu-maluin aja deh."
Bita membuang napas panjang. Sebelum dia mendengar yang lain lagi, cepat-cepat dia beranjak dari sana.
"Bita?"
Bita berhenti berjalan begitu tahu siapa yang memanggilnya. Cepat dia menoleh dan menatap orang itu dengan pandangan kesal.
Jeriko tersenyum. "Sori. Lo marah sama gue?"
Bita tidak langsung menjawab, dia justru kembali melangkah dan berhenti lagi di kursi panjang di depan kelasnya.
"Bit?"
"Gue mau lo jujur. Sebenarnya, masakan gue tadi enak atau nggak?"
Jeriko kembali menunjukkan seulas senyum. "Enak. Makanya gue kasih nilai delapan."
"Bohong! Jujur aja sebenarnya nilai gue berapa? Gue tahu kok kalo tadi lo sengaja kasih gue nilai delapan supaya gue nggak malu."
Jeriko tetap tersenyum. "Menurut gue, sebaiknya lo pindah jurusan aja. Ikut Adila sama Bunga di Tata rias."
Bita terbengong mendengar pernyataan Jeriko tersebut. Ternyata, bukan cuma Putri yang berpikiran kalau dia nggak bisa masak. Jeriko juga?
"Sori, Bita," seru Jeriko dan menepuk pundak Bita dengan pelan sebelum akhirnya pergi, meninggalkan Bita yang tak lama kemudian mulai menangis.
"Bitaaa!" Adila tahu-tahu sudah berada di dekatnya. "Udaaaah, nggak usah sedih gitu dong. Lagian kenapa sih mesti dipikirin?"
Bita senyum terpaksa sambil mengusap ujung matanya yang basah. "Nggak kok, biasa aja."
"Hehehehe, gitu dong. Eh, entar sore jadi, kan?"
Bita mengangguk. "Jadi."
"Yeeeiii!"
****