Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9

Negosiasi yang Shane lakukan dengan perusahaan terbesar di Jerman telah berhasil ia menangkan. Shane tersenyum sembari berjabat tangan dengan CEO dari perusahaan yang sudah menandatangani kontrak dengannya.

"Senang bisa bekerjasama denganmu, Mr. Aleandro." Mr. Schieneder tersenyum ramah.

"Akupun begitu, Mr. Schieneder. Anda tidak akan menyesal memilih V Group sebagai rekan bisnismu." Shane melepaskan jabat tangannya dengan Mr. Schieneder.

Mr. Schieneder menganggukan kepalanya. Ia cukup mengenal nama Shane Aleandro, CEO muda yang sangat berbakat dalam dunia bisnis. Sepak terjang Shane dalam mengembangkan bisnis tidak bisa diragukan lagi. Shane selalu memenangkan tender besar, dan menghasilkan keuntungan berlipat ganda.

Harus Mr. Schiender akui bahwa ia mengagumi Shane. Di usia muda, Shane berhasil menduduki posisinya.

"Jika saja aku memiliki seorang putri, aku akan dengan sangat senang hati menikahkannya denganmu," gurau Mr. Schieneder.

Shane tertawa kecil sebagai tanggapan dari gurauan itu.

"Mr. Edzard sangat beruntung memiliki menantu sepertimu. Aku benar-benar iri pada keberuntungannya."

"Aku tidak sebaik yang Anda pikirkan, Mr. Schieneder."

"Kau terlalu merendah, Mr. Aleandro," sahut Mr. Schieneder.

Shane tidak membalas. Ia tidak sedang merendah. Orang lain mungkin akan segera menjauh darinya jika tahu berapa banyak nyawa yang telah ia lenyapkan.

Pekerjaan Shane selesai. Ia kembali ke apartemennya. Ia melangkah tenang, suara kakinya nyaris tidak terdengar. Kedua tangannya memeluk leher Aimee dari belakang. Membuat Aimee yang sedang menonton televisi, atau lebih tepatnya melamun jadi terkejut.

"Ini aku, Aimee, bukan hantu. Bernapaslah dengan benar." Shane berbisik pelan.

Jantung Aimee kebat-kebit. Ia mencoba mengatur napasnya yang tercekat. Shane, pria itu selalu saja berhasil membuatnya takut.

"Bersiaplah, aku akan membawamu ke suatu tempat." Shane menghirup aroma dari ceruk leher Aimee. Baru beberapa jam ia meninggalkan Aimee, tapi ia sudah begitu merindukan wanitanya itu.

"Lepaskan aku," seru Aimee.

"Aku tidak akan pernah melepaskanmu."

"Jika kau tidak melepaskanku, maka bagaimana bisa aku bersiap."

Shane terkekeh kecil. Ia salah mengartikan ucapan Aimee barusan. "Baiklah, Milikku." Shane melepaskan tangannya dari Aimee.

Aimee bangkit dari sofa. Shane melangkah mengitari sofa dan menarik tangan Aimee. Hingga membuat wanita itu masuk ke dalam pelukannya.

Tangan Shane memegang tengkuk Aimee. Matanya memandangi bibir indah Aimee yang tidak pernah bosan ia sesap. Shane tersenyum kecil, kemudian menarik tengkuk Aimee hingga bibirnya berhasil merasai bibir Aimee.

Shane menggila hanya karena bibir Aimee. Rasanya seperti candu, semakin lama semakin membuatnya ketagihan. Bagaimana bisa Aimee melakukan ini padanya.

"Nikmati, Aimee. Jangan ditahan." Shane memprovokasi Aimee. Memancing gairah wanitanya dengan lihai. Ia melumat bibir Aimee lebih liar lagi.

Menolak sentuhan Shane adalah hal yang ingin Aimee lakukan, tapi otaknya tidak sesuai dengan gairahnya yang seperti ingin meledak. Tubuhnya bahkan sudah meminta Shane menyentuhnya lebih jauh. Malam-malam panjang yang ia lalui bersama Shane, sentuhan demi sentuhan yang sudah Shane buat pada tubuhnya membuat ia mulai terbiasa akan sentuhan Shane. Ia tidak pernah berpikir bahwa tubuhnya akan mengkhianatinya secepat itu.

Lidah Aimee mulai membelit lidah Shane. Bergerak mengikuti permainan Shane.

Shane memutuskan ciumannya. "Kau sangat cepat menyesuaikan dirimu, Aimee." Ia tersenyum tipis.

Aimee melihat senyuman itu dengan baik. Jika saja ia tidak melihat Shane membunuh orang, maka ia pasti akan berpikir bahwa tidak akan ada pria sesempurna Shane. Senyuman yang menawan, wajah rupawan dan badan atletis. Wanita manapun pasti akan menjatuhkan diri pada Shane. Sayangnya, Aimee telah melihat banyak hal mengerikan yang Shane lakukan tepat di depan matanya. Shane menipu semua orang dengan kesempurnaan itu. Siapa yang bisa memikirkan bahwa dibalik wajah rupawan itu ada sisi iblis yang menguasainya.

"Aku yakin kau sudah basah sekarang." Shane kembali berbisik seduktif.

Aimee ingin mengelak, tapi tidak bisa karena tangan Shane telah lebih dahulu memastikan kebenarannya.

"Kita tidak akan melakukannya sekarang, Aimee. Kau bisa bersiap sekarang." Shane menghentikan kegiatan panas tadi. Ia membuat Aimee merasa seperti wanita jalang yang sedang dipermainkan.

Aimee tak berniat protes, ia segera melangkah untuk bersiap seperti yang Shane perintahkan.

Aimee memilih satu dress secara acak. Ia merias sedikit wajahnya lalu diam memperhatikan pantulan dirinya di sana untuk beberapa saat sebelum akhirnya beranjak pergi.

Shane melepaskan majalah bisnis yang ia baca. Ia tersenyum kecil ketika melihat Aimee mendekat ke arahnya. Aimee memang berbeda dari wanita kebanyakan. Miliknya itu tidak menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdandan. Meski riasan Aimee hanya riasan tipis, tapi di mata Shane, Aimee selalu terlihat cantik. Entah itu memakai riasan atau tidak. Entah itu memakai dress mahal atau tidak berpakaian sama sekali. Well, sejujurnya bagi Shane, Aimee lebih baik tanpa busana dan tanpa riasan, Aimee terlihat sangat polos.

Shane bangkit dari sofa, melangkah mendekat ke Aimee lalu melingkari pinggang Aimee dengan kedua tangannya. Shane menatap iris datar Aimee. "Tatap aku, Aimee."

Aimee tidak suka menatap mata Shane. Ia seperti tenggelam dalam sebuah kegelapan yang sangat mengerikan. Ya, tatapan Shane memang semengerikan itu.

"Aimee." Shane bersuara lagi.

Aimee mengangkat wajahnya perlahan. Memaksa matanya menatap mata Shane. Sekali lagi, Aimee tidak perlu menjelaskan betapa rupawan seorang Shane.

Shane tersenyum. Sebuah senyuman yang membuat Aimee terpaku sejenak.

"Melihatmu seperti ini membuatku tidak ingin membawamu keluar dan ingin menghabiskan hari ini berdua saja denganmu. Di atas ranjang, di sofa, di karpet dan di kamar mandi. Atau mungkin di balkon. Ah, Aimee, kau membuatku ingin memasukimu saat ini juga."

Ucapan frontal Shane membuat Aimee merasa panas. Mau bagaimanapun Aimee mencoba menolak kenyataan, ia tetaplah wanita dewasa yang memiliki gairah terhadap lawan jenis. Terlebih terhadap Shane yang memiliki mulut terampil dalam membuatnya merasa tersengat hanya dengan kata-kata. Ditambah Shane adalah pria pertama yang memaksa menjangkaunya lebih dekat meskipun itu hanya sekedar untuk kepuasan pribadi Shane.

Shane menyisipkan jemarinya ke rambut Aimee yang tergerai indah. Matanya masih menyapu wajah Aimee. Berhenti di bibir Aimee yang menggoda. Membuatnya bergairah seketika. Shane tidak bisa menahan dirinya untuk tidak melumat bibir itu. Ia mendekatkan wajahnya, merasai bibir Aimee. Candu mematikan yang membuatnya terus ingin mencicipi itu.

Aimee terengah-engah. Ia selalu kesulitan mengimbangi setiap gerakan bibir Shane. Tubuhnya mulai terasa gerah. Ciuman Shane seperti obat perangsang baginya. Membuatnya ingin merasakan lebih dari sekedar ciuman. Akan tetapi, Aimee tidak mau berharap banyak, Shane bisa saja mempermainkannya seperti tadi.

Dan Aimee benar. Shane berhenti. Pria itu hanya menciumi bibirnya lalu tidak bertanggung jawab atas efek yang Aimee rasakan. Wanita itu tersiksa karena gairah membara yang membakarnya.

"Aku akan membayarnya nanti, Aimee. Saat ini kita harus pergi." Shane sejujurnya sangat menginginkan Aimee mengerang dibawahnya. Namun, ia harus segera membawa Aimee pergi, jika tidak ia tidak akan bisa menunjukan matahari terbenam yang indah pada Aimee, miliknya.

Tubuh Aimee terasa nyeri, apalagi dibagian kewanitaannya yang tidak mendapatkan apa yang ia mau. Namun, sekali lagi Aimee tidak berniat protes. Bukan dirinya yang memegang kendali di sini, tapi Shane. Pria dominan yang telah memasuki teritorial hidupnya yang nyaris tak tersentuh oleh pria manapun.

♥♥♥♥♥

Mobil Shane berhenti di tepi pantai. Aroma lautan menyapa ia dan Aimee. Suara deburan ombak menyambut keduanya ramah.

Shane mematikan mesin mobilnya. Kemudian ia memiringkan wajahnya menatap Aimee. Wanitanya selalu memperlihatkan ekspresi yang sama, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya.

"Nikmatilah hidupmu, Aimee," seru Shane.

Aimee tertawa getir. Menikmati hidup? Setelah semua bencana yang menambah hidupnya, ditambah dengan kedatangan sosok Shane? Sungguh lelucon yang sangat baik, Shane.

"Kau selalu tampak seperti malaikat," sindir Aimee datar.

Shane tertawa geli. Matanya terus memandangi lekat wajah Aimee yang menunjukan seberapa Aimee menderita di dalam kehidupan ini. "Terima kasih atas pujianmu, Aimee."

Aimee tidak membalas. Ia tahu Shane pria yang pandai beradu argumentasi, dan lagi ia tidak berniat sama sekali berargumen dengan Shane.

"Turunlah."

Seperti yang Shane perintahkan. Aimee turun dari mobil.

"Berbaringlah di sini, Aimee." Shane meletakan telunjuknya pada bagian kap Aston Martin abu-abu metalic miliknya.

Aimee melakukan yang Shane minta. Ia berbaring di sana, lalu kemudian berbalik ketika Shane memerintahkannya untuk membalik tubuhnya.

Aimee merasa resleting dressnya ditarik turun oleh Shane. "Kau tidak berpikir untuk memuaskan dirimu di sini, bukan?" Aimee akhirnya bicara tanpa dimulai oleh Shane.

"Kenapa? Kau ingin aku masuki di sini?" Shane balik bertanya, tangannya masih menurunkan resleting hingga ke batasnya.

"Ini tempat terbuka."

Shane tersenyum tipis. Matanya memperhatikan punggung Aimee yang kini sedikit terekspos. "Aku pernah membayangkan menyetubuhimu di tempat terbuka seperti ini, mungkin hari ini adalah hari untuk mewujudkan mimpi itu."

"Kau sakit jiwa," desis Aimee spontan.

"Kau tahu dengan benar tentang itu, Aimee."

Aimee memiringkan wajahnya. Melihat seserius apa wajah Shane saat ini. Iris abu-abu Aimee bertemu dengan kegelapan milik Shane.

"Menemukan yang kau cari di mataku, Aimee?"

"Tidak ada gunanya berdebat dengan pria sepertimu." Aimee kembali melihat ke arah kaca mobil mewah Shane. Ia yakin Shane serius dengan kata-katanya. Pria gila itu akan melakukan apapun yang ia mau, tanpa ada kata menolak.

Shane mengulum senyumnya. "Bagus, simpan energimu untuk nanti."

Hembusan angin dingin menerpa kulit Aimee. Pertanda bahwa musim dingin akan segera datang. Anehnya tubuh Aimee terasa panas. Ia menggigiti bibirnya, menahan desahan keluar dari sana.

Jemari Shane terus saja menyentuh punggungnya yang kini sudah terbuka. Hanya menyisakan bra berenda berwarna hitam.

"Apa yang kau lakukan pada tubuhku?" Aimee ingin bergerak tetapi Shane menekan punggung Aimee.

"Sshh, Aimee. Jangan bergerak. Kau bisa membuat dirimu terluka." Shane menggerakan jarinya yang memegang jarum suntik tato.

"Kau tidak bisa melakukan hal semaumu pada tubuhku, Shane!" tukas Aimee tajam.

Shane berhenti menggerakan tangannya. Ia mendekatkan bibirnya ke cuping telinga Aimee. "Aku suka mendengar kau menyebutkan namaku. Sangat indah."

Jawaban Shane membuat Aimee emosi. Apa sebenarnya yang Shane lakukan pada tubuhnya.

"Tubuhmu milikku, Aimee. Aku bebas melakukan apapun yang aku mau." Shane kembali melanjutkan kegiatannya. Semakin menyulut api kemarahan Aimee.

"Kau iblis!" desisnya tajam.

"Dan kau telah membuat kesepakatan dengan iblis ini."

Aimee mengepalkan kedua tangannya. Ia memang mengatakan akan menuruti semua perintah Shane, tapi bukan berarti ia mengizinkan Shane melakukan apapun pada tubuhnya.

Rasa sakit terasa di pinggang Aimee. Ia yakin Shane tengah menggunakan benda tajam pada pinggangnya. "Hentikan apapun yang sedang kau lakukan, Shane!" Aimee tidak tahan lagi.

"Diamlah, Aimee. Ini tidak akan memakan waktu lama. Aku tidak menyayati tubuhmu dengan pisau. Tenang, aku masih menyukai tubuhmu. Dan ya, jika kau sangat penasaran aku akan memberitahumu. Aku membuat tato di pinggangmu."

"Kau benar-benar sakit jiwa, Shane!" geram Aimee.

Shane tidak peduli umpatan Aimee. Ia terus fokus pada jarum suntik dan pinggang Aimee yang mengeluarkan darah. Shane ingin sekali membuat tato besar pada pinggang Aimee, tapi ia tidak ingin merusak kulit mulus Aimee. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuat namanya di pinggang Aimee dengan ukuran kecil namun bisa terbaca dengan jelas dalam radius 2 meter.

Shane menjelma menjadi seorang seniman profesional. Ia telah mengukir namanya di tubuh Aimee. Dan Shane puas dengan hasil kerja tangannya. Shane mengecup tato yang baru saja ia buat, ia menggantikan rasa sakit yang Aimee rasakan dengan sebuah kecupan lembut.

Sengatan mulai Aimee rasakan. Kecupan Shane yang semula hanya pada tempat yang ditato kini berpindah. Bibir Shane menghujami seluruh punggungnya dengan kecupan panas. Aimee mulai kehilangan akal. Shane terlalu lihai menyentuhnya untuk ia tolak.

Lenguhan lolos dari bibir Aimee. Membuat sebuah senyuman terukir di wajah menawan Shane.

Suara yang Aimee keluarkan membuat Shane semakin bergairah. Bagian tubuh paling sensitifnya sudah mengeras di bawah sana.

"Aku akan membayar rasa tersiksamu tadi, Aimee." Shane menyingkap dress Aimee. Ia melucuti celana dalam Aimee dengan cepat. Shane menarik pinggul Aimee, kemudian memasukan miliknya ke dalam milik Aimee yang sudah siap untuknya.

Shane menghujam Aimee dalam dan kasar. Ia melepaskan rasa tersiksa yang tadi menyiksanya.

Tubuh Aimee bergerak naik turun di atas kap Aston Martin Shane. Ia mengerang kuat, tidak peduli apakah nanti akan ada orang yang mendengar. Harga dirinya sebagai seorang wanita sudah benar-benar lenyap. Ia kini seperti wanita jalang yang siap disetubuhi kapanpun dan di manapun.

Persetan! Aimee sudah kehilangan akalnya. Isi otaknya hanya dipenuhi oleh kenikmatan dan gairah yang semakin membara.

"Lebih cepat." Aimee ingin merasakan sensasi yang lebih lagi.

"Memohon, Aimee." Shane terus menyentak pinggul Aimee. Maju mundur dengan kasar.

"Lebih cepat, aku mohon." Aimee memohon, benar-benar persis seperti jalang.

"Dengan senang hati, Aimee." Shane memainkan tempo hujamannya lebih cepat. Menyentak lebih dalam, semakin menyesakan Aimee dengan kenikmatan.

Fantasi Shane benar-benar terealisasikan. Rasanya luar biasa, bercinta dengan Aimee di tempat terbuka. Shane jelas sudah memastikan bahwa tidak akan ada satupun orang yang bisa melihat percintaan mereka. Sangat mudah bagi seorang Shane untuk mengatur hal itu.

Shane mendapatkan kepuasannya. Ia membuat Aimee lemas dan bergetar setelah percintaan mereka. Shane ingin lagi, tapi matahari sudah mulai terbenam. Ia terpaksa menyudahi kegiatannya agar Aimee bisa melihat keindahan matahari terbenam dari langit Jerman.

"Berbaliklah. Kau harus melihat ini." Shane sudah merapikan pakaiannya dan duduk di atas kap mobilnya.

Aimee berbalik. Ia melihat ke depan dan membeku. Dada Aimee terasa sesak. Ia teringat masa kecilnya. Ayah dan ibunya sering membawanya ke pantai untuk melihat matahari kembali ke tempatnya. Air matanya jatuh begitu saja. Ia benci mengingat tentang ayahnya yang telah menghancurkan semua kenangan indah masa kecilnya.

"Kenapa kau menangis, Aimee?" Shane tidak berharap reaksi Aimee akan seperti ini.

"Jika kau sudah selesai, aku ingin kembali ke apartemen. Aku lelah." Aimee tidak ingin bercerita pada Shane yang asing baginya.

"Baiklah. Kita kembali."

Aimee masuk ke dalam mobil, begitu juga dengan Shane. Sepanjang jalan Aimee hanya melemparkan tatapan kosong ke pepohonan di tepi jalan. Sedang Shane, ia bersumpah tidak akan membawa Aimee melihat matahari terbenam lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel