Bab 3
Ketiga
"Lakukan atau tidak. Tidak ada kata mencoba-coba."
–Yoda–
Siang itu ketika Rhea memutuskan untuk tidak bolos sekolah, bersama Sania dia pergi ke kantin. Sebenarnya Rhea sengaja melakukan hal tersebut, bukan karena dia ingin belajar tapi karena Rhea sangat penasaran sama sosok cowok yang sudah berani menembaknya dengan tidak etisnya.
Stop, jika kalian berpikir Rhea mulai jatuh hati pada Sagar, maka kalian salah besar. Rhea ingin tahu karena dia sudah muak dengan kelakuan cowok satu itu. Baru saja sehari menjadi pacarnya, tapi belagunya minta ampun. Mulai dari menasihatinya, mengiriminya pesan hampir tiap waktu sampai-sampai Rhea tidak bisa tidur sama sekali, bukan hanya itu saja bahkan cowok sinting itu mengiriminya pesan agar dirinya jangan tertidur saat pelajaran berlangsung. Siapa juga orang yang sudah berani memberikan nomornya ke cowok sinting itu.
Harinya benar-benar kacau gara-gara cowok sinting itu.
"Lo kenapa sih, wajahnya asem gitu?" tanya Sania melihat wajah cemberut Rhea. Biasanya sahabatnya satu itu akan sangat bahagia bisa keluar dari kelas.
"Gue lagi banyak pikiran nih."
"Apalagi? bonyok lo berantem?"
Rhea menggelengkan kepalanya.
Sania berpikir lagi, kiranya apa yang membuat Rhea jadi aneh seperti ini. "Engg, dihukum sama bu Dinar—eh tapi tadi lo nggak telat 'kan. Tumben," cengirnya teringat saat melihat Rhea datang lebih pagi dari biasanya. "Ah gue tau, lo pasti kesel 'kan nggak bisa bolos."
Rhea membenamkan kepalanya ke bawah lengannya. Bicara dengan Sania sama saja, sama-sama membuat kepalanya tambah pusing. Akan sangat percuma juga kalau dia menceritakan tentang Sagar yang selalu mengganggunya, bukannya percaya Sania malah akan mengejeknya habis-habisan.
Ketika Rhea ingin memejamkan matanya sejenak, tiba-tiba Sania mengguncang tubuhnya dan menyuruhnya untuk bangun. Merasa deja vu Rhea bangun, menuruti saran Sania untuk melihat ke depan Jika kemarin dia akan melihat Leon—si ketua osis mengumumkan tentang festival sekolah maka sekarang yang dilihatnya adalah sepasang manusia yang sedang berjalan masuk ke dalam kantin.
Tahu siapa yang datang, buru-buru Rhea pindah ke sisi tembok kantin. Beruntung tadi Sania mengambil tempat duduk paling pojok sehingga sulit dilihat oleh orang-orang. Matanya mengawasi si cowok yang kini sudah mengambil tempat duduk di sisi kantin—mengamati makanan yang dipesan ceweknya dengan tidak berminat.
Siapa cewek itu? Kenapa Rhea baru melihatnya. Kenapa juga cewek itu bisa bersama Sagar? Pacarnyakah?
"Anjir tuh cewek beruntung banget," pekik Sania berhasil mengembalikan Rhea dari lamumannya.
"Kenapa?"
Sania memutar bola matanya, menunjuk Sagar dan cewek di sampingnya dengan dagunya. "Itu cewek, beruntung banget bisa deket sama Sagar."
Rhea hanya ber-o-ria, ingin tidur lagi namun ditahan kembali oleh Sania. "Apa?" desahnya kesal.
"Lo nggak pengen tau?"
Rhea merutuki sikap bodoh sahabatnya, please deh mereka itu bukan siapa-siapanya Rhea jadi buat apa Rhea susah payah ingin tahu tentang mereka. Tapi tunggu! Rhea melupakan satu hal di sini, di antara kedua orang itu ada yang dikenal Rhea sampai-sampai ingin dipukulinya sampai habis. Maka itu dia menatap Sania dengan serius, sahabatnya yang suka menggosip itu pasti tahu banyak tentang anak-anak cowok di sekolah ini.
"Sebenarnya sih enggak, tapi karena lo nawarin gue jadi pengen tau siapa mereka?" tanyanya pura-pura tidak tahu. Hei, memang benar 'kan?
Sania nyengir lebar, tanpa merasa curiga apapun dia duduk mendekat ke arah Rhea dan mulai menceritakan tentang kedua orang itu.
"Mereka Sagar sama Yiyi—sebenarnya sih nama lengkapnya Yin Putri tapi Sagar suka manggil dia Yiyi."
Bahkan Sagar punya panggilan khusus sama cewek itu, pikir Rhea ngawur lagi.
"Kenapa?"
Sania mengangkat bahunya. "Karena mereka temen deket makanya punya panggilan khusus masing-masing. Lo tau nggak panggilan khusus Yiyi ke Sagar?"
Rhea mengerutkan keningnya tidak mengerti.
"Aga, keren 'kan. Mereka itu temen rasa pacar."
Hah, Sania tidak tahu saja kalau cowok yang dipanggil Aga sama Putri itu pernah menembaknya walau sambil maksa dikit. Mendadak mata Rhea tajam menatap Sagar, benar dugaannya cowok itu pasti hanya sedang main-main saja dengannya, kalau memang Sagar serius dengan ucapannya mana mungkin Sania akan bicara tidak jelas seperti itu. Lagi pula di dunia ini tidak ada yang namanya persahabatan di antara cowok-cewek.
Tapi kenapa Rhea merasa sedikit kecewa, ya?
"Biasa aja."
Sania mendengus. "Tapi bagus juga sih, kalau mereka cuma temenan berarti gue masih ada kesempatan buat deketin Sagar."
"Kenapa sih lo ngebet banget sama Sagar? Keliatannya kayak orang sinting juga." Rhea langsung mengaduh sakit saat Sania menabok kepalanya cukup keras. "Njir, sakit, pe'a. Main pukul-pukul aja."
"Salah lo juga sih ngagetin gue. Asal lo tau aja nih ya, Sagar itu perfect. Perfect dalam segala hal, dia baik, ganteng, pinter kurang apalagi coba."
Rhea memutar bola matanya, puji-puji saja terus Sagar, Sania tidak tahu saja sifat asli cowok yang digilainya itu. "Ya ya, gue percaya. Percaya banget."
Sania yang sepertinya tidak terpancing emosi dan malah senyam-senyum tidak jelas melihat Sagar yang hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa berniat memakannya. Tanpa dikomando Sania menceritakan segala hal tentang Sagar yang dia tahu.
"Walau Sagar itu ganteng sama pinter, tapi nggak ada orang yang tau sama kehidupan pribadinya. Meski mungkin keliatannya punya banyak temen sama disukai sama banyak orang tapi sebenarnya Sagar cuma deket sama dua orang aja. Yin Putri sama Nizam. Selain itu nggak ada orang yang deket banget sama dia, denger-denger Sagar juga pernah ikut tawuran taun kemarin sampai nyokapnya dipanggil ke sekolah."
Rhea mencibir. "Sejelas itu ya Sagar di mata lo."
Sania nyengir. "Bukannya gitu, Rhe. Menurut gue ya, cowok kayak Sagar itu langka banget. Dia baik kadang juga galak banget, misterius lagi. Kadang gue dibuat penasaran; kenapa murid setengah teladan kayak Sagar sering nggak masuk sekolah?"
Mendadak Rhea tertarik dengan omongan ini saat tahu—entah benar atau tidaknya—kalau ternyata si murid setengah teladan bernama Sagara Fabian itu sering tidak masuk sekolah, pernah ikut tawuran lagi. Apa cowok itu juga sering bolos, sama sepertinya.
Akan jadi berita bagus andaikan berita itu benar adanya.
"Setelah ini pelajaran apa?" tanya Rhea, berusaha mengalihkan pembicaraan agar tidak membahas tentang cowok sinting seperti Sagar.
Sambil meminum jus jeruknya Sania menjawab, "Ekonomi."
"Njirr yang bener?!" seru Rhea heboh, hampir semua orang di sekeliling kantin melihat ke arahnya—untungnya Sagar sama Putri tidak melihat ke arahnya saking sibuknya mereka ngobrol.
Ada sesuatu yang membuat Rhea tidak menyukainya.
Sania menatap Rhea horor, apa cewek itu tidak malu dilihat orang-orang se-kantin. Dia sangat tahu kalau Rhea benci banget sama ekonomi tapi mau gimana lagi sekolah mereka tidak seperti sekolah di luar negeri yang bisa memilih jurusan sesuka hati.
"Nggak gitu juga keles," kata Sania.
"Lo tau 'kan kalau gue sama ekonomi itu nggak pernah ditakdirin buat bersama. Kami itu bagaikan musuh, nggak akan pernah ngerti satu sama lain."
Sania memutar bola matanya, jika sudah menyangkut pelajaran ekonomi maka Rhea akan menjadi orang gila dadakan. "Lebay banget, kenapa kalian nggak jadian aja!"
Rhea mendecak, tanpa banyak kata lagi langsung pergi meninggalkan kantin padahal bel masuk sebentar lagi berbunyi.
Tapi Rhea tidak sadar kalau seseorang mengikutinya.
***