Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Invitation

Bab 1 Invitation

Junichiro sudah kembali ke kamarnya ketika suara ketukan membuat Hinata mengalihkan perhatiannya pada microwave yang sedang menghangatkan kembali lasagna yang kemarin dibuatnya. Bergegas menuju pintu depan, wanita itu mengintip dari lubang pintu.

Pria berstelan merah dengan topi dengan tulisan DHX datang, membuat Hinata segera membuka pintu supaya pengantar paket itu tidak berdiri terlalu lama.

"Betul ini rumah Hinata Hyuuga?" Suara pria itu terdengar tidak yakin, apa lagi setelah melirik papan kotak surat di samping pintu yang bertuliskan;

Junichiro

Hinata

Dan nama suaminya berserta marganya.

Tidak ada nama Hinata Hyuuga di sana. Tentu saja, ia telah menikah belasan tahun yang lalu dan ia tahu betul siapa yang mengirimkan paket 'candaan' seperti itu.

Siapa lagi kalau bukan kakaknya yang menjengkelkan yang tidak bisa menerima suaminya. Ya, resiko menikah muda dan melangkahi sang kakak. Hinata tidak akan menyangkal bahwa Neji tak ubahnya seperti Junichiro, pendendam.

Hinata berjalan ke ruang tengah. Di sana beberapa perabot memang lebih bernuansa cozy. Ada beberapa bean bag berbentuk piramid tumpul yang berjajar rapi dengan warna abu-abu. Dengan karpet lembut dan sebuah meja kopi yang berbentuk oval berkaki pendek.

Yang paling di sukai Hinata adalah dinding kaca satu arah yang memperlihatkan kebun bunga dan sayuran yang luasnya hampir satu hektar yang dipagari langsung oleh hutan.

Hinata menutup kembali kelambu putih yang menutupi dinding kaca itu. Suaminya agak sensitif soal cahaya, tapi menyukai sebuah lanskap pegunungan yang utuh. Dasar paradok yang menyusahkan.

Suara langkah yang terdengar konstan membuat Hinata berbalik. Menatap heran dengan kedua orang yang turun dari tangga.

Seluruh lantai rumah ini terbuat dari kayu, yang terjaga begitu apik selama bertahun-tahun. Tapi Hinata tak bisa mengabaikan jika ia tidak menyukai sesuatu yang terlalu sepi. Sangat merepotkan karena tidak memiliki tetangga.

"Kamu mau pergi?" Hinata menatap mata gelap suaminya dengan heran. Lelaki itu sudah bersiap, bahkan tanpa bantuan Hinata.

Namun begitu, seperti tuduhan anaknya, selera fashionnya jelek. Hitam-hitam? Seperti tidak ada pakaian lain saja.

Apa-apaan dengan turtle neck knit sweeter hitam itu dan juga celana chino hitam yang membuat lelaki itu tampak lebih kurus. Meski lelaki yang memakai setelan hitam akan terlihat tampan, ia tak bisa mengutarakan hal itu di depan si suami. Bisa-bisa ia diledek.

Rambutnya juga disisir dan ditata rapi, Hinata tahu bahwa rambut yang sudah memanjang dan melewati pundak itu pasti membuat gerah, tapi tampaknya lelaki itu tak peduli, dan Hinata enggan ribut.

"Meski itu turtle neck itu milik Dior, kau seharusnya memilih kemeja lengan pendek atau kaos saja." Gerutu Hinata.

Terdengar kekehan di belakang suaminya yang membuat Hinata makin kesal, siapa lagi kalau bukan anak pertamanya si Junichiro. "Mom ingin bilang, Dad terlalu memukau karena memakai pakaian pas badan hingga menampilkan siluet dada Daddy yang lebar." Alis Jun naik turun berulang-ulang dengan cepat, seolah sedang dalam mode boomerang.

Pipi Hinata memanas dengan segera. Apa-apaan anak itu. Seingat Hinata, ketika ia diusia itu, ia bahkan tidak berani menatap mata orang tuanya. Tapi lihat, anaknya justru berani menggoda ibunya! Anak jaman sekarang benar-benar kurang ajar. "Jun!" Hinata menggeram.

"Semua salahmu." Lelaki itu justru menuduh Hinata.

"Aku??" Hinata nyaris memekik, kelopak matanya membuka sempurna kepada lelaki yang kini justru tanpa peduli menuju rak sepatu. Tangan pria itu tampak bergerak menjangkau loafers namun sebelum menyentuhnya lalu bergeser ke slip on berwarna abu-abu yang terlihat belel.

Tetap saja. Selera suami memang payah. Hinata menahan mulutnya untuk menyuruh suaminya untuk memakai sepatu lain. Yang lebih layak digunakan dengan rajutan Dior itu.

Hinata menarik napas, menghembuskan pelan-pelan. Berpikir positif agar kandungannya aman. "Suamiku, sebaiknya kau ganti baju saja."

Ayahnya Junichiro berdiri tegak setelah sempat membungkuk karena membenarkan belakang sepatunya yang terinjak. "Ada bekas cakaran di leherku. Dan juga gigitanmu di sana." Katanya santai, tanpa benar-benar memikirkan apa akibat perkataannya yang membuat Hinata auto megap-megap.

Kenapa membicarakan hal seperti itu di depan anak badungnya???

Crap!

Dia sudah melihat wajah Jun yang berubah songong sebelum merubah wajahnya hingga seinosen mungkin. "Wah, aku baru tahu bahwa Mom suka menyerang di saat lengah."

"Jun!" Hinata benar-benar ingin memelintir mulut lemas anak lelakinya itu.

"Jangan membuat ibumu kesal."

Junichiro kehilangan cengirannya. Ayahnya jarang bicara, tapi sekali bicara, pasti itu penting. Dan ia tidak mau kehilangan uang saku atau kartu saktinya. "Iya Dad."

"Kalau kau punya waktu luang untuk mewarnai rambutmu, kenapa kau harus bolos dan membuatku harus meminta maaf kepada gurumu."

"Itu bukan salahku," Junichiro mengelak, "Profesor Sarutobi tidak bilang kalau akan mengadakan kuliah online karena pandemi ini."

Mata suami Hinata memincing, "aku tahu kau bohong karena aku mendapat salinan e-mailmu."

Junichiro mangap, ingin membela diri tapi tampaknya itu mustahil. Tidak ada yang bisa mengelabui Tuan Tahu Segala. Seolah matanya bisa melihat apapun, dan bisa menembus apapun. Mengerikan!

"Aku jujur kok, kan Profesor Sarutobi memang tidak bicara langsung. Maksudku mengabari lewat e-mail." Junichiro buru-buru meralat. "Jadi itu bukan kesalahanku kalau aku melewatkan mata kuliahnya."

"Simpan semua alasanmu untuk nanti."

Hinata tahu kalau suaminya ternyata bisa keras juga pada sang anak. "Sebelum kamu pergi aku ingin bertanya," Hinata menahan kata-katanya hingga mendapatkan atensi dari ayahnya Jun.

"Kamu datang pada acara reuni? Karena aku diundang." Hinata melambaikan sebuah kertas tebal dengan warna navy yang ditulis dengan tinta perak.

"Mereka mengirimkannya lewat e-mail. Dipikirnya aku masih di Forks."

Jun mengernyit. Tempat itu memang tempat tinggal permanen mereka sebelum memutuskan untuk ke Jepang karena ibunya hamil dan ingin dekat dengan keluarga. Setidaknya memangkas jarak hingga keluarga Hyuuga tidak harus melewati waktu lebih dari dua puluh empat jam untuk bisa sampai.

"Aku kangen Forks." Hinata mendesah.

"Mom hanya suka berhayal menjadi Bella Swan, sayang sekali, Dad bukan vampir." Anaknya tertawa hingga mata sipitnya menghilang.

"Jun." Kali ini ayahnya yang memperingatkan hingga anak badung itu langsung kehilangan suara.

"Aku tidak berselera datang. Kita bicarakan ini lain kali." Ucap lelaki itu mengelak dan langsung merangkul anaknya sebelum melarikan diri.

Kedua lelaki itu bergegas pergi meninggalkan Hinata yang mendesah lelah.

Suaminya tidak suka datang di acara seperti itu kecuali benar-benar penting dan tidak dapat diwakilkan.

Hanya tiga tempat yang akan di sukai oleh suaminya. Ruang kerjanya, ranjangnya dan juga ruang makan.

Hingga mendumel hingga punggung itu menghilang dari pandangannya. Biar bagaimanapun, masih sulit membuat ayahnya Jun peduli pada sekitar dan memperdulikan dirinya sendiri.

Heks, Hinata yakin, jika ayahnya Jun tidak akan keluar rumah jika tadi tidak memergoki anaknya mangkir dari tugas belajar.

***TebakBapakCuy***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel