Baby : 2
“Anda, Tn. Elliot?” Frank menatap pria yang tiba-tiba muncul dari arah belakangnya. Awalnya ia ragu untuk mengangguk. “Perkenalkan namaku, Detektif Morgan.” Pria itu menunjukan lencana kepolisian miliknya. Wajah Elliot yang kaku, dan curiga berubah seketika menjadi sendu.
“Bisa kita bicara mengenai istri, Anda?” lanjut Morgan.
Mereka berada di lorong kantor milik Frank, saling berhadapan dengan beberapa pasang mata dan telinga yang sedang mengamati mereka, meski tidak secara terang-terangan.
“Apakah Anda sudah menemukan istri saya? Di mana dia?” tanya Frank beruntun, tak sabar, dengan emosi penuh kesedihan yang membuat detektif itu berempati. Morgan menelan ludah sebelum menyampaikan berita penting pada Frank.
Hari ini tepat satu minggu sejak kecelakaan yang membuat mobil Danisha meledak di dalam jurang, dan polisi tidak juga menemukan jasadnya. “Sampai saat ini jasadnya belum ditemukan. Kami sudah menambah radius pencarian. Kami turut prihatin, Tn. Elliot.” Suara Morgan terdengar penuh simpati. Ia menatap Frank dengan tatapan duka cita.
“Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan seputar korban.”
Frank terdiam beberapa detik, bagai baru tersadar dari kebisuan diri sendiri. “Ya, kita berbicara di ruanganku saja.” Keduanya melangkah memasuki ruang kerja milik Frank. Morgan berjalan mengekor di belakang. Pintu tertutup di belakang keduanya.
Ruangan yang besar dengan meja kerja lebar, lengkap dengan layar monitor apple Imac retina 4K Mrt32 8gb/1tb 21.5 inci. Kursi berpunggung tinggi. Lemari besar dengan rak berisi buku-buku, pajangan, piala dan plakat penghargaan yang berjejer rapi di balik kaca. “Silahkan duduk, detektif--” mata Frank memicing sebelah.
“Morgan,” selaknya menyebutkan kembali namanya. Frank menarik bibirnya membentuk senyuman tipis. Detektif muda itu tidak keberatan untuk mengucapkan namanya untuk kedua kalinya. “Apa yang ingin Anda ketahui tentang istri saya?” Telapak tangan Frank terulur, tertuju pada kursi di seberang meja Frank. Bahasa tubuh yang mempersilahkan tamunya untuk duduk. Morgan menghempaskan tubuhnya di sana. Mengeluarkan sebuah buku kecil dan sebuah pena dari balik jas yang dikenakannya.
“Apa Anda keberatan jika saya mencatat kesaksian Anda, Tn. Elliot?” Keduanya bertemu pandang sebelum Frank menggangguk.
“Kami mendapatkan diagnosis dari dr. Elizabeth Osberg, dokter yang menangani istri Anda---”
“Yayaya…” potong Frank seakan bosan dengan hal tersebut. Frank memajukan tubuhnya sedikit menjorok ke depan, lalu berujar, “Istriku depresi. Dia butuh perawatan intensif. Oleh karena itu, Dr. Liz, maksudku Osberg menyarankan untuk rawat inap.” Kata-kata yang meluncur cepat dari bibir Frank, “Aku tak punya pilihan, aku ingin istriku sembuh karena aku mencintainya,” sambung Frank dengan suara pelan bahkan nyaris tidak selesai saat mengucapkannya, Frank masih memasang wajah sedih di bawah tatapan Morgan.
“Ya, saya mengerti perasaan Anda, Tn. Elliot.” Ada jeda sebentar, “Depresi seperti apa yang istri Anda alami?”
Frank menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi besar miliknya. Membasahi bibirnya dengan lidah dan melirik Morgan yang duduk di seberangnya sambil sesekali menuliskan sesuatu di notesnya. “Dia bisa mengamuk, bisa menangis, juga berteriak dalam waktu cepat dan tiba-tiba,” Frank menciptakan kebohongan tetang diri Danisha yang sesungguhnya.
“Sejak kapan?”
“Sejak kematian suaminya terdahulu,” Frank menjawab dengan tegas, menghela napas sebelum melanjutkannya lagi, “…bahkan anaknya, maksudku Loly, anak kami pernah hampir tewas kehabisan napas, Danisha hampir mencekiknya karena kesal.”
“Anda menyaksikannya?”
Morgan menanti jawaban dari Frank, penanya telah siap untuk bergulir di permukaan kertas. “Ya, aku dan Gladys. Kami melihatnya.”
Morgan memicingkan matanya ke arah Frank. “Siapa Gladys?” tanya Morgan penasaran, mata coklatnya tertuju pada Frank yang terdiam.
Frank menyisir rambutnya menggunakan jemarinya sendiri, lalu beranjak dari kursinya.
“Gladys adalah sahabat dan juga pegawai istriku. Ya mereka sangat akrab. Kebetulan waktu itu…” Kalimat Frank menggantung, ia mencoba mengingat, “Gladys datang untuk menjenguk Danisha, karena… hampir tiga hari tidak masuk kerja.”
Pertanyaan demi pertanyaan meluncur, bersautan memenuhi isi ruang kerja Frank. Banyak kejanggalan yang membuat Morgan tak habis untuk bertanya. Frank menanggapi, merespon, dan memilih jawaban dengan kehati-hatian. Ekspresi dan bahasa tubuh Frank juga menyiratkan kesedihan seorang suami yang istrinya tidak waras lalu tewas dalam kecelakaan.
***
Sore yang berlalu cepat berganti malam menuju pukul delapan malam. Pekerjaan yang menumpuk dan beberapa dokumen yang harus ia selesaikan membawa Jess bekerja sampai larut. “Selamat malam, Ms. Jess,” sapa sang office boy yang sedang mendorong sebuah meja beroda yang diatasnya ada deretan cangkir-cangkir dan cawan kotor dan berbagai macam perlengkapan makan yang ditinggalkan oleh pemiliknya di meja kerja.
“Malam Greg,” balas Jess sambil menoleh dan tersenyum sebelum kembali menekuri dokumen di hadapannya.
“Anda belum pulang?” tanya Greg kali ini, terdengar suara roda dari meja yang di dorongnya.
“Sebentar lagi, masih ada yang harus aku selesaikan,” sahut Jess tanpa menoleh. Keheningan kembali hadir, menyisir tiap lorong ruang kerjanya.
Dalam kesunyian Jess bergeming. Hanya ada bunyi klik, klik, klik dari mouse yang ada dalam telapak tangannya. Silih berganti menatap dokumen dan layar laptop di hadapannya. Tak lama berselang, semua lampu di koridor tiba-tiba mati dan membuat Jess terkejut.
“Greg, Greg.”
Suara Jess lantang memanggilkan nama si office boy. Tak ada jawaban. Jess menghela napas, melirik ke arah jam yang ada di meja kerjanya, pukul delapan tiga puluh malam. “Greg. Greg.” Sekali lagi Jess memanggil namanya, dan masih tak ada sautan.
Jess menelan ludah, dan mulai merapikan meja kerjanya, memasukkan ponsel dan tab serta buku agendanya ke dalam tas miliknya. Sempat melongok keluar dari jendela di sisi kirinya. Hanya ada langit yang kian gelap. Jess meneguk sisa air putihnya dalam mug hingga tandas sebelum ia berjalan meninggalkan ruangan. Dengan langkah cepat Jess menuruni anak tangga yang dibuat melingkar, hak sepatu yang dikenakannya berbenturan dengan ubin marmer hingga menimbulkan bunyi di tengah kesunyian.
“Hi Jessica Parker.”
Suara seseorang dari arah belakang dan saat Jess menoleh, tiba-tiba kelebatan kaki di hadapannya yang kemudian mendorong tubuhnya yang tidak siap.
“Awwwww!!!!” pekik Jess dengan tubuh berguling-guling di tangga, kepalanya membentur di pembatas.
“Untuk kelancanganmu yang ikut campur urusanku, brengsek!!”
Jess mendarat mulus di lantai paling bawah dalam keadaan telungkup, darah segar membanjiri sekujur kepalanya, matanya terbelalak lebar. Beberapa barang dalam tasnya tercecer di anak tangga. Sosok dalam kegelapan itu menuruni anak tangga, membungkuk dan mengulurkan jari telunjuknya ke hidung Jess, tak ada lagi desir napas. Bisa dipastikan Jess, tewas. Sosok itu menyeringai jahat melepaskan sarung tangan lateks dan memasukkannya ke dalam tas, lalu beranjak pergi.
***
Di balik kabut kengerian yang kian lama kian pekat, Danisha pasti sudah mengulang-ulang kejadian itu ribuan kali dalam kepalanya. Berkali-kali mendengar ketukan di pintu saat dirinya terjaga di ranjang, meringkuk di balik selimut berbau, menantikan kemunculan Frank untuk membawanya pulang.
Danisha tak ingat hari keberapa ia terkurung. Ya, Danisha bisa mengatakan dirinya terkurung. Tapi pada kenyataannya ia datang ke tempat ini dalam keadaan waras, dan sadar serta di temani oleh suaminya, pria yang menjadi pasangan hidupnya. Dan Danisha juga ingat telah meninggalkan putrinya, Lolita Woods di rumah bersama ibunya.
Lolita adalah putri semata wayang Danisha dari pernikahan pertamanya dengan Ben Woods.
“Mrs. Elliot, Anda harus di rawat, karena halusinasi yang Anda alami semakin parah. Kami khawatir jika---”
“Tidak,” selak Danisha dengan geram dan meluncur cepat dari bibirnya. Danisha bangun dari kursi yang ia duduki dan menatap dokter cantik berwajah tirus dengan rambut berkuncir kuda di hadapannya.
“Danisha, semua ini demi---”
“Tidak!!!” sergah Danisha dengan suara tegas. Pelipisnya berdenyut-denyut seolah marah yang sudah ia tahan-tahan. Frank ikut beranjak dari kursinya, wajahnya panik mendapati reaksi yang ditunjukan Danisha. Mata Danisha yang menatap dirinya dengan nanar.
“Aku ingin pulang sekarang, Frank,” Danisha berkata sambil beranjak pergi meninggalkan ruangan dengan langkah lebar dan meninggalkan hentakan keras pada pintu yang tertutup di belakang langkahnya yang anggun.
Saat itulah kejadiannya, sebuah tangan menjambak rambut gelap Danisha dari belakang, satu tangan lagi memutir lengannya ke punggung, badannya dipiting dalam kegelapan. Rasa mencekam membelit Danisha sementara napasnya tersengal-sengal, terasa sesak lalu dengan sembarang ia mencakar-cakar kulit seseorang, menggunakan tangannya yang bebas untuk menggapai tangan yang ia rasakan besar dan kuat.
Danisha terperangkap. Entah di mana persisnya atau bagaimana prosesnya, tapi gambaran kasarnya Danisha tahu, ia sadar.
Mata indah Danisha terbelalak, dengan napas tercekat dan kening berpeluh dengan butir-butir keringat. Matanya mendapati langit-langit ruangan yang terasa bergerak dan berputar tepat di atas kepalanya. Danisha memejamkan mata sekali lagi, menghilangkan citra bayangan kelam di pelupuk matanya, menghela napas dengan begitu dalam. Mencoba untuk bernapas secara normal. Tengkuk lehernya terasa ditusuk.
“Anda sudah sadar?” Suara seorang wanita yang terdengar samar, lalu ia menjulang di atas Danisha tepat di sisi kanannya. “Aku…”
“Dokter … Dokter!!! Dr. Hurd!!!” pekik wanita di samping Danisha tadi sambil berlari keluar. Bayangan gelap itu hadir lagi di kepala Danisha. Ia tenggelam, tenggelam dalam alam bawah sadarnya.
***