Ringkasan
Kisah cinta, pengkhiatan, dan pencarian jati diri. Apa yang akan kau lakukan saat kau terbangun dari tidur panjangmu, dan kau mendapati wajahmu tidak sama lagi? Aku terperangkap. Entah dimana persisnya atau bagaimana prosesnya, tapi gambaran kasarnya aku tahu.
Baby : 1
Menoleh dari balik bahu, seorang pria berpakaian serba putih dengan tubuh tinggi besar yang sedang menuruni anak tangga. Tak ada waktu untuk berpikir lebih jauh lagi, ia telah mengambil keputusan, mengikuti kata hatinya untuk berlari ke arah kanan. Berlari menyusuri lorong panjang, yang hanya di terangi lampu-lampu redup.
Aneka citra bayangan berkelebat di kepala Danisha bersamaan dengan langkah kakinya yang berlari, yang Danisha rasakan, ia mulai kehabisan tenaga. Ya, ia begitu ingat dengan lorong yang dirinya lalui saat ini. Lorong yang pernah ia lalui saat Tom membawanya untuk pertama kalinya ke tempat ini. Deretan pot yang digantung berisikan tanaman rambat.
Kunci mobil yang ada dalam genggamannya saat ini, Danisha tak mungkin salah. Intuisinya benar. Danisha sedang berlari mengarah pada parkiran mobil. Ia telan ludah, melayangkan pandangan matanya mencari mobil yang harusnya masih mampu ia kenali. Mobil miliknya sendiri yang sengaja Jess pinjam dan tinggalkan di parkiran klinik Dr. Marie.
ge Rover hitam telah berada tepat di belakang Danisha dengan menyorotkan lampu depan hingga membuat pandangan mata coklatnya sedikit kehilangan fokus, disusul dengan suara klakson yang tidak hentinya.
“Sial,” desis Danisha, dilanjut dengan menginjak pedal gas hingga mobil melaju lebih kencang dari sebelumnya, seiring dengan detak jantu dalam dada Danisha.
Berkelebat banyak memori dalam otaknya, yang berjejal untuk keluar, gambaran kehidupan yang mampu Danisha ingat dalam 36 jam terakhir.
“Kau harus membuatnya gila. Dengan begitu aku bisa dengan mudah menyingkirkannya.”
Suara milik seorang pria yang samar dari balik dinding ruangan tempatnya di sekap. Mata indah Danisha yang terbelalak, jantung yang ia rasakan berhenti berdetak, dan keringat dingin berjejal di pembuluh kulitnya yang pucat. Telinganya mendengung secara tiba-tiba. Telapak tangannya juga basah, Danisha sadar dirinya sedang di serang kepanikan.
“Kau harus memberinya obat yang bisa membuatnya---entahlah, apapun itu,” suara seorang itu terdengar lagi. Danisha merasa mengenalinya, tapi siapa. Itu yang menjadi pertanyaan besar baginya.
“Kau sudah gila. Wanita itu bisa mati!!” sembur suara yang Danisha duga adalah wanita cantik yang menanganinya. Danisha hanya mampu mengingat bayang visual, tapi tidak dengan namanya.
“Itu lebih baik.” Suara seorang pria, menyahut dengan suara lantang dan seakan melegakan. Keheningan menyelinap, jeda beberapa detik.
“Baiklah.” Kesepakatan telah terjadi.
Danisha mencoba mengingat hari apa ini. Tidak ingat, matanya terasa tebal, ia telah memasang telinga baik-baik, meski samar. Tungkak kepalanya terasa sakit, nyeri yang membuat pandangan matanya berkunang-kunang. Telinganya mendenging secara tiba-tiba, samar menangkap suara langkah yang menjauh, langkah satu orang. Danisha kembali ke ranjang, berbaring miring di balik selimut berwarna abu-abu lusuh, merasakan kepalanya yang ditusuk-tusuk rasa sakit, lalu Danisha mencoba memejamkan mata bersamaan dengan suara pintu yang dibuka. Langkah yang kian mendekat, suara hak sepatu yang bergesekan dengan lantai dan sosok itu menjulang di ujung ranjangnya.
“Danisha… Danisha.”
Suara seseorang memanggil namanya lalu sambil menyentuh kulit kakinya yang tidak tertutup selimut. Membuka mata secara perlahan menjadi pilihan satu-satunya bagi Danisha. Dengan kesadaran yang tidak sepenuhnya ia berusaha untuk membedakan nyata dan sandiwara. Saat matanya terbuka secara perlahan, manik mata coklatnya mendapati dokter cantik itu, berdiri di ujung ranjang dengan sebuah wadah kecil di tangannya.
“Bangun dulu, waktunya minum obat,” perintah Dr. Marie, sambil mengamati Danisha penuh selidik. Danisha berhasil membaca nama yang tertera di jubah putih yang dokter itu kenakan. Bangun dari ranjang, ternyata Danisha butuh usaha untuk menjalankan sandiwaranya dengan sempurna, meski tak mudah baginya.
Dr. Marie menyodorkan wadah di tangannya sambil berkata, “Ini obatnya.”
Satu buah tablet putih kini berpindah dari dalam wadah ke telapak tangan Danisha yang lembab. Ia mencoba berpikir untuk tidak meminumnya.
“Bisa tolong ambilkan minum untukku?” pinta Danisha dengan suara yang terdengar parau sambil menatap wajah d8i hadapan Dr. Marie yang berdiri tepat di hadapannya. Dokter itu telah berpindah dari ujung ranjang, mendekat ke arah Danisha dengan gerakan anggun. Saat Dr. Marie menoleh untuk mengambil air minum dalam gelas bening yang ada di atas nakas, Danisha bergegas mengganti obatnya dengan vitamin yang berhasil di selundupkan oleh Jess saat menjenguk dirinya beberapa hari yang lalu. Danisha melakukannya dengan cepat dan tangannya gemetar setelahnya, Danisha berusaha untuk bersikap seolah tak terjadi apa pun.
“Ini air minumnya.” Gelas terulur tepat di hadapan Danisha.
Danisha melirik Dr. Marie, wanita itu menatap Danisha dengan ragu, sikap yang jelas menggambarkan keraguan bersamaan dengan debaran jantung Danisha yang tak karuan. Danisha langsung meneguk air putih di dalam gelas yang ia genggam di bawah sorot matanya. Membiarkan vitamin itu masuk ke dalam tubuhnya menggantikan tablet putih yang masih dalam genggaman tangan yang erat.