Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Marriage Agreement

Mitha masih terbelalak dengan tangan berkacak pinggang. Beberapa saat ia memikirkan kata-kata Albi yang sungguh di luar dugaan. Begitu banyak wanita terhormat ingin menjadi istrinya, tapi kenapa malah wanita bekas yang diinginkan?

"Apa salahnya, Ma? Toh, tidak ada yang tahu, kecuali keluarga mantan calon suaminya." Albi masih terus meyakinkan. Dia tidak mau harus gagal lagi memiliki Neena.

Saat kuliah, ia rela melepaskan wanita yang disukainya diam-diam demi kebahagiaan wanita itu. Namun, saat kini ia punya kesempatan untuk memiliki sepenuhnya, kenapa malah ditentang?

"Otakmu di mana, Al! Apa yang keluarga kita katakan nanti? Mama .... " Mitha memijit pelipisnya. Cobaan apa ini? Syam-suaminya pasti akan marah besar saat tahu apa yang anaknya inginkan.

"Mama tidak sudi kamu menikahi wanita itu! Dia pasti akan membawa petaka dalam keluarga kita. Papa pasti akan jauh lebih marah." Mitha mondar-mandir di depan Albi.

Baru saja namanya disebut, tanpa diduga Syam muncul dengan seringai. "Kamu sangat menggilai wanita itu, kan?" Mitha dan Albi menoleh. Mereka takut melihat seringai di bibir yang terlihat menakutkan itu.

"Papa," lirih Albi, menundukkan pandangan. Takut, benar-benar takut papanya juga akan menentang. Lantas, apakah Syam juga akan marah?

"Papa tidak akan melarang, asal kita harus menyiapkan surat perjanjian pra nikah," ujarnya. "Perjanjian pra nikah?" Mitha mengernyit. Untuk apa? Bukankah itu tidak ada gunanya?

Albi mengatakan Neena juga tadi memintanya menyiapkan surat perjanjian. Apa pun itu, akan dipenuhinya segera. Mendengar itu, Syam tersenyum lebar. Ada keuntungan di balik semua ini.

"Pa?" Mitha masih tak mengerti. Dia merasa ada yang disembunyikan sang suami. Syam mengatakan sedang butuh dana besar untuk proyek barunya. Kalau mereka bisa mendapatkan keuntungan dengan pernikahan ini, kenapa tidak?

Albi tidak setuju dengan keputusan sang papa. Baginya, dia hanya meminta Neena menerimanya dengan tulus, itu sudah lebih dari cukup. Syam menggeleng.

"Turuti semua kemauan Papa, atau kamu harus menikahi Marina, wanita yang tergila-gila padamu itu." Syam duduk dengan kasar ke sofa. Dia yakin Albi tidak akan mau menikah dengan Marina.

"Marina?" Albi menelan ludah melihat papa dan mamanya mengangguk. "Wanita dengan karakter buruk itu? Astaga!" Sejak dulu Albi tidak pernah menyukai Marina, wanita yang pernah memaksanya menjalin asmara.

Albi bergidik ngeri membayangkan kalau sampai Marina yang akan ia nikahi. Wanita kaya yang bekerja di kantor papanya itu, adalah tipe wanita genit, tapi pintar. Sebab itulah papanya menjadikan Marina asisten pribadi.

"Tidak, tidak. Albi tidak mau. Al-Albi akan melakukan apa pun yang kalian inginkan." Albi akhirnya tertunduk pasrah. Daripada menikah dengan Marina, dia lebih memilih mengikuti kemauan orangtuanya.

Syam langsung menelepon pengacara, dan memintanya menyiapkan surat perjanjian pra nikah plus surat perjanjian nikah kontrak secepatnya. Setelah surat itu selesai, barulah mereka akan melamar Neena, dan menyerahkan surat itu.

Albi terdiam. Matanya lurus memandang ruangan yang kini sepi. Jika orangtuanya berhasil diyakinkan, bagaimana dengan Rossyana? Dia pasti tidak setuju.

Rossyana, atau akrab disapa Rossy, adalah adik Albi. Wanita kasar dan memiliki perangai yang jauh berbeda darinya. Adik yang kini berumur dua puluh tahun itu saat ini dia masih berada di luar negeri.

Lama terdiam, akhirnya Albi terlelap. Memikirkan akan ada apa saja di dalam surat perjanjian itu.***

Dua hari kemudian, pengacara beserta keluarga Albi datang ke rumah Neena dengan maksud melamarnya. Mereka disambut dengan senyuman hangat keluarga Neena.

Setelah memperkenalkan diri, Syam pun mengatakan tujuannya datang. "Kami datang untuk melamar Neena, sesuai permintaan anak kami, Albirru," ujar Syam. Yudha menganggukkan kepalanya, merasa senang dengan kedatangan mereka.

"Saya selaku Papa Neena, merasa sangat senang dengan kedatangan kalian."

Mitha tersenyum tipis, terlihat jelas tengah dipaksakan. Yudha dan Sheila merasa ada yang tidak nyaman dari pandangan mata calon besan di depannya.

Terlihat Neena keluar sembari membawa nampan. Diletakkannya cangkir-cangkir di atas meja, lalu mempersilakan mereka untuk meminumnya. Neena pun duduk di sebelah Sheila.

Tatanan bajunya yang sederhana, dengan make up tipis, membuat kesan buruk semakin keluar dari dirinya. Matanya yang berbinar dan berkilau, membuat Mitha berpikir pasti anaknya tergoda karena mata itu.

'Ini wanita sialan itu?' batin Mitha. Jijik rasanya melihat tubuh calon menantu yang sudah dijamah pria lain, bukan disentuh anak berharganya.

"Sesuai permintaan Neena, kami sudah menyiapkan surat perjanjian, dan ini sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Tolong dibaca, dan diingat-ingat." Ada penekan kalimat saat Syam meminta pengacara untuk memberikan berkasnya.

Neena meremas jemari. Jantung terasa berpacu dengan waktu. "Apa saja isi perjanjian itu?" Diambilnya berkas itu, dan membacanya cukup nyaring.

Neena langsung membaca inti dari isi perjanjian itu, yang menjelaskan bahwa pihak pertama (Albirru) memiliki hak sepenuhnya atas diri pihak kedua (Neena) terlepas dari apa pun yang akan pihak pertama lakukan.

Dia juga harus patuh, melakukan perintah Albi, dan menjadi istri yang sebenar-benarnya, tanpa menolak ataupun membeberkan fakta yang terjadi di lingkup keluarga.

Bukan hanya itu. Isi perjanjian pra nikah menyatakan bahwa separuh harta milik pihak kedua, akan menjadi milik pihak pertama setelah pernikahan.

Tentu hal itu tidak disetujui oleh keluarga Neena yang merasa keberatan. Kenapa harus menyerahkan separuh harta milik Neena yang dirintisnya dari bawah?

"Kalian pikir akan mudah mengakali publik? Kita butuh dana besar untuk menutupinya. Si Neena kan pebisnis muda. Pastilah banyak yang akan mencari-cari keburukannya." Mitha mengatakan semua hanya demi menutupi apa yang terjadi pada Neena.

Dia juga menjelaskan bahwa mereka terpaksa menyetujui pernikahan itu meskipun sangat menentang. Semua demi Albirru. Sedikit ia mengungkit apa yang terjadi pada Neena beberapa hari lalu.

Tak ingin memperpanjang masalah, mereka pun setuju. Lantas, isi perjanjian yang terakhir adalah, mereka tidak akan memasukkan anak Neena dari hasil peristiwa itu ke dalam daftar penerus perusahaan ataupun kekayaan, andai dia hamil.

Neena setuju. Tak butuh harta, dia hanya ingin menyembunyikan jati diri, dan bebas dari kemelut yang menghimpit hidupnya saat ini.

"Dan jika pihak kedua (Neena) melanggar ataupun tidak mengikuti peraturan, maka sebagai hukumannya adalah kematian." Neena terkejut. Kematian? Kenapa harus seperti ini?

Albirru pun tak kalah kagetnya. Ia merasa orangutannya berlebihan. Namun, dia tidak punya pilihan lain. Seolah mengerti bahwa ini bukan keinginan Albi, Neena pun setuju. Dia langsung menandatangani perjanjian itu tanpa berpikir panjang.

"Neena, maafkan aku. Ini bukan keinginanku." Arti tatapan Albi yang dimengerti oleh Neena. Ia hanya tersenyum. Dinikahi Albi saja rasanya ia sudah lega.

"Jangan khawatir, kami pastikan tidak ada yang akan mengungkit kelamnya hidup Neena selamanya," tutur Mitha. Ia meminta salinan perjanjian, dan menyerahkannya pada keluarga Neena.

Setelah selesai, mereka langsung pulang. Pernikahan akan dilangsungkan seminggu kemudian. Mereka harus menyiapkan semua dengan matang, tanpa ada cacat cela sedikit pun.

Neena memejamkan mata. Sheila hanya bisa diam dengan semua ini. Sebenarnya, dia dan sang suami takut akan ada hal buruk nantinya, tapi mereka memilih diam. Yang penting sekarang, Neena bisa mendapatkan suami yang akan menjaganya.

Diam-diam Albi mengirim pesan, meminta maaf atas apa yang terjadi tadi. Dia benar-benar tidak mengira orangtuanya berlaku demikian.

Neena pasrah. Dia tidak marah ataupun menyalahkan mereka. "Tuhan, haruskah pernikahan ini terjadi? Bagaimana kalau aku akhiri hidup saja?" Neena memasuki kamar dengan pikiran kacau.****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel