Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagai Buah Digigit Tupai

Di rumah Khanza, semua orang tampak kesal sebab calon pengantinnya tidak bisa dihubungi. Semua keluarga Neena bak ingin lari dari kenyataan bahwa sebentar lagi akan ada pernikahan.

"Apa ini, Khanza? Kenapa mereka tidak bisa dihubungi?" Soka berkacak pinggang di depan adiknya yang sudah pun berdandan rapi, dengan balutan tuxedo berwarna putih.

Khanza menarik napas dalam-dalam. Dicobanya lagi untuk menelpon Neena, tapi tidak diangkat. Ninda-mamanya memasuki kamar dengan tatapan penuh amarah.

"Ini yang kamu inginkan, huh! Menikah dengan wanita yang bahkan tidak bisa konsisten dengan ucapannya! Kita sudah telat satu jam, Khanza. Cepat jemput Neena dan keluarganya!" perintahnya.

Khanza hanya mengangguk. Segera ia pergi untuk menjemput sang calon pengantin yang sampai saat ini belum juga diketahui keberadaan dan kondisinya.

Sampai di depan rumah Neena, Khanza menaikkan alis. "Apa-apaan ini? Kenapa sepi?" Saat menuruni mobil, Khanza mendongakkan kepala, menatap jendela kamar Neena yang masih tertutup tirai.

Kala mendekati pintu, terlihat dua wanita keluar. "Ada apa dengan mereka? Tiba-tiba membatalkan pernikahan? Apa ada yang mati mendadak? Alasannya tidak jelas!" Sang penata rias menggerutu.

Sheila tidak mengatakan alasannya, tapi hanya mengatakan pernikahan dibatalkan karena ada keadaan darurat.

Samar-samar Khanza mendengar apa yang mereka katakan, kaget begitu mereka mengatakan pernikahan dibatalkan. Bergegas Khanza mengetuk pintu. "Neena, Sayang. Neena!" panggilnya.

Neena yang sudah berpakaian, kaget mendengar Khanza datang. "Mama," lirihnya. Neena menggeleng cepat. Dia tidak ingin bertemu dengan pria yang dicintainya itu.

Sheila mengerti. Dia dan sang suami keluar untuk menemui Khanza, sedangkan Afdal menemani kakaknya yang masih terguncang. Andai saja kakaknya tidak melarang untuk menelepon polisi, tentu semua akan bisa diatasi.

Bukankah dalam waktu kurang dari 24 jam bukti yang ada di tubuh Neena masih bisa dijadikan bukti peristiwa semalam? Tanda merah di sekujur tubuh kakaknya dan luka di bagian selangkangan bisa dijadikan bukti.

Namun, Neena bersikeras untuk menutupi semua dengan rapat. Entah apa yang ada di dalam pikiran kakaknya, dia tak yakin. Keras kepala Neena benar-benar membuatnya hanya bisa diam.

"Sabar, Kak. Meski Afdal baru 21 tahun, tapi Afdal akan berusaha membantu Kakak menemukan siapa pelakunya." Afdal mendekap erat tubuh kakaknya yang bergetar hebat.

Ia yakin saat ini Neena pasti ketakutan. Tubuh berharganya dijamah tangan kotor yang tak berperikemanusiaan.

Di bawah, dengan langkah penuh keraguan, Sheila didampingi Yudha membuka pintu utama. Terlihat Khanza sudah pun siap untuk melangsungkan pernikahan dengan tuxedo putih itu.

"Khan-Khanza!" Sheila menelan ludah dengan kasar. Pria muda itu tersenyum di depannya. "Apa semua baik-baik saja? Kenapa tidak ada yang mengangkat telepon?"

Yudha dan sang istri tak menjawab. Mereka mempersilakan Khanza untuk masuk. Pria yang masih bingung itu hanya menurut tanpa diminta lagi.

Di dalam, Khanza mengulangi pertanyaannya tadi. "Di mana Neena? Kenapa sepi sekali? Tadi ... Khanza dengar wanita yang keluar mengatakan pernikahan dibatalkan. Benar, begitu?" tanyanya.

Sheila saling berpandangan dengan Yudha. Sukar baginya untuk menjelaskan. Namun, dia harus mengatakan apa yang terjadi. "Neena mungkin akan membatalkan pernikahan," ujarnya sembari menunduk.

Khanza terbelalak. "Bagaimana mungkin bisa dibatalkan tepat di hari pernikahan? Kekurang-ajaran macam apa ini? Tapi, kenapa mendadak? Apa yang terjadi?" Khanza dibuat bingung.

Bukannya memberi penjelasan, Sheila malah memintanya untuk bertanya langsung pada Neena. Mereka yakin, jika cinta Khanza begitu besar untuk anaknya, pasti Khanza akan menerima apa pun keadaan wanita yang dicintainya itu.

Tanpa menunggu lebih lama, Khanza langsung menaiki tangga menuju ke kamar Neena. Dibukanya pintu dengan kasar. Terlihat Neena dan Afdal saling berpelukan.

"Sayang," ujarnya. Neena terbelalak, dan langsung berdiri. Mengerti apa yang akan mereka bicarakan adalah hal penting, Afdal langsung keluar tanpa diminta. Ditutupnya pintu agar tidak ada yang mengetahui pembicaraan mereka.

Khanza mendekat. Dipeluknya sang pujaan hati yang masih berpakaian biasa. "Sayang, kenapa kamu belum siap? Kita akan menikah hari ini." Khanza mengecup tangan Neena.

Tak ada jawaban keluar dari mulutnya, hanya bulir-bulir air mata yang bicara. Apa ini? Pria itu kaget mendapati Neena menangis. "Ada apa? Kenapa kau malah menangis? Kau tidak mahu menikah?" tanyanya seraya menyentuh dagu Neena.

"A-apa kau mencintaiku?" Khanza mengangguk mendengar pertanyaan itu. Kalau tidak cinta, bagaimana mungkin mereka akan menikah?

"A-apa kau juga akan menerima apa pun keadaanku?" Neena terisak. Ia takut Khanza akan marah, tapi juga berharap masih diterima. Digenggamnya tangan pria itu. Khanza pun menatap manik mata indah di depannya.

"Aku akan menerima seperti apa pun kamu. Toh, aku sudah sangat hafal luar dan dalam, sikap dan sifatmu."

"Ada satu hal yang ingin aku katakan." Neena melepas genggaman tangan sang calon suami. Jantungnya berdetak kencang. Apa pun jawaban yang akan didengar nanti, dia sudah siap dan pasrah.

"A-aku tidak suci lagi, Khanza. A-aku dinodai sosok misterius semalam." Bagai halilintar menyambar, Khanza kaget bukan kepalang. Namun di detik ke sekian, dia tertawa sambil menutup mulut.

"Dinodai? Lelucon macam apa ini, Sayang? Ayolah, ini bukan saat yang tepat untuk itu. Ayo, cepat ganti baju, dan kita ke rumah sekarang. Mama dan Papa sudah menunggu." Khanza melangkah menuju ke gaun yang terpajang di sebelah ranjang.

"Aku serius, Khanza. Aku dinodai saat tertidur. Apa aku perlu menunjukkan buktinya? Lihatlah!" Neena menyingkap bajunya. Terlihat tanda merah hampir di sekujur tubuh.

Leher, dada, paha, bagian itu terekspos dengan sempurna, membuat Khanza terbelalak. Mulutnya terbuka lebar. Benarkah apa yang dilihat dan didengarnya tadi?

Pria itu mendekat, mengguncang tubuh Neena. "Katakan, ini bohong, kan, Neena? I-ini hanya alergi, kan? Kau masih perawan, kan? Jawab aku, Neena!" Neena hanya menangis pilu.

Dia menjelaskan apa yang terjadi semalam. Mulai dari insiden itu, hingga ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pernikahan sebab takut Khanza dan keluarganya akan marah dan malu.

"Kau bilang mencintaiku, kan? Kau akan menerima keadaan ini, katamu tadi. Apa kau masih mau menikah denganku?" Gantian Neena yang mengguncang tubuh Khanza.

Khanza terdiam. Ditepisnya tangan itu dengan pelan. Neena hanya melongo. Tatapan mata sang kekasih mula redup. Apa ini artinya Khanza tidak akan menerimanya lagi?

"Maafkan aku, Neena. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini." Pria berambut hitam itu menelan ludah.

"A-apa maksudmu? Bukankah kau bilang tadi--" Neena menutup mulutnya begitu melihat Khanza menggeleng. Dia terkulai lemas di lantai. Benar-benar seperti dugaannya.

Khanza tidak begitu mencintainya hingga dia tidak bisa menerima dirinya yang menderita akibat noda semalam. Bukankah harusnya Khanza ada untuknya? Berada di sampingnya untuk menjadi pelindung? Tapi, kenapa ....

"Khan-Khanza .... " Neena menangis tersedu-sedu sambil bersandar pada tepi ranjang. Sang calon suami memijit keningnya. Bersandar pada gaun yang panjang menjuntai.

"Bagaimana mungkin aku bisa menyentuh buah yang sudah digigit tupai?" Dengan santainya ia bicara seakan-akan semua memang disengaja. Tentu hal itu membuat Neena semakin terluka.

"Buah yang sudah digigit tupai?" Mudah sekali pria itu bicara. Khanza meminta maaf karena ia benar-benar tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Toh, bukankah Neena juga ingin membatalkannya?

Tanpa mengatakan salam perpisahan, Khanza langsung pergi meninggalkan wanita yang hancur jiwa dan raganya. Neena menarik bajunya hingga sobek. Dia marah besar.

"Tunggu aku, Khanza!!! Khanzaaaa!!!" Neena berteriak histeris, tapi Khanza tetap tak peduli. Ia menuruni tangga sambil menyeka air mata yang mengalir tak tertahan.

Tak dipedulikan olehnya Yudha dan Sheila yang berdiri mematung. Seolah bisa menebak apa yang terjadi, buru-buru Sheila berlari menuju ke kamar Neena, sedangkan Yudha berusaha menahan.

"Khanza, tolong dengarkan Om dulu. Neena--" Yudha menunjuk ke arah pintu. Khanza menggeleng. Dia tak bisa lagi menjadi calon suami dari wanita yang sudah ternoda.

"Kau mencintainya, kan? Harusnya kamu tahu apa yang saat ini Neena rasakan." Yudha menggenggam tangan calon menantunya.

"Kalau Om jadi Khanza, apa Om masih bersedia menikahi wanita yang tubuhnya sudah dijamah orang lain?" Khanza bicara dengan mata berkaca-kaca. Yudha membuka mulut lebar-lebar.

Dia tak lagi bisa mencegah pria yang menolak menikahi anaknya. "Astaga! Apa yang terjadi pada Neena sekarang?" Bergegas Yudha berlari menuju ke kamar anaknya.****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel