7. RAYUAN CAPTEN ADRIAN
Adrian duduk di tepi ranjang hotelnya, jendela besar di sebelahnya menampilkan pemandangan kota Hongkong yang berkilauan di malam hari. Perjalanan panjangnya sebagai pilot telah berakhir, dan sekarang ia menantikan sesuatu yang lebih personal dan mendebarkan. Dengan cepat, ia meraih telepon dan menghubungi nomor yang sangat ia kenal.
"Via, ini aku. Bisakah kau datang ke kamarku sekarang?" tanyanya dengan suara rendah, menahan rasa rindu yang membara.
Di ujung sana, Via yang sedang bersantai di kamar hotelnya sendiri, tersenyum tipis. "Tentu, Adrian. Beri aku lima menit," jawabnya tanpa ragu.
Beberapa saat kemudian, ketukan pelan terdengar di pintu. Adrian bangkit, membuka pintu dan menemukan Via berdiri di sana, masih mengenakan seragam pramugari yang membuatnya terlihat begitu profesional namun menggoda. Tatapan mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua rasa lelah dan kebosanan hilang, digantikan oleh gairah yang membara.
Via melangkah masuk tanpa berkata-kata, menutup pintu di belakangnya. Adrian meraih tangannya, menariknya mendekat, dan mencium ciumannya dengan lembut namun penuh perasaan. “Aku merindukanmu,” bisiknya di sela-sela menciumnya.
Via mengangguk, jari-jarinya bermain di tengkuk Adrian, menyisir rambut yang tebal. "Aku juga, Adrian. Setiap kali kita berpisah, rasanya seperti ada yang hilang."
Mereka melangkah ke tempat tidur, duduk berdua dalam keheningan yang penuh makna. Adrian memeluk Via erat, merasakan kehangatan tubuhnya yang selalu mampu membuatnya tenang. "Via, kapan kita bisa berhenti bersembunyi di sini semua?" tanyanya dengan suara serak.
Via memandang, senyum lembut bermain di pinggang. "Suatu hari nanti, Adrian. Tapi untuk sekarang, biarkan kita menikmati apa yang kita miliki. Di sini, di momen ini."
Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita dan impian, tertawa dan mencintai tanpa batas. Di antara pelukan dan bisikan, mereka menemukan ketenangan dan kebahagiaan yang sejati. Meskipun dunia luar mungkin tidak memahami atau menerima hubungan mereka, di kamar hotel itu, hanya ada mereka berdua, dan itu sudah lebih dari cukup.
"Adrian," panggil Via dengan suara lembut namun serius, "apa kamu benar-benar sudah tidak peduli dengan istrimu?"
Adrian menarik nafas dalam, mencoba meyakinkan Via dengan kata-katanya. "Via, aku sudah tidak perduli lagi dengan dia. Bahkan, aku lebih mencintai kamu," ucapnya dengan penuh keyakinan.
Via mengernyitkan dahinya, masih diliputi kekhawatiran. "Aku khawatir, Adrian. Hubungan kita ini... rahasia ini... bagaimana kalau semuanya terbongkar?"
Adrian mengusap pipi Via dengan lembut, memberikan sentuhan yang menenangkan.
"Semua akan baik-baik saja, Via. Percayalah padaku. Aku akan memastikan tidak ada yang tahu, dan kita bisa menjalani ini tanpa perlu takut."
Via menutup matanya sejenak, merasakan sentuhan Adrian yang menenangkan. Meskipun masih ada rasa cemas di hatinya, ia mencoba untuk percaya pada janji Adrian. Mereka berdua terdiam, merasakan kedekatan yang semakin erat di tengah keraguan dan cinta yang saling mengisi.
Via tetap terdiam, mencoba mencerna kata-kata Adrian. Setelah beberapa saat, Adrian melanjutkan pembicaraan dengan nada yang lebih serius dan getir.
"Via, ada satu hal lagi yang ingin aku ceritakan," ujar Adrian sambil menatap langit-langit kamar.
"Aku sangat kecewa dengan pernikahanku. Aku dan Dewi sudah menikah selama dua tahun, tetapi dia belum bisa memberiku anak. Aku selalu menginginkan keluarga yang lengkap, dan ini benar-benar membuatku frustrasi."
Via menatap Adrian dengan rasa prihatin. "Aku sangat mengerti bagaimana perasaanmu, Adrian. Itu pasti sangat sulit bagimu."
Adrian mengangguk, merasakan empati dari Via. "Kamu selalu bisa memahami aku, Via. Itulah yang membuatku semakin mencintaimu. Aku ingin kamu tahu betapa berharganya kamu bagiku."
Via tersenyum kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. "Aku juga mencintaimu, Adrian. Tapi hubungan kita ini... aku takut kalau semuanya akan berantakan."
Adrian memegang tangan Via dengan erat, mencoba meyakinkannya lebih jauh. "Dengarkan aku, Via. Aku butuh kamu dalam hidupku. Aku ingin kamu menjadi simpananku, dan aku berharap kamu bisa melayani kebutuhanku ketika aku membutuhkannya. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku berjanji akan selalu ada untukmu."
Via terdiam sejenak, merenungkan permintaan Adrian. Akhirnya, dengan suara lembut, dia berkata, "Jika ini yang benar-benar kamu inginkan, Adrian, aku akan melakukannya. Aku akan selalu ada untukmu, kapan pun kamu membutuhkanku."
Adrian tersenyum lega, merasa beban di hatinya sedikit terangkat. "Terima kasih, Via. Aku benar-benar menghargainya. Kamu tidak akan menyesal."
Mereka berdua kembali berbaring, merasakan kehangatan satu sama lain. Meskipun situasi mereka rumit dan penuh risiko, malam itu mereka menemukan kenyamanan dalam kehadiran satu sama lain, dan untuk sesaat, dunia luar seakan-akan menghilang.
Adrian mengelus pipi Via dengan lembut, menatap matanya dengan penuh cinta dan keinginan yang membara. "Via, aku sangat beruntung memiliki kamu di sisiku. Kamu begitu cantik dan mempesona," bisiknya dengan suara yang dalam dan menggoda.
Via merasakan wajahnya memanas, hatinya berdebar lebih cepat. "Adrian, kamu selalu tahu cara membuatku merasa istimewa," jawabnya dengan suara bergetar.
Adrian mendekatkan wajahnya, bibirnya hampir menyentuh telinga Via. "Aku ingin kamu tahu betapa aku menginginkanmu. Setiap kali aku bersamamu, aku merasa hidup. Kamu membuatku merasa lebih dari sekadar laki-laki yang terjebak dalam pernikahan tanpa harapan."
Via menutup matanya, membiarkan dirinya terbuai oleh kata-kata Adrian. "Adrian, kamu juga membuatku merasa hidup. Aku merasa diinginkan dan dicintai."
Adrian mulai mencium leher Via dengan lembut, sementara tangannya meraba punggungnya dengan sentuhan yang penuh gairah. "Kamu adalah segalanya bagiku, Via. Aku ingin kamu merasakan betapa aku mencintaimu," bisiknya di antara ciuman.
Via terdiam, menikmati setiap sentuhan dan ciuman Adrian. Perlahan, dia mulai membalas dengan penuh semangat, merasakan hasrat yang sama membara di dalam dirinya. "Adrian, aku juga sangat menginginkanmu," jawabnya dengan suara serak.
Mereka berdua semakin tenggelam dalam lautan cinta dan nafsu, membiarkan perasaan mereka mengalir tanpa hambatan. Malam itu, di kamar hotel yang sunyi, mereka menemukan pelarian dari realitas yang keras, membiarkan diri mereka terserap dalam momen yang penuh keintiman dan hasrat birahi yang membara.
Adrian terus merayu Via dengan ciuman dan sentuhan yang semakin intens. Nafasnya mulai memburu, dan keinginannya semakin tak terkendali. "Via, kamu begitu cantik," bisik Adrian dengan suara serak. "Tubuhmu, senyummu, semuanya membuatku gila."
Via merasakan seluruh tubuhnya bergetar di bawah sentuhan Adrian. "Adrian, aku juga menginginkanmu," jawabnya dengan nada penuh gairah, tubuhnya merespons setiap sentuhan Adrian dengan gemetar.
Adrian mengelus rambut Via, tangannya menjelajahi lekuk tubuhnya dengan penuh hasrat. "Kamu tahu, Via, kamu adalah wanita paling mempesona yang pernah kutemui. Aku tak bisa menahan diriku ketika berada di dekatmu," ujarnya sambil mencium bibir Via dengan lembut namun penuh intensitas.
Via merasakan dirinya semakin tenggelam dalam arus perasaan yang kuat. Dia membalas ciuman Adrian dengan semangat, membiarkan dirinya hanyut dalam momen yang memabukkan itu. "Adrian, kamu membuatku merasa begitu diinginkan," kata Via dengan suara yang hampir tak terdengar.
*****