6. Satu Ciuman Untuk Seratus Juta
"Selamat, Katya Andriani. Mulai besok kamu akan menjadi karyawan trainee. Setelah pelatihan selama 6 bulan dan dinyatakan lulus, kamu akan resmi menjadi karyawan tetap di kantor ini."
"Terima kasih banyak, Pak."
Katya menyalami karyawan bagian personalia itu sambil tersenyum, walaupun sebenarnya hatinya sama sekali tak tenang.
Seharusnya dia bahagia karena telah lulus dalam tes penerimaan kerja, tapi ia tak bisa menampik rasa cemas yang masih menggelayut di benaknya.
Meski sekarang Katya sudah lebih tenang karena hutang Bu Sadna sebesar 50 juta sudah dibayar oleh Gaffandra dengan bunga hingga 200 juta, justru hal itu membuat Katya merasa tidak enak kepada pria itu.
Sudah beberapa hari berlalu, tapi hingga sekarang Gaffandra masih belum juga nenghubunginya masalah pembayaran uang 200 juta.
Padahal jelaa sekali pria itu menegaskan bahwa bantuannya kali ini tidak gratis, dan dia akan menghubungi Katya untuk membahas masalah pelunasannya.
Belum lagi masalah atap asrama panti asuhan yang sedikit lagi rubuh dimakan rayap, sementara uang yang terkumpul dari donatur belum tercukupi.
Dari mana ia bisa mendapatkan banyak uang, jika gajinya saja sebagai trainee selama 6 bulan hanya sejumlah 4 juta rupiah?
Jika untuk mencukupi diri sendiri tidak akan menjadi masalah dengan gaji segitu, tapi masalahnya, dia juga harus menghidupi 8 orang adik asuh di asrama.
Katya menghela napas keras lalu menepuk-nepuk pelan pipinya. "Harus semangat, Katya. Tidak boleh menyerah!" gumannya memotivas diri sendiri.
Mungkin ia akan sambil menyambi memberikan les privat, atau minta shift beberapa jam di minimarket untuk menambah penghasilan. Apa saja.
Katya berjalan menuju area parkir motor dengan wajah lesu. Ternyata apa yang dikatakan oleh Gaffandra beberapa waktu yang lalu itu benar adanya.
Fresh graduate seperti Katya tidak terlalu dihargai, meskipun ia lulus dengan nilai yang tinggi.
Huuft.
Arsel apa kabar ya?
Tiba-tiba saja pikiran Katya melayang kepada sahabatnya itu, yang sama-sama lulus lalu sibuk dengan kehidupan masing-masing.
Terakhir yang Katya dengar, Arsel baru dapat pekerjaan di perusahaan besar.
Katya meraih sepeda tuanya yang ditaruh di paling pinggir sambil melamun, ketika suara dering ponselnya terdengar. Gadis itu pun segera meraih alat komunikasi itu dari dalam tas selempangnya.
Ternyata dari Bu Sadna, pikir Katya setelah melihat sederet nama di layar ponselnya.
"Halo, Bu? Aku sudah selesai wawancara dan sebentar lagi pulang--"
"Katya..." suara Bu Sadna terdengar serak seperti orang sedang menangis. "Ririn, Katya... Ririn dan Bayu... Ibu sedang di rumah sakit. Tadi Ririn sedang bermain di ruang tengah dengan Bayu... lalu... gentengnya roboh... lalu..."
Keringat dingin mulai membasahi pelipis Katya mendengar penuturan tak jelas dari Bu Sadna, namun ia sudah bisa menebak keseluruhan ceritanya.
Yang ia takutkan pun terjadi sudah. Atap asrama memang sudah bobrok dimakan rayap, yang setiap saat bisa saja roboh dan menimpa segala sesuatu di bawahnya.
Ririn dan Bayu... Ya Tuhan. Katya mulai menggigil membayangkan kondisi anak-anak kecil itu ditimpa partikel benda tajam dan berat!
"Dimana sekarang Ririn dan Bayu, Bu?"
"Kami semua masih di Puskesmas, Katya. Ririn masih pingsan, dan Bayu sudah sadar tapi dari tadi menjerit kesakitan karena luka di kakinya."
"Bawa mereka ke Rumah Sakit besar dengan ambulance, Bu. Pakai saja semua uang di ATM yang kuberikan kepada Ibu. Ada 3 jutaan di sana, sepertinya cukup biaya inap Ririn dan Bayu untuk satu hari. "
"Katya, tapi..."
"Aku akan cari untuk kekurangan biayanya," potong Katya. "Yang penting sekarang keselamatan Ririn dan Bayu yang utama. Aku janji, dalam dua jam akan bawa uangnya."
***
"Please, Pak!"
Katya menangkupkan kedua tangannya di depan keningnya dengan dengan gestur memohon.
Ia sudah tidak lagi peduli dengan rasa malu walaupun harus merendahkan diri sekali pun.
Katya benar-benar kehabisan akal untuk mendapatkan uang dalam waktu singkat untuk biaya Ririn yang ternyata kepalanya harus segera dioperasi karena mengalami pendarahan di otak, dan Bayu yang juga harus dioperasi untuk memperbaiki struktur tulang kakinya yang rusak akibat tertimpa material berat.
Situasi yang sangat darurat ini membuat Katya mau tak mau menemui satu orang yang ada di dalam kepalanya, satu-satunya yang mungkin tidak keberatan untuk memberikan pertolongan.
Gaffandra.
"Aku tahu masih memiliki hutang 200 juta setelah Bapak membayarkan uang ke rentenir waktu itu, tapi jika boleh, aku--"
"Memangnya kamu butuh berapa?"
Katya menelan ludahnya saat kini ia saling beradu tatap dengan manik gelap Gaffandra yang tenang dan tak terbaca.
Mungkin sekarang pria itu merasa menyesal karena mengenalnya, karena Cia nenarik tangannya saat di bioskop yang lalu.
Mungkin juga dia merasa bahwa Katya sedang memanfaatkan dirinya yang kaya raya.
Yang pasti Katya tidak akan menyalahkan Gaffandra jika berpikiran demikian, karena memang begitulah yang terlihat.
"150 juta," ucap Katya pelan, berusaha mengusir rasa malunya.
Sebenarnya 150 juta hanya biaya operasi utk Ririn, belum untuk kakinya Bayu. Tapi Katya tidak enak jika meminta semuanya kepada Gaffandra, jadi untuk Bayu akan ia cari cara lain.
Gaffandra menatap sosok gadis di depannya dengan seksama. Saat ini ia sedang duduk di kursi kerja, dan Katya berdiri di seberangnya hanya dibatasi meja.
Pria itu sedikit terkejut ketika tiba-tiba Katya menghubunginya dan meminta untuk bertemu, membuatnya teringat kembali bahwa beberapa hari yang lalu ia mengatakan akan meminta Katya untuk memberi 'imbalan'.
Dan di sinilah gadis itu sekarang berada, di gedung Adhyatama Corp. dimana Gaffandra selaku CEO berada.
"Kamu dari mana dengan penampilan begini?" Tanya Gaffandra tiba-tiba, di luar topik bicara.
Katya menunduk untuk menatap celana panjang dari bahan kain berwarna hitam dan kemeja putih bersih yang ia kenakan, busana yang jauh dari kesehariannya yang biasa mengenakan jeans dan kaus oversize.
"Uhm, dari wawancara kerja. Aku sudah diterima," sahut Katya kemudian.
Alis lebat Gaffandra terangkat mendengar penuturan Katya. "Oh? Selamat kalau begitu."
Pria itu tiba-tiba saja bergerak untuk meraih telepon mejanya, lalu menekan sebuah tombol. Dan hanya satu detik kemudian terdengar sebuah suara wanita.
"Ya, Pak Gaffandra?"
"Tolong ke sini, Nina."
"Baik, Pak."
Beberapa saat sesudahnya, suara ketukan di pintu membuat pandangan Katya terarah ke sana. Seorang wanita cantik yang kemudian masuk ke dalam tersenyum ke arah Gaffandra.
"Nina, tolong urus pembayaran semua tindakan di rumah sakit atas nama..." Gaffandra menatap Katya.
"Arini," sahut Katya cepat. "Atas nama Arini," ulangnya lagi.
"Kamu tadi bilang ada dua anak asuh yang terluka," ujar Gaffandra. "Siapa nama anak yang satu lagi."
"Bayu," jawab Katya ragu-ragu awalnya, tapi ia merasa lega melihat wajah Gaffandra yang tidak keberatan sama sekali.
"Cari dan urus semua proses dan tindakan operasi untuk anak dari asrama Panti Asuhan Cinta Ibu yang bernama Arini dan Bayu," titah Gaffandra kepada Nina, sekretarisnya.
Lalu tatapannya tiba-tiba saja kembali terarah kepada Katya, meskipun ia terus menitahkan kepada Nina.
Seulas senyuman tak terbaca yang terlukis di wajah tampan itu membuat Katya bergidik, sekilas mengingatkannya kepada Cia yang juga memiliki senyuman yang sama.
Licik, penuh makna, dan menakutkan.
"Katakan kepada dokter yang menangani mereka agar memberikan penanganan terbaik, karena seluruh biaya ditanggung oleh Adhyatama Corp," ucap Gaffandra sembari melebarkan senyumnya yang terus tertuju ke arah Katya, yang entah kenapa membuat gadis itu menahan napasnya.
***
Sial.
Sial. Sial. Sial!!!
Entah sudah berapa juta kata 'sial' yang diteriakkan oleh benak Katya saat ia sedang menunggu Gaffandra di kamar pribadi yang ada di ruangan CEO.
AAARRGGGHHH!!! APA YANG AKU PIKIRKAN SIH??!
Katya mengacak-acak rambutnya frustasi, saat mengingat kembali kejadian beberapa saat yang lalu.
Saat tadi Nina keluar dari ruangan untuk menjalankan semua perintah Gaffandra, pria itu tiba-tiba saja mengajukan sebuah 'imbalan' atas semua bantuannya.
Dan imbalan itu berupa...
**Flashback Beberapa Saat Sebelumnya**
"APA?! Bap... Bapak mau aku jadi... jadi..." Katya bahkan tak sanggup meneruskan perkataannya saking shock-nya!
"Iya, kamu jadi teman tidurku," sahut Gaffandra santai dan gamblang tanpa filter, yang membuat Katya ingin sekali memukul wajah tampan itu sampai babak belur, jika saja ia tidak mengingat semua jasa pria itu.
Yang ternyata ada udang dibalik batu. Cih. Dasar laki-laki, dimana-dimana semua saja.
Katya menggeleng pelan sambil mendengus. Semula ia mengira Gaffandra adalah pria baik, meskipun sedikit mesuum. Benar-benar tak disangka.
"Apa mungkin ada cara lain untuk membayar semuanya selain menjadikanku jaalang untuk Bapak?" sindir Katya.
"Cara yang lebih 'normal' dan tidak menghancurkan harga diri??" sambungnya lagi.
Gaffandra mengulum senyumnya. "Apa kamu pernah pacaran, Katya?" Tanya pria itu tiba-tiba.
"Well, sudah kuduga," ucap pria itu lagi saat melihat Katya menggelengkan kepalanya. "Bagaiman dengan ciuman? Kamu sudah pernah?"
Katya mendelik. Pertanyaan macam apa itu?? Bagaimana mungkin jika ia pernah ciuman padahal pacaran saja tidak?
Katya terlalu serius belajar agar dapat mempertahankan nilai tinggi, sebagai syarat beasiswanya. Di waktu luang, ia sibuk bekerja sebagai kasir minimarket untuk mendapatkan tambahan uang.
Tak ada waktu untuk sekedar dekat dengan lawan jenis, apalagi untuk berpacaran!
"Belum pernah juga ya?" ucap Gaffandra menyimpulkan dari keterdiaman Katya. "Kalau begitu anggap saja ini sebagai 'latihan' sebelum kamu berpacaran dengan pria lain suatu saat nanti."
Katya mendelik mendengar perkataan santai Gaffandra. Enak saja dia bilang begitu!
"Maaf. Tapi aku tidak bisa," ucap Katya tegas. "Aku akan membayar semuanya, Pak. Meskipun mungkin akan menjadi hutang seumur hidup."
"Lalu darimana aku tahu kalau kamu akan membayar dan tidak akan mangkir?" cetus Gaffandra skeptis. "Apa jaminannya?"
Katya mengurut pelipisnya yang mulai berdenyut. Semua kejadian bertubi-tubi ini membuatnya stress, belum lagi upaya tawar-menawar pembayaran hutangnya yang tidak biasa ini.
"Aku tidak punya jaminan apa-apa," sahut Katya pasrah. "Tapi aku juga tidak memiliki tempat tinggal lagi selain asrama panti asuhan. Aku tidak akan kemana-mana."
Gaffandra menggeleng tegas. "Bukan begitu caranya, Katya. Semua ini hanya akan menguntungkan kamu dan merugikanku."
"Lalu aku harus bagaimana??"
Gaffandra terdiam sesaat dengan tatapan lekat tertuju ke wajah cantik Katya yang terlihat gusar. Entah kenapa, gadis ini membuatnya sangat penasaran.
"Satu ciuman untuk seratus juta," ucap pria itu akhirnya sambil mengurai senyum. "Bagaimana, win-win solution yang tepat kan?"
Katya mendesah pelan sembari mengumpat dalam hati. "Memangnya nggak ada cara lain, Pak?"
"Just a kiss, Katya. Tidak akan membuat kamu rugi. Tapi aku yang akan menentukan waktu dan tempatnya."
**Flashback selesai**
Dan di sinilah Katya sekarang berada. Di ruang istirahat pribadi milik Gaffandra, menunggu pria itu yang sedang menyelesaikan meeting untuk melakukan "transaksi pelunasan" yang pertama.
Biarlah. Paling tidak dirinya masih terjaga kesuciannya sebagai wanita, walaupun bibirnya yang akan ternoda.
Suara pintu yang terbuka membuat Katya terkesiap kaget. Jantungnya pun seketika berpacu dengan sangat kencang, saat melihat sosok yang masih berdiri di bingkai pintu dan menatapnya dalam.
Gaffandra menutup pintu perlahan tanpa melepaskan pandangannya yang hanya tertuju kepada Katya.
Demi gadis polos yang telah berhasil memancing rasa penasarannya ini, Gaffandra bahkan rela menyelesaikan daily meeting hari ini dengan terburu-buru.
Lagipula, sejujurnya ia pun tidak bisa fokus karena membayangkan Katya yang sedang menunggunya di dalam kamar.
Katya buru-buru berdiri setelah ia menyadari posisi dimana ia duduk. Ah, jangan sampai Gaffandra mengira dirinya sengaja menggoda hanya karena Katya tanpa sengaja duduk di atas ranjang!
Gaffandra mengurai senyum tipis melihat wajah panik Katya yang lucu. Kakinya mulai mengayun perlahan, melangkah ke arah Katya yang berdiri gelisah sembari meremas kedua tangannya.
"Sudah siap, Katya?" guman pria itu saat ia sudah berada kurang dari selangkah dengan Katya.
Hari ini, mereka akan melakukan transaksi pembayaran yang pertama. Satu ciuman, untuk seratus juta.
Katya diam saja, bibirnya tak sanggup menjawab di bawah naungan sorot manik gelap Gaffandra yang seolah mengunci dirinya.
Kakinya ingin sekali berlari, tapi logikanya menahan.
'Itu cuma ciuman, Katya!'
Berulang kali ia berusaha meyakinkan diri agar tidak goyah. Meskipun ada rasa jijik dengan diri sendiri, tapi Katya sudah tak bisa mundur lagi sekarang.
Gaffandra tertawa kecil melihat ketegangan yang berbayang di wajah gadis itu.
"Hei, santai saja," ucapnya sembari mengelus puncak kepala Katya. "Aku hanya akan mengecup bibirmu, bukan menidurimu, kan?"
Jemari lelaki itu kini mengusap lembut bibir merah ranum merekah tanpa pewarna milik Katya.
"Aku suka teksturnya," guman Gaffandra pelan sambil menatap mata Katya. "Dan aku penasaran... bagaimana rasanya."
Wajah Gaffandra bergerak semakin dekat, dan jantung Katya pun berdebar semakin kuat.
Lalu saat sedikit lagi bibir mereka bertemu, Katya pun memejamkan kedua matanya pasrah.
Gaffandra tak bisa menahan senyum gelinya melihat tarikan napas gemetar gadis itu, dan kedua tangannya yang mengepal di sisi tubuhnya.
Gaffandra tiba-tiba mengecup ujung hidung Katya, membuat gadis itu terkejut dan seketika membuka kedua matanya.
"Good. Jangan tutup matamu, Katya. Lihat aku."
Lalu sedetik kemudian, Katya pun hanya bisa menahan napas ketika Gaffandra mulai menyatukan bibirnya.
Katya mengira jika pria itu hanya akan mengecup bibirnya sekilas, namun ternyata perkiraannya salah sama sekali.
Satu tangan pria itu menangkup tengkuk Katya, menelusup ke balik kelebatan rambut coklat kemerahan yang mengikal di bagian bawahnya.
Sementara tangan yang satu lagi memeluk tubuh gadis itu, memerangkapnya dalam kurungan hidup tubuh atletis milik Gaffandra.
Katya yang semula terus membuka mata, kini tak sanggup lagi menahan kelopaknya yang terasa berat, seiring dengan dalamnya ciuman Gaffandra yang intensitasnya semakin kuat.
Inikah rasanya ciuman?
Yah, tidak buruk juga. Bahkan Katya merasakan sensasi aneh yang terasa geli di perut dan kulitnya.
"Buka mulutmu, Katya."
Dengan patuh, gadis itu pun membuka mulutnya. Membiarkan lidah Gaffandra menerobos masuk ke dalam kehangatan dirinya.
Beberapa saat telah berlalu, namun tak ada tanda-tanda Gaffandra akan berhenti. Katya justru merasa pria itu semakin menggebu, semakin dalam dan semakin agresif mengintervensi mulutnya.
'Sial. Kenapa lututku menjadi lemas begini?'
Katya mengutuk tubuhnya yang menjadi lemah dan menjijikkan hanya karena Gaffandra menciumnya.
Ia berusaha menampik damage yang ditimbulkan oleh pria itu, dan mengatasnamakan semua itu tak lebih dari gairah semata.
Meskipun usianya jauh di atas Katya, tapi Gaffandra itu sangat tampan, dan ternyata juga a good kisser. Sangat wajar jika Katya menjadi terbawa dalam pertunjukan kemesraan ini.
'Asal jangan jadi baper saja, Katya!' Batin gadis itu memperingatkan diri sendiri.
Jelas-jelas pria ini hanya ingin skinship tanpa relationship, tipikal lelaki yang hanya ingin hubungan tanpa status. Dan Katya pun mengerti akan kebutuhan biologis seorang pria normal seperti Gaffandra.
'Ck. Harusnya dia menikah saja!!'
Tapi kemudian Katya teringat kembali ucapan Cia waktu di bioskop dulu, yang mengatakan bahwa Gaffandra itu 'alergi' sama pernikahan.
"Kamu nggak fokus."
"Eh?" Katya mengerjap kaget ketika mendengar perkataan Gaffandra yang telah menghentikan pagutannya.
"Apa yang kamu pikirkan, hm?" Gaffanda mengelus telinga Katya, membuat gadis itu meringis geli.
"Lain kali harus fokus kalau sedang ciuman. Rasakan sensasinya. Kelembutan dan kehangatannya."
Katya hanya mengangguk seperti murid yang sedang diajari oleh gurunya. Ah, lain kali ya? Benar juga. Satu ciuman untuk seratus juta.
Hutangnya 200 juta. Ditambah entah berapa ratus juta lagi untuk pengobatan Ririn dan Bayu.
"Ini ciuman pertamamu kan? Terus gimana rasanya?" Tanya Gaffandra tiba-tiba. Pria itu masih memeluk Katya dan mengelus rambutnya, seolah tak berniat untuk melepas gadis itu.
"Rasanya?" Ulang Katya sambil mengernyit berpikir. "Hangat, basah dan... lengket."
Tawa keras pun seketika menyembur dari mulut Gaffandra mendengar jawaban polos Katya.
Dari ribuan jawaban, ia sungguh tidak menyangka kalau tiga kata sifat itu yang meluncur keluar dari bibir Katya.
"Akan semakin hangat, semakin basah, dan semakin lengket jika kita melanjutkannya lebih dari ini, Katya." Gaffandra berbisik lembut di telinga Katya, setelah tawanya mereda.
"Bagaimana, apa kamu tertarik untuk mencobanya lebih jauh?"
***